Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 Juli 2016

Menggali Etos Bangsa (M ALFAN ALFIAN)

Indonesia, tak terelakkan merupakan bangsa yang religius. Setidaknya sebagaimana direkam dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa.

Religiositas itu sendiri berimpitan dengan etos spiritualitas masyarakatnya. Namun, sejauh mana dimensi spiritualitas itu mampu memicu kemajuan, terkhusus bidang ekonomi?

Indonesia bangsa yang besar, tetapi kondisinya masih seperti raksasa tertidur. Kita masih berputar-putar di tengah labirin masalah kebangsaan yang kompleks dan nyaris belum beranjak signifikan ke arah negara maju. Kita juga memahami, bahkan mengamini berbagai retorika para pemimpin tentang perlunya percepatan pembangunan. Namun, rupanya ia tak semudah pelaksanaan. Apakah memang bangsa ini ditakdirkan sebagai bangsa yang lemah etos kerjanya, betapa pun "tinggi spiritualitasnya"?

Dalam artikelnya "Etos Kerja dan Etos Bangsa" (Kompas, 4/3/1989) dan "Mesu Budi" Berfungsi sebagai Etos yang Berpengaruh (Kompas, 2/10/1983), sejarawan Sartono Kartodirdjo memaknai "mesu budi" sebagai etos yang mencerminkan asketisme intelektual, semacam disiplin mental yang mendasari segala usaha dan pekerjaan. Implementasi "mesu budi" justru terlihat tatkala dia menganalisis etos kerja masyarakat Jepang yang berkembang sejak Restorasi Meiji. Karena "mesu budi" adalah suatu asketisme yang bukan eskapisme alias religiositas yang diekspresikan dengan meninggalkan segala urusan keduniaan, ia justru berfungsi sebagai etos yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan bangsa.

Namun, timbul pertanyaan: kalau "mesu budi" itu semacam asketisme produktif yang dapat disejajarkan dengan "etos Protestan"-nya Weber atau "Religi Tokugawa"-nya Bellah, mengapa tidak ada semacam Restorasi Meiji di Jawa, lebih luas lagi Indonesia? Saya punya hipotesis bahwa, masalahnya, Jawa punya pengalaman lain. Kultur feodal kerajaan-kerajaan di Jawa, pada praktiknya justru dipersubur oleh kolonialisme. Kaum penjajah punya politik yang memecah belah, sehingga dalam mengatasi perlawanan pun kaum penguasa pribumi diadu domba.

Namun, sangat mungkin ada hipotesis lain, bahkan berkebalikan dengan pendapat saya itu. Bagaimana dengan hal ihwal tradisi Samurai layaknya di Jepang, apakah juga ada di Jawa? Kalau ada, seberapa signifikan? Juga, sejauh mana mentalitas produsen dan kewirausahaannya, apakah dipicu kesadaran religiositas pula? Bagaimana dengan modernisasi, apakah ia timbul secara "mandiri" atau banyak menggantungkan diri pada pihak kolonial dan rezim kelanjutannya?

Pengalaman kita di Jawa atau Indonesia, lain kiranya dengan yang terjadi di Jepang dan Barat. Jepang, menurut Kishore Mahbubani dalam bukunya Can't Asian Think (1998) ialah bangsa Asia paling awal yang mampu mengadaptasi etos bangsa Barat.

Perbincangan tentang etos kerja orang Indonesia, sesungguhnya sudah jadi klasik. Sebelum kemerdekaan pun ia menyeruak lewat "Polemik Kebudayaan" antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan yang lain. Sutan Takdir memicu polemik dengan melontarkan pandangan yang tak jauh dari pesan kalau kita mau maju, tirulah etos bangsa Barat. Bagi Sutan Takdir, kita terlalu lemah menyalakan api, sehingga nasi yang kita tanak tak matang- matang. Barat? Apinya menyala-nyala!

Pada masa Orde Baru, budayawan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia(1978), menyinggung soal "watak yang lemah", sebagai salah satu karakter menonjol manusia Indonesia. Betapa pun menyesakkan, otokritik itu tak boleh kita abaikan.

Kembali ke pesisiran

Ada juga tesis yang mengatakan bahwa kita sebagai bangsa terjebak pada apa yang kerap diuraikan Nurcholish Madjid sebagai "mentalitas pedalaman", hal yang telah mengubah karakter bangsa yang konon pernah berorientasi "pesisiran". Mentalitas pedalaman mencermikan suatu mental tertutup,inward looking, membatasi informasi, eksklusif, enggan berkompetisi, terlambat dalam mengenali perkembangan baru, lemah dalam kreativitas dan inovasi, merasa jaya di negeri sendiri yang diklaim gemah ripah loh jinawi.

Konon, kolonialismelah yang juga menyumbang kokohnya mental pedalaman itu. Indonesia yang berkarakter maritim dijauhkan dari mental pesisiran. Berkebalikan dengan mental pedalaman, mental pesisiran mencerminkan keterbukaan, melek informasi, outward looking, responsif dalam berkompetisi, inklusif, kreatif, dan inovatif. Ia lebih produktif, sebab kalau tidak demikian bangsa ini akan bergantung terus pada kekuatan asing. Mental pesisiran memaksa kita lebih obyektif dalam melihat dan merespons perkembangan bangsa dari perspektif global.

Mental pesisiran itulah sesungguhnya yang perlu kita warisi. Indonesia, menurut Sutan Takdir, bukanlah kelanjutan dari kerajaan-kerajaan di masa lalu, melainkan sebuah bangsa baru. Maka, memang harus ada mental baru. Bangsa baru dengan mental baru. Mental baru itu bisa diambil dari mana pun, termasuk-dalam konteks Polemik Kebudayaan-dari Barat yang cenderung bermental pesisiran.

Kesadaran religius bangsa sesungguhnya tak menutup diri dari ikhtiarnya untuk menggapai kemajuan. Dalam perkembangan gagasan keislaman, misalnya, pada masa "Polemik Kebudayaan" tahun 1930-an, muncullah suatu kampanye asketisme produktif oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Melalui serangkaian artikelnya di majalah yang dikelolanya, Hamka memperkenalkan perspektif "tasawuf modern". Dia berikhtiar menarik makna "tasawuf", penyikapan spiritualitas keagamaan, dari pandangan umum yang bersifat eskapistik jadi asketisme produktif. Spirit keagamaan disuakannya dengan modernitas atau hal ihwal pentingnya kemajuan.

Jauh sebelum itu, KH Ahmad Dahlan telah merintis bagaimana spirit keislaman mampu mendorong kemajuan bangsa. Ia melakukannya melalui gerakan Muhammadiyah. Di sisi lain, gerakan keislaman lainnya, yakni Nahdlatul Ulama, juga punya semangat kemandirian yang tinggi. Ia juga sadar akan etos untuk memajukan bangsa. Dua gerakan Islam arus utama ini penting untuk diperbincangkan, mengingat pengaruhnya yang signifikan dalam mewarnai pemahaman dan aktualisasi keislaman di Indonesia hingga dewasa ini.

Sejak beberapa dekade belakangan, kesadaran melemahnya etos kewirausahaan dirasakan semua pihak. Lumbung-lumbung produktivitas ekonomi masyarakat goyah karena kalah bersaing. Kejayaan kampung batik Laweyan, Solo, atau Pekajangan, Pekalongan, tampaknya tinggal kenangan. Persoalan yang sifatnya struktural menggoyahkan etos berekonomi masyarakat, terutama dalam konteks "masyarakat santri".

Peran negara

Dalam hal ini, kita perlu berkaca pada perkembangan ekonomi Turki. Beberapa penelitian ekonomi Weberian, kini menemukan contoh kasusnya di pusat- pusat pertumbuhan ekonomi di jantung Anatolia. Misalnya, Kayseri, "kota santri" yang maju pesat perekonomiannya dan lazim dikaitkan dengan konteks "Islamic Protestantism" atau "Islamic Calvinism". Dalam kasus Kayseri, spirit keagamaan Islam mampu memicu tumbuhnya wirausahawan kelas menengah secara signifikan. Produk-produk mereka berorientasi ekspor ke Eropa dan yang lain.

Namun, apabila kita teliti, sebagaimana Korea Selatan, Turki juga telah lama melakukan ikhtiar pembelaan ekonomi kepada warganya. Di Turki, kebijakan liberalisasi ekonomi yang dilakukan Turgut Ozal pada dekade 1980-an diarahkan kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat Anatolia. Ikhtiar itu berhasil selaras dengan mentalitas kesalehan ekonomi yang hasilnya bisa disaksikan sekarang. Di Korea, negara berpihak pada pengembangan industri kreatif. Ia tak akan seberhasil sekarang bila tak didukung etos kerja rakyatnya.

Bagaimana Indonesia? Dari mana etos bangsa kita gali? Jawabnya, dari banyak hal, termasuk dari konteks spiritualitas keagamaan. Dulu, Bung Karno pernah menyitir tentang "api Islam", tampaknya yang dimaksud ialah bagaimana etos spiritualitas agama mampu dijadikan pendorong bagi kemajuan. Namun, apakah dari sudut ini sudah muncul apinya, atau sekadar abunya?

Kita perlu terus mengaca diri, justru untuk menggali kembali etos bangsa, sebuah etos baru yang kompatibel dengan zamannya. Kalau etos bangsa masih lemah dan ketinggalan zaman, bagaimana mau lari cepat?

M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Unas, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Menggali Etos Bangsa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger