Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 18 Juli 2016

TAJUK RENCANA: Peringatan bagi Erdogan (Kompas)

Kudeta gagal yang dilakukan militer Turki mengirimkan pesan jelas kepada orang nomor satu negeri itu, Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Akan tetapi, dampak yang paling nyata dan menonjol dari kudeta gagal itu-menewaskan sekurang-kurangnya 265 orang, termasuk warga sipil, serta penangkapan 2.839 tentara dan 2.745 hakim-bukan terpuruknya Erdogan, melainkan justru sebaliknya: ia semakin kuat.

Kudeta militer, bagi rakyat Turki, bukanlah hal baru. Sejarah negeri itu-Turki modern-dimulai dari kudeta yang menyingkirkan penguasa Ottoman. Meski kudeta bukan hal baru, cara-cara seperti itu sudah dianggap sebagai hal yang ketinggalan zaman. Rakyat tidak menghendaki negara terjerumus ke dalam khaos dan tidak menentu. Hal itu, antara lain, karena situasi sekarang ini, terutama keamanan, sangat tidak kondusif, baik karena persoalan internal (masalah Kurdi dan politik) maupun persoalan eksternal (dampak dari perang Suriah).

Rakyat-terutama kaum liberal demokrat dan pembela hak asasi manusia, serta kalangan media dan pendukung Kemalisme-merasakan bahwa pemerintahan Erdogan semakin otoriter. Erdogan membungkam media yang mengkritik dirinya dan menangkapi para wartawannya yang kritis terhadap pemerintahannya. Lawan-lawan politiknya pun-bahkan bekas sekutu politiknya, Ahmet Davutoglu-disingkirkan.

Melihat kondisi seperti itu, sekelompok tentara salah membuat kesimpulan dan langkah upaya mengatasinya. Mereka memilih cara lama: kudeta. Sementara, mereka yang berdiri berseberangan dengan Erdogan tetap memilih perlawanan melalui panggung demokrasi, meskipun jalan itu sulit di tengah tak berdayanya lembaga kehakiman. Kondisi seperti ini menguntungkan Erdogan. Ia justru semakin kuat.

Dunia internasional pun mengecam kudeta militer tersebut. Negara-negara Barat, misalnya, sangat berkepentingan tetap terciptanya stabilitas dan keamanan Turki. Turki merupakan "benteng" bagian timur Eropa dari gelombang baik pengungsi maupun terorisme dan radikalisme. Karena itu, Barat menginginkan Turki yang stabil.

Dukungan internasional itu, tentu, semakin memperkokoh posisi Erdogan yang menuding musuh politik utamanya, Fethullah Gülen, yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, sebagai tokoh di balik kudeta militer itu.

Akan tetapi, sekalipun kini justru menikmati "keunggulan", Erdogan tidak bisa menganggap enteng gerakan dan usaha untuk menyingkirkan dirinya. Berbagai persoalan besar kini dihadapi Turki, antara lain menyangkut masalah ideologi, demokrasi, hak asasi manusia, ekonomi, dan juga masalah keamanan karena alasan eksternal dan internal. Karena itu, kalau Erdogan tak "sadar diri", bukan tidak mungkin peristiwa yang sama akan terjadi lagi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Peringatan bagi Erdogan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger