Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 Juli 2016

TAJUK RENCANA: Di Balik Migrasi Pasca Mudik (Kompas)

Di era Presiden Joko Widodo, kita mendengar sejumlah slogan menarik, seperti poros maritim, Nawacita, Trisakti, dan membangun dari pinggiran.

Pasca Lebaran, topik terakhir itu yang relevan. Apalagi, di harian ini, Senin (11/7), kita membaca, program membangun dari pinggiran, dari daerah dan desa, belum menunjukkan hasil yang positif. Hal ini diperlihatkan oleh masih tingginya laju migrasi penduduk dari desa ke kota.

Ini hal yang mengecilkan hati mengingat pemerintah menggelontorkan banyak dana untuk menggerakkan pembangunan daerah. Dana transfer daerah ditambah dana desa total mencapai Rp 770 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 2.000 triliun.

Tahun ini diperkirakan warga yang bermigrasi ke wilayah Jakarta dan kota sekitarnya, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, mencapai lebih dari 181.000 orang. Khusus ke Jakarta bisa mencapai 70.000 orang. Ini meningkat mengingat dalam lima tahun terakhir rata-rata jumlah pendatang adalah 58.000 orang per tahun.

Pilihan migrasi diambil karena mereka ingin mendapat pekerjaan. Seorang warga Kediri, Jawa Timur, yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan, ingin ke Jakarta karena penghasilan di daerah kecil. Warga lain dari Muara Enim, Sumatera Selatan, ingin ke Jakarta karena di daerah sulit mencari pekerjaan. Jakarta, yang sering disebut tempat beredarnya sekitar 60 persen perekonomian dan keuangan di Tanah Air, tetap memancarkan daya tarik, bak magnet, dan mengikuti peribahasa "ada gula ada semut".

Seperti dikatakan pakar Ekonomi Kependudukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Sonny HB Harmadi, laju migrasi ke Jabodetabek membuat wilayah ini kian berat memikul beban. Selain harus menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak, beban lain adalah menyediakan tempat tinggal dan fasilitas umum. Melihat kondisi perekonomian umum yang belum kunjung membaik, ada risiko impian bekerja di Jakarta itu tidak mewujud, dan yang buruk adalah kriminalitas meningkat. Risiko lain adalah meningkatnya perumahan liar.

Terkait topik ini, setidaknya dua hal yang masih bisa kita kemukakan. Kita mendengar, seiring dengan mudik, ikut mengalir pula dana dari pemudik ke kampung halaman. Kita perlu mendorong agar tak semua dana itu digunakan untuk tujuan konsumtif. Sebagian untuk investasi, sambil mengembangkan jiwa kewirausahaan di daerah.

Kedua, menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, meski ada dana besar dialirkan ke daerah, hal itu tak diikuti mekanisme kontrol dan evaluasi. Tidak ada sanksi jika pemerintah daerah gagal memanfaatkan dana dengan baik, atau target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai.

Keberhasilan membangun dari pinggiran bisa mengerem laju migrasi dan mengurangi beban Jabodetabek.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Di Balik Migrasi Pasca Mudik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger