Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 Juli 2016

"Quo Vadis" Revisi UU Antiterorisme (TODUNG MULYA LUBIS)

Setelah serangan terorisme di Jalan Thamrin, Jakarta, pemerintah akhirnya mewujudkan rencananya mendorong perubahan UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pemerintah berdalih UU itu belum cukup memadai bagi penanggulangan ancaman terorisme.

RUU perubahan atas UU itu saat ini telah diajukan pemerintah kepada DPR dan akan dibahas di tingkat panitia khusus, gabungan anggota Komisi I dan Komisi III. 

Dalam perjalanannya, RUU perubahan itu menuai banyak kritik kalangan masyarakat sipil. Penambahan sejumlah wewenang baru dalam draf yang diaju- kan kepada DPR menunjukkan arah substansi RUU ini yang cenderung menabalkan kekuasaan negara dan kian menguatkan sifat draconian UU Terorisme. Sejumlah pasal baru berpotensi me- nimbulkan pelanggaran HAM. 

Kematian Siyono yang belum lama terjadi mestinya catatan serius untuk evaluasi dalam penanggulangan terorisme. Kematiannya mengingatkan bahwa terorisme memang harus ditanggulangi.

Akan tetapi, pelaksanaannya yang eksesif, tanpa pengawasan yang efektif, serta tak adanya akuntabilitas tentu sangat berbahaya. Kita seperti tak pernah becermin pada pengalaman buruk pemberantasan terorisme yang menghasilkan salah tembak dan tangkap. 

Ancaman terorisme tentu harus ditanggulangi sebab, seperti terlihat di sejumlah kasus, ia mengabaikan prinsip diskriminatif target. Fasilitas publik dan warga sipil acap kali sasaran aksi untuk menyampaikan pesan. 

Dengan tingkat ancaman serius terorisme ini, kebijakan negara untuk menanggulanginya tak hanya perlu, tetapi juga keharusan. Negara wajib menjamin dan memastikan rasa aman masyarakat. Namun, mengingat kompleksitas akar dan masalah terorisme, kebijakan penanggulangan ancaman terorisme oleh negara mesti komprehensif dengan tujuan mencegah potensi terorisme dan mempersempit ruang gerak pelaku. Pendekatan hukum hanya salah satu instrumen dalam kebijakan anti terorisme. 

Pendekatan hukum dalam menangani terorisme tetap harus dibangun dan dijalankan selaras dengan prinsip negara hukum, menghormati tata negara demokrasi, dan menjamin perlindungan HAM.

Dalam masyarakat yang demokratis, hukum berfungsi memberi, mendefinisikan, dan mengatur pelaksanaan wewenang negara. Pengaturan batas wewenang itu harus dibuat jelas dan terukur sehingga hukum bisa melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan negara. 

Isu krusial

RUU perubahan yang diajukan justru cenderung meningkat- kan kekuasaan negara melalui penambahan wewenang baru yang berlebihan. Di saat yang sama ia mengabaikan prinsip, standar, norma hukum, dan HAM. RUU ini memasukkan ketentuan baru yang problematik dan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.

Pertama, persoalan perpanjangan masa penangkapan. Pasal 28 RUU ini menyatakan, penyidik berwenang melakukan penangkapan dalam 30 hari kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme.

Dibandingkan dengan masa penangkapan yang diatur dalam KUHAP (1 x 24 jam) dan yang diatur dalam UU Terorisme saat ini (7 hari), perpanjangan masa penangkapan yang diatur dalam Pasal 28 RUU ini terlalu lama.

Itu bisa membuka ruang dan terjadinya pelanggaran HAM, seperti kekerasan dan penyiksaan, di tengah lemahnya pengawasan dan akuntabilitas. Masa penangkapan yang diatur dalam UU Antiterorisme saat ini dan KUHAP sebenarnya sudah cukup bagi aparat penegak hukum untuk menanggulangi aksi terorisme. Terbukti, dengan masa penangkapan 7 hari, selama ini aparat penegak hukum berhasil membongkar dan menangkap orang yang terlibat dalam berbagai kelompok teroris di Indonesia.

Perpanjangan masa penahanan sejak penyidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan menjadi 300 hari juga problema- tik. Tak hanya berpotensi terjadi pelanggaran HAM, juga membu- at seseorang terlalu lama dalam status hukum sebagai tersangka hingga sidang pengadilan menyatakan dia bersalah atau tidak. Dibandingkan dengan KUHAP (170 hari), perpanjangan ini jelas akan merugikan hak tersangka untuk dapat disidang dalam proses peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya murah.

RUU perubahan ini juga berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, terlihat dalam klausul pemidanaan atas penyebaran bentuk ekspresi tertentu, seperti diatur dalam Pasal 13A RUU ini.

Klausul pemidanaan yang dirumuskan sangat meluas dan multi-interpretatif. Frasa "dapat mendorong perbuatan atau tindak kekerasan" oleh audiens berbeda bisa ditafsirkan subyektif. Pasal ini berpotensi membatasi dan mengkriminalkan pemikiran dan ekspresi yang sah.  

Persoalan serius lain dalam RUU perubahan ini adalah pasal 43A ayat (1) yang memberi kewenangan baru kepada penyidik atau penuntut umum membawa atau menempatkan orang terten- tu dan di tempat tertentu selama 6 bulan untuk tujuan program deradikalisasi, yang mirip dengan soft detention. Program deradikalisasi melalui pendekatan semacam ini bukan hanya salah, melainkan juga sangat berbahaya. Ketentuan ini bisa digunakan menciptakan banyak kamp penahanan dan berpotensi menimbulkan kekerasan-penyiksaan.

Prinsip pengaturan tata kelola keamanan yang demokratis juga dilanggar dalam RUU perubahan ini. Pasal 34B mengatur pelibatan TNI dalam penanggulangan tero- risme dalam kerangka tugas perbantuan kepada polisi. Pelibatan TNI memang dimungkinkan sebagai bagian operasi militer selain perang.

Pelibatan TNI mestinya tidak diatur dalam RUU ini, tetapi dalam RUU perbantuan yang mengatur komprehensif tentang prasyarat kondisi, mekanisme, dan prosedur bagi tugas perbantuan TNI.

Dengan luasnya lingkup yang dicakup dalam penanggulangan terorisme dan tiadanya pengaturan jelas tentang prasyarat kondisi dan mekanisme perbantuan itu, klausul ini berbahaya karena bisa membuka ruang keterlibatan TNI dalam semua aspek penanggulangan terorisme dalam dalih tugas perbantuan, mulai dari pencegahan hingga penindakan. Keterlibatan TNI tentu berpotensi mengganggu dan merusak mekanisme criminal justice system.

Lebih lanjut, pasal 31 RUU perubahan ini yang memberi wewenang bagi penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa melalui mekanisme izin ketua pengadilan berpotensi disalahgunakan dan melanggar hak privasi warga negara.

Pengaturan tentang masalah penyadapan semestinya mengacu kepada putusan MK No 5/ PUU-VIII/2010 yang menyatakan, penyadapan sebaiknya diatur dalam aturan perundang- undangan tersendiri. Ini diperlukan untuk memastikan mekanisme kontrol dan akuntabilitas.

Perlu keseimbangan

Pembentukan legislasi anti terorisme sebagai payung hukum bagi penanggulangan ancaman terorisme memang perlu dan harus dibuat. Namun, penting diingat bahwa legislasi itu harus dibentuk sejalan dengan kepentingan perlindungan hak-hak warga negara.

Di titik ini, membangun keseimbangan antara keamanan dan kebebasan sangat penting dalam legislasi anti terorisme sehingga penanggulangan ancaman terorisme tidak menciptakan teror lain bagi publik. 

Liberty and security of person adalah hak setiap warga negara, selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun, juga bersifat tidak dapat diceraikan. Berbahaya apabila negara bertindak dalam pikiran keliru bahwa hak-hak fundamental itu bisa saling menggantikan. Dalam menyusun kebijakan anti terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar: menempatkan perlindungan terhadap kebebasan dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap security of person.

 TODUNG MULYA LUBIS

Ketua Dewan Pendiri Imparsial

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul ""Quo Vadis" Revisi UU Antiterorisme".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger