Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 Juli 2016

Revolusi yang Membebaskan (BS MARDIATMADJA)

Revolusi Perancis tak hanya punya makna bagi negeri itu. Peristiwa tersebut juga membawa pengaruh bagi banyak bangsa.

Pegangan liberté, fraternité, égalité boleh saja dicari dasarnya dalam sejarah kenegaraan atau filosofi lebih tua. Namun, situasi dan kondisi abad ke-18 tersebut mengajak orang di abad ke-21 untuk menegaskan kembali komitmen sosial-politisnya.

Semangat 1945 juga rupanya menggemakan suasana serupa. Pada masa awal kemerdekaan kita diserukan kata "Merdeka!" oleh Bung Tomo dan Bung Karno serta di mana-mana: Libertéterdengar gemanya. Dalam suasana kebersamaan waktu itu, sudah lumrah dipakai sebutan bersahabat "Saudara" (Fraternité), yang jauh lebih membumi daripada "Bro" dan "Sis" yang kini sering dipakai. "Belarasa-setiakawan-sobat-teman-adil" terdengar sering jadi senapas dengan "kesamarataan; égalité'. Pekik universal dari Revolusi Perancis masih seirama dengan banyak kebutuhan kita sekarang di Nusantara.

Dalam pada itu, ada pula beberapa suasana dalam istilah-istilah itu yang tidak begitu saja menimbulkan rasa nyaman. Kita ingat bagaimana kemerdekaan abad ke-18 itu memantulkan harapan akar rumput untuk membebaskan diri dari ikatan monarki dan agama, yang waktu itu dirasakan menggencet rakyat. Dampaknya adalah perampasan milik para pangeran dan keturunan raja serta harta pemimpin keagamaan, yang hampir tanpa dapat dikuasai oleh pihak keamanan sendiri.

Kebebasan atau kemerdekaan dari penindasan lebih mudah dilakukan daripada diarahkan kepada manfaat bagi rakyat. Sebab, pemimpin baru kepartaian rupanya sudah siap mengambil alih kekuasaan sosial masyarakat. Akibatnya rakyat jugalah yang tetap melarat. Nada serupa sangat sering diserukan pada masa "Reformasi 1989", sesudah rakyat merasa ditindas oleh kekuasaan politis tertentu. Dampaknya tampak makin lama makin jelas: begitu banyak pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang mencuri kesempatan untuk bebas mencari keuntungan pribadi dengan mencuri harta rakyat.

Revolusi Perancis mengejar kesamaan seluruh rakyat, yang sebelumnya dikuasai sekelompok penduduk, yang mengaku berdarah biru sehingga menjadikan diri "lapisan atas" dalam negara. Mereka mendapat privilese dalam hidup dan di tengah masyarakat. Banyak kekayaan negara yang begitu saja dimiliki sekumpulan orang, hanya karena dilahirkan sebagai anak-cucu eks penguasa negara atau daerah.

Dalam perjalanan waktu terbentuk aristokrat politis yang jadi pangeran-pangeran baru dengan kekuasaan yang tak kalah besarnya daripada generasi sebelumnya. Kita melihat bagaimana aristokrasi terbentuk sejak 1965 sampai menjelang akhir abad ke-20. Ada orang-orang yang hanya karena anak atau menantu dari penguasa, secara perlahan, tetapi pasti menciptakan perusahaan dan merebut kekuasaan di lembaga bangsa. Mereka menjadi aristokrat baru hanya karena ikatan darah dengan penguasa.

Cita-cita sama-rata, yang semula dikumandangkan pada waktu demonstrasi menurunkan seorang pemimpin negara, secara perlahan, tetapi pasti telah disamarkan berdalih "kesamarataan kewarganegaraan', tetapi sesungguhnya diwarnai dengan rekayasa ekonomi dan politis. Partai dan jabatan kenegaraan ternodai: tak menjadi sama-rata lagi.

Persaudaraan

Salah satu slogan emosional zaman Revolusi Perancis adalah bahwa seluruh rakyat adalah saudara yang sama. Rasa bersaudara membawa kebersamaan afektif yang merupakan bekal kuat untuk menciptakan persatuan rakyat. Karena itu, abad ke-18-19 adalah abad persaudaraan di Perancis, yang menular pada bangsa-bangsa lain; dan pada gilirannya juga menjangkiti daerah-daerah jajahan yang nantinya di abad ke-19 dan ke-20 menjalarkan perang kemerdekaan. Salah satu buahnya adalah kemerdekaan Amerika oleh para imigran Eropa sendiri. Mereka menyatu karena semangat bersaudara dalam aneka lapisan relasi.

Suasana bersaudara yang mengembang pada masa kemerdekaan Indonesia, kembali meniup menjelang akhir abad ke-20. Rasa persaudaraan mengatasi segala perbedaan kelas, yang mengembang hampir 30 tahun karena kesenjangan yang diciptakan oleh diskriminasi sebagai buah rekayasa politik dan ekonomi. Monopoli ekonomi dan politis dipakai oleh sekelompok orang sehingga dunia ekonomi dan politik dikuasai segelintir golongan. Seperti dalam Revolusi Perancis, persaudaraan model rekayasa ini diperkuat dengan senjata ideologis yang disalahgunakan. Pancasila, yang pada awal masa kemerdekaan merupakan buah musyawarah politis demi kepentingan bersama melawan penjajah, telah dijadikan alat ekonomis dan politis melalui kursus yang dibelokkan menjadi penyaring rekan-kuasa.

Ketika masa reformasi tampil, maka persaudaraan ini menjadi tanda dan sarana kuat untuk melawan penindasan sebagian bangsa sendiri. Karena itu, pada tahun-tahun pertama, juga persaudaraan itu yang menyatukan Nusantara. Sayang sekali bahwa rekayasa politis-sebagian konstitusional-perlahan-lahan telah menjadi jalan untuk memperalat persaudaraan. Tercipta lagi kelas baru yang diwarnai oleh kepentingan ekonomis, keuangan, dan politis. Banyak pelaku eksekutif dan yudikatif ternyata terjerat masuk juga ke dalamnya.

Ketika Uni Eropa terbit, ada harapan pada sementara orang: ada jalan baru untuk menetralisir penyelewengan dalam pewarisan semangat Revolusi Perancis. Menjelang dekade kedua abad ke-21, Indonesia memperoleh momentum baru ketika beberapa warna persaudaraan ditampilkan oleh beberapa tokoh politis, kesamarataan ditawarkan oleh beberapa proyek yang mengangkat rakyat terpencil menuju ekonomi yang lebih baik, kebebasan berpendapat yang menguatkan rasa saling memiliki yang lebih terbuka. Kalau di dalamnya nanti dikembangkan kemerdekaan yang lebih bertanggung jawab dalam mengambil bagian dengan penuh kesukarelaan yang menyaudara, maka kita melihat jalan baru. Namun, di situ pun diperlukan kemampuan untuk mampu menciptakan "Latihan Rohani Kebangsaan": berbagai bentuk kerja sama perlu dipilah- pilah untuk dipilih supaya diambil jalan yang sesungguh- sungguhnya demi kesejahteraan bersama. Kita belajar dari sejarah bangsa-bangsa lain.

BS MARDIATMADJA

Rohaniwan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Revolusi yang Membebaskan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger