Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 Juli 2016

TAJUK RENCANA: RI, LTS Pasca Putusan PCA (Kompas)

Sejak akhir dekade 1980-an, sudah ada kerisauan akan masa depan atau penyelesaian tumpang tindih klaim di Laut Tiongkok Selatan.

Meski bukan negara pendaku (claimant), Indonesia akan sulit mengelak dari setiap perkembangan terkait Laut Tiongkok Selatan (LTS). Kini, atau beberapa tahun terakhir setelah Tiongkok bangkit dan semakin asertif menyampaikan klaimnya, kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Kekhawatiran itu terfokus pada meningkatnya ketegangan regional.

Potensi ketegangan tak saja berlingkup regional mengingat kuasa ekstraregional—dalam hal ini AS—tidak tinggal diam melihat aktivitas Tiongkok. Kehadiran kapal perang Armada ke-7 AS di LTS, pesawat pengintai P-8 Poseidon, dan pesawat pengebom strategis B-52 yang terbang ke LTS dengan dalih mengawal kebebasan navigasi di wilayah itu. Pembangunan pulau dengan sejumlah fasilitas tidak bisa diterima oleh negara pendaku lain.

Di tengah makin sengitnya saling klaim, Filipina sebagai salah satu negara pendaku melayangkan keberatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada tahun 2013. Pada Selasa (12/7), Mahkamah memutuskan menolak klaim Tiongkok di LTS yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus. Keputusan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa klaim Tiongkok tidak punya dasar hukum. Klaim atas dasar hak historis Tiongkok gugur karena tidak sesuai dengan Zona Ekonomi Eksklusif seperti ditetapkan PBB.

Menyusul terbitnya keputusan Mahkamah, sejumlah negara, terutama Filipina yang merasa wilayahnya dicampuri Tiongkok, menyambut dengan sukacita. Sikap resmi Pemerintah RI disampaikan Kementerian Luar Negeri yang mendorong semua pihak untuk menghormati keputusan Mahkamah dan mendahulukan perdamaian. Kemlu juga mengimbau semua pihak menjaga stabilitas, menahan diri, serta menghormati hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982.

Pada sisi lain, Tiongkok merespons putusan Mahkamah dengan menyatakan tidak akan menerimanya. Berbeda dengan pernyataan Mahkamah yang menyebut putusannya mengikat (tetapi tidak punya kekuatan untuk menerapkannya), Tiongkok menyebut putusan tersebut hampa dan tidak memiliki kekuatan mengikat.

Bagaimana sikap negara ASEAN menyikapi kengototan Tiongkok? Pengalaman dari KTT ASEAN di Phnom Penh tahun 2012 juga pertemuan khusus ASEAN-Tiongkok di Yuxi, Juni 2016, memperlihatkan, respons isu LTS dalam lingkup ASEAN juga problematik.

Di sinilah perlunya Indonesia memiliki daya tawar lebih untuk bernegosiasi dengan Tiongkok, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk membela kepentingan negara ASEAN yang juga pendaku LTS.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "RI, LTS Pasca Putusan PCA".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger