Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 Juli 2016

Koperasi Hanya "Sokolidi" Ekonomi (NINING I SOESILO)

Seminggu menjelang Hari Koperasi, tepatnya pada Selasa, 5 Juli lalu, Prof Richard Robison di Universitas Melbourne menegaskan bahwa Indonesia tak akan jadi kekuatan baru, baik di pentas regional maupun global, seperti harapan sebelumnya.

Mengejutkan? Ya! Namun, ada benarnya. Contohnya, koperasi diharapkan jadi sokoguru perekonomian, tetapi sumbangannya cuma 1,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jadi, cukup sebagai "sokolidi" saja. Padahal, di Kenya mencapai 43 persen.

Sebagai negara Afrika yang sering dilecehkan, Kenya mampu melompati 21 peringkat, menyalip Indonesia pada 2016 dalam laporan "Ease of Doing Business" dan bertengger di peringkat 108. Indonesia tersua di posisi 109 dan hanya mampu naik 11 peringkat dari tahun lalu.

Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) adalah representasi penunggalan gerakan koperasi. Ia berstatus lembaga nonstruktural plus kucuran APBN Rp 50 miliar-Rp 80 miliar per tahun, monopolinya makin menguat. Dengan perangkat analisis dasar mikroekonomi, kemubaziran dari monopoli pasti terjadi sebab pemaksimalan profit selalu akan dilakukan untuk kepentingan si monopolis (Dekopin) yang menyengsarakan gerakan koperasi.

Contoh, ketika jadi Ketua Umum Induk KUD (1998-2003), Nurdin Halid mestinya "beristirahat" sekitar dua tahun akibat tersandung masalah hukum. Anehnya, dia "mampu" memimpin Dekopin selama empat periode berturut-turut. Padahal, di Pasal 18 anggaran dasarnya, maksimal pemimpin menjabat hanya dua kali.

Alat partai

Fakta itu menguatkan argumen Robison bahwa di Indonesia tak terlihat adanya intensi dan kapasitas pemimpin politik dan ekonomi memproyeksikan kekuatan negara. Sukses Nurdin Halid bertahan sebagai Ketua Dekopin sampai 2019 makin mengukuhkan bahwa gerakan koperasi di Indonesia hanya alat gerakan partai saja. Ini akan tetap sama, kecuali bila Presiden Joko Widodo dan kementerian di bawahnya mengembalikan status Dekopin ke ormas biasa dan tak mendapat lagi dana APBN sebagaimana tecermin dalam petisi yang tersua di htpps://www.change.org/p/ hemat-apbn-cabut-status-dekopin-sebagai-lns.

Julukan Dekopin sebagai macan ompong oleh Djabarudin Djohan sebagai Ketua LSP2I (lembaga yang pernah jadi gudang pemikiran UU koperasi pertama) tak mampu meluluhkan Dekopin. Yang terjadi justru anggota komunitas lembaga ini dibiarkan saja diancam saat mengkritik Dekopin. Budaya perspirasi, berkeringat karena adu otot, ternyata lebih kuat daripada aspirasi gerakan koperasi.

Dalam "Cooperatives: Pathways to Economic, Democratic and Social Development in the Global Economy", US OCDC 2007 menulis bahwa koperasi yang belum mampu membuat gebrakan ekonomi, bahkan bercitra negatif, seperti di Indonesia, terjadi karena pemerintah yang represif lantaran korupsi dan lingkungan kebijakan yang tidak pas.

Jurgen Schwettmann, ILO dalam pertemuan pakar koperasi 2011 di Mongolia mengatakan bahwa penyesuaian struktur di Afrika atas rekomendasi Bank Dunia 1991-1992 untuk mencabut kontrol dan dukungan pemerintah supaya muncul kemandirian dan kemurnian gerakan koperasi sudah membuahkan keberhasilan di Kenya, yang kope- rasinya dapat merealisasikan kekuatan sokoguru perekonomian.

Tak mengherankan bila komu- nitas pro-Dekopin tak suka pada Bank Dunia karena takut subsidi pemerintah dicabut.

Sebetulnya aspirasi, bukan perspirasi, yang penting untuk menyuburkan gerakan koperasi. Umumnya ini dikembangkan di universitas. Ironisnya saat PBB mencanangkan 2012 sebagai Tahun Internasional Koperasi, beberapa universitas di negeri kita malahan menutup mata kuliah koperasi yang dianggap sudah tak berguna.

Malu pakai "koperasi"

Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) yang lahir dari gerakan koperasi 1947 bahkan malu memakai kata koperasi dan mulai menyamarkannya. Padahal, ko- perasi dipuji dalam agama. Menurut Islam, koperasi adalah syirkah/syarikah yang merupakan wadah kemitraan, kerja sama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Paus Benediktus dalam surat edaran Juli 2009, "Caritas in Veritate" (Cinta dalam Kebenaran), memuji koperasi sebagai wadah layak bagi upaya mengembangkan manusia dan sudah saatnya mengubah dunia melalui kepemilikan perusahaan secara kolektif, perusahaan mutual, maupun dengan model employee stock ownership plan-ESOP.

Koperasi mampu menyediakan 100 juta lapangan kerja dunia dan memasarkan 50 persen hasil pertanian global. Dengan jumlah terbanyak di dunia, yaitu 209.000 koperasi, mengapa Indonesia justru terpuruk? Padahal, kalau digarap baik, sumbangan koperasi bisa 68 persen total GDP seperti di Denmark. Ini terjadi karena koperasi di Indonesia banyak yang tidak aktif, justru sering dipakai sebagai akal-akalan untuk merampok dana subsidi pemerintah.

Menumbuhkan aspirasi butuh waktu dan ketekunan. Sepuluh tahun diperlukan untuk mengubah citra FEUI dari "neolib" dan "Mafia Berkeley" menuju ekonomi kerakyatan. Ini dilakukan UKM Center FEUI www.ukmcenter.org sejak 2005 melalui acara bulanan "Bedah UKM" gratis; pelatihan berbagai bentuk, klinik bisnis, lomba, penyaluran kredit PKBL BUMN, baik di seputar kampus maupun dengan ikut mendirikan UKM Center Syiah Kuala di Aceh pada 2007.

Pada tahun ketujuh replikasi best practice-nya telah dilakukan di tujuh kota. Dengan mengundang Grameen Foundation di UI, UKM Center FEUI mengajak alumni FEUI di Komunitas Sahabat Cempaka membina Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) dari tahun 2008. Di segmen penanggulangan kemiskinan perempuan, Komida adalah kope- rasi terbesar di Indonesia dengan 306.000 anggota, 131 cabang di 11 provinsi, Rp 140 miliar tabungan, dan Rp 416 miliar pinjaman.

Dengan perubahan nama jadi FEB UI, pembinaan yang semula hanya dalam wadah pengabdian masyarakat, kini telah jadi program unggulan terintegrasi kurikulum ajar. Mulai 2015 semua mahasiswa S-1 di FEB UI wajib ikut kuliah mengenai UMKM dan koperasi.

Tak mengherankan bila pada 2016 panitia Upakarti (nama hadiah dari presiden untuk pembina industri kecil menengah) mulai melirik UKM Center FEB UI sebagai salah satu calon pene- rima penghargaan bergengsi ini. Universitas memang motor perubahan karena tak berpolitik sehingga merupakan wadah paling tepat mengasah kaum muda berpikir jujur, cerdas, bebas mengupas keterpurukan gerakan koperasi, bahkan mengkritik Dekopin, dan mencari solusi terbaik tanpa dibayangi takut karena diancam.

Mulai tahun ini UI berencana merayakan Hari Koperasi sebagai bukti keberpihakannya kepada gerakan koperasi. Dalam waktu dekat UI akan membuat Pusat Studi Koperasi sebagaimana dilakukan di universitas ternama di AS (University of Wisconsin, University of Nebraska, Drexel University, Northeastern University), dan Kanada (Saskatchewan University, The University of Waterloo, Memorial University of Newfoundland).

Semoga kiprah UI ini dapat diikuti perguruan tinggi lain dan mampu mengubah peran koperasi dari berkekuatan "sokolidi" jadi sokoguru perekonomian.

NINING I SOESILO

Pendiri UKM Center FEB UI; Sekarang Pembina Komida

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Koperasi Hanya "Sokolidi" Ekonomi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger