Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 Juli 2016

Mobilisasi Dana Keagamaan (SULASTOMO)

Salah satu topik pembicaraan saat buka bersama pada bulan puasa yang lalu adalah masalah pengumpulan zakat, infak, dan sedekah.

Potensi zakat yang demikian besar ternyata belum mampu optimal dimanfaatkan. Potensi zakat mal diperkirakan Rp 285 triliun, sedangkan potensi zakat fitrah adalah Rp 700 triliun (Kompas, 4/7). Diberitakan, yang terkumpul hanya puluhan triliun rupiah.

Di samping itu, ada dana keagamaan lain yang perlu dicermati: dana dam yang dibayar setiap calon jemaah haji Indonesia yang menjalani haji tamatuq.Berapa besar dana itu kalau sebagian besar jemaah haji kita setiap tahun menjalani haji tamatuq? Demikian juga daging hewan kurbannya, ke mana daging kurban itu dibagikan? Tak mustahil banyak yang mubazir.

Belum lagi dana haji yang tersimpan di bank sebelum dimanfaatkan untuk biaya perjalanan haji. Kalau dana itu dapat diopti- malkan pemanfaatannya, niscaya ia mampu berperan dalam upaya kita meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan pembangunan bangsa pada umumnya.

Dikabarkan pula, pengumpulan zakat mal selama ini diselenggarakan badan amil zakat yang jumlahnya mencapai 500. Dapat dipahami bahwa potensi zakat itu tersebar sesuai dengan keinginan mereka yang hendak membayarkan zakatnya.

Masih ada wajib zakat yang menyalurkan zakatnya sesuai dengan keinginan pribadinya, bahkan ada yang langsung membayarkan zakatnya kepada yang berhak, perorangan, lembaga sosial, dan pengurus masjid sesuai dengan yang dipercayainya. Apalagi, pembayaran zakat fitrah, yang melibatkan sekitar 200 juta wajib zakat fitrah, yang pengumpulan ataupun distribusinya tentu tak mudah. Penyelenggaraan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) dengan demikian sangat terdesentralisasi sehingga sangat sulit mengetahui jumlah dana yang sebenarnya terkumpul.

Adapun dana pembayaran dam yang selama ini dibayar jemaah haji tamatuq, pengumpulannya di Tanah Suci sangat tidak menentu. Sering diberikan kepada perorangan yang dipercayai mampu membayarkan. Benar atau tidak, sering tak dipermasalahkan oleh para jemaah haji. Bagi jemaah haji, keikhlasan membayar dam bisa dimanfaatkan oleh orang yang tidak beriktikad baik. Apakah kenyataan ini akan tetap dibiarkan?

Terkait pengelolaan dana haji, barangkali kita bisa belajar dari Malaysia dengan Lembaga Tabung Haji-nya, yang dimulai pada 1959, yang mampu berperan dalam pembangunan ekonomi Malaysia sebagai sumber dana investasi proyek pembangunan sebelum dana itu digunakan untuk biaya perjalanan haji. Calon jemaah haji pun memperoleh nilai tambah tabungan dana hajinya sehingga biaya perjalanan hajinya berkurang.

Sudah tentu diperlukan modifikasi sesuai dengan kondisi di Indonesia. Dengan jumlah haji yang jauh lebih besar, dana haji Indonesia mesti dapat berperan lebih besar dibandingkan dengan dana haji Malaysia. Pendekatan ekonomi dan profesionalisme dalam pengelolaan dana tersebut menjadi amat penting dalam pengelolaan dana keagamaan, baik ZIS maupun dana haji. Tentu, dengan tetap memenuhi ketentuan ajaran Islam agar pengumpulan dan pemanfaatannya tetap terjaga sebagai ibadah.

Harapan

Gambaran di atas mengesankan alangkah ironis masalah yang kita hadapi sekarang terkait pengelolaan dana keagamaan, ZIS, dan haji. Kita masih dihadapkan pada masalah kemiskinan, tetapi kita justru mengesampingkan potensi dana yang kita miliki.

Dalam skala makroekonomi, kalau dapat kita memanfaatkan untuk mengentaskan kaum miskin, upaya ini juga akan mampu mengatasi kesenjangan sosial di antara kita. Demikian juga dari aspek sumber pembiayaan dalam negeri, dana keagamaan, ZIS, dan haji kiranya akan mampu meringankan APBN mengingat jumlahnya yang cukup bermakna, apalagi ketika penerimaan pajak masih terkendala. Dana keagamaan itu dapat mendorong investasi di segala bidang sehingga berdampak juga bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Meski demikian, semua itu tak mudah. Selain terkait keikhlasan masyarakat, juga pemahaman keagamaan seseorang. Apa yang berjalan selama ini, meskipun ada kelemahannya, sudah menjadi tradisi dan dianggap telah dibenarkan secara agama sehingga tak mudah diubah. Dalam hal ini, fatwa para ulama dan pemikiran para cendekiawan sangat diperlukan agar kemaslahatan dana keagamaan tersebut lebih terasa.

SULASTOMO

Mantan Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Mobilisasi Dana Keagamaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger