Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Agustus 2016

Ekonomi Politik Amnesti Pajak (MAKMUR KELIAT)

Kebijakan pengampunan pajak adalah suatu perkembangan menarik. Dampak ekonomi dan politiknya perlu dicermati di tahun-tahun mendatang.

Ada beberapa alasan mengapa demikian. Marilah kita melihatnya terlebih dahulu dari sisi ekonomi.

APBN lebih "rasional" dan "sehat"

Pertama, pengampunan pajak dapat dilihat sebagai lanjutan dari agenda kebijakan konsolidasi fiskal (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) menyeluruh yang telah diletakkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Terobosan fiskal melalui penghapusan subsidi bahan bakar minyak pada masa awal pemerintahannya dan memindahkan pengalokasian subsidi itu ke pembangunan infrastruktur telah membuat postur APBN menjadi lebih "rasional" dan "sehat". Khususnya di sisi pengeluaran, gambaran postur APBN menjadi sangat berubah. Penekanan pada pembangunan infrastruktur dalam APBN bahkan telah menjadi brandingyang melekat kuat pada pemerintahan Jokowi-JK sekaligus penanda yang membedakannya dengan pemerintahan sebelumnya.

Namun, agenda kebijakan konsolidasi fiskal di sisi pengeluaran ini belum diimbangi dengan perubahan di sisi pendapatan. Walau untuk pertama kali penerimaan pajak melebihi angka Rp 1.000 triliun pada tahun 2015, realisasinya hanyalah sekitar 80 persen dari besaran angka target (Rp 1.294,258 triliun) yang telah ditetapkan. Kecemasan melesetnya target yang telah ditetapkan juga tengah mewarnai tahun anggaran berjalan saat ini. Karena itu, pengampunan pajak adalah tanggapan kebijakan jangka pendek di tengah kondisi ekonomi global yang menurun.

Dalam jangka pendek, tujuannya untuk membuat defisit APBN tidak melebihi ketentuan minus 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Namun, dalam jangka menengah dapat dilihat sebagai bagian integral dari upaya untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi struktur fiskal Indonesia di masa depan, tidak hanya di sisi pengeluaran, tetapi juga di sisi pendapatan.

Kedua, pengampunan pajak juga perlu dipetakan sebagai bagian dari agenda reformasi pajak. Karena besaran ukuran kekuatan ekonominya, Indonesia telah menjadi anggota G-20. Namun, besaran kekuatan ekonomi nasional ini (urutan ke-16 dari sisi PDB) tidak diiringi dengan prestasi mengagumkan dalam rasio pajak terhadap PDB. Pemerintahan Jokowi-JK telah mewarisi suatu anomali rasio pajak terhadap PDB yang sangat rendah, sekitar 11 persen.

Agenda reformasi pajak menjadi penting untuk mengatasi ketidaknormalan rasio ini yang telah diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya itu. Dalam kaitan reformasi pajak ini ada dua tantangan utama: pada tataran celah kebijakan (policy gap) dan pada tataran celah ketaatan (compliance gap). Pada tataran celah kebijakan, persoalannya terfokus pada pertanyaan apakah pajak dapat digunakan sebagai instrumen progresif untuk menyempitkan jurang ketimpangan dan sekaligus memperluas cakupan kesejahteraan terhadap warga negara. Pada tataran celah ketaatan, isunya adalah bagaimana menciptakan tata kelola administrasi perpajakan yang baik.

Baik melalui mekanisme repatriasi maupun deklarasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tentu saja telah diharapkan untuk menyempitkan celah kebijakan dan ketaatan tersebut. Terdapat harapan bahwa akan ada peningkatan jumlah wajib pajak dan juga peningkatan nilai perolehan pajak. Namun, pengampunan pajak bukanlah satu-satunya instrumen untuk melakukan reformasi pajak itu. Reformasi pajak tampaknya perlu disertai dengan agenda perubahan dalam ketentuan perpajakan di Indonesia. Kebutuhan perbaikan tersebut ditunjukkan oleh upaya Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sudah terdaftar di Prolegnas 2016.

Ketiga, pengampunan pajak juga dapat dikonstruksikan sebagai bagian dari agenda mobilisasi pendanaan dari sektor swasta untuk melakukan investasi demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Pihak swasta diharapkan dapat melakukan investasi melalui kerja sama dengan entitas bisnis negara (BUMN) atau diizinkan melakukannya secara independen dengan memperluas daftar investasi yang terbuka untuk swasta. Harapan untuk melakukan mobilisasi pendanaan melalui mekanisme repatriasi modal bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal. Sebagai misal, laporan "Global Financial Integrity" dalam Illicit Financial Flows from Developing Countries 2004-2013 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara kesembilan terbesar yang mengalami perpindahan modal keluar yang ilegal.

Laporan itu menyebutkan juga bahwa diperkirakan sejak 2004 ke 2013, jumlah akumulasi perpindahan modal itu sekitar 180 miliar dollar AS. Jumlah perkiraan dana ini tentu saja bisa jauh lebih besar jika kita memasukkan kategori yang non-illicit. Jika berhasil dibujuk melalui pengampunan pajak, tentu saja seluruh repatriasi modal ini (baik yangillicit/haram maupun non-illicit) memiliki potensi yang luar biasa untuk melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Persoalan yang tertinggal adalah bagaimana mekanisme penggunaannya.

Masalah ini muncul karena dua isu besar. Pertama, adanya pandangan yang menyatakan bahwa dana yang terlalu banyak masuk tanpa pengaturan penggunaan yang tepat akan dapat mendorong tindakan-tindakan bisnis spekulatif di kemudian hari. Kedua, di sisi lain terdapat pandangan yang justru menyatakan bahwa pengaturan yang terlalu kaku akan membuat tujuan mobilisasi pendanaan tidak tercapai. Pemilik modal akan enggan untuk melakukan repatriasi karena pengaturan yang terlalu ketat akan menciptakan birokrasi yang berperilaku sebagai pemburu rente (rent seekers).

Politik lebih "rasional" dan "teknokratis"

Di sisi politik, pengampunan pajak juga telah membuat pengelolaan kekuasaan menjadi lebih "rasional" dan "teknokratis". Disebut dengan "rasional" dan "teknokratis" tidak hanya karena kehadiran Sri Mulyani Indrawati dan pergeseran Bambang PS Brodjonegoro dari menteri keuangan menjadi Kepala Bappenas. Disebut dengan rasional dan teknokratis terutama karena Presiden sendiri telah terlibat secara aktif dalam memimpin keberhasilan program pengampunan pajak ini.

Inisiatif politik Presiden untuk berdiri di garis terdepan program pengampunan pajak ini telah merupakan suatu perkembangan politik baru di Indonesia. Untuk pertama kali, Presiden telah meletakkan taruhan risiko politiknya secara serius pada sisi fiskal. Disebut dengan taruhan risiko politik karena penilaian tentang keberhasilan dan pemihakannya tidak semudah membalik tangan. Sebagai misal, identifikasi yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga skenario ketercapaian program pengampunan pajak ini.

Pertama, skenario optimistis. Dalam skenario ini, program pengampunan akan meningkatkan penerimaan pajak sebesar Rp 165 triliun. Angka tersebut didasarkan pada perkiraan jumlah dana deklarasi disertai repatriasi, yang masing-masing diperkirakan berada pada angka Rp 1.000 triliun dan Rp 3.500 triliun. Jika target tercapai, maka akan meningkatkan rasio pajak sebesar 1,3 persen, defisit APBN akan berada pada posisi 2,48 persen, dan nilai rupiah juga diperkirakan menguat 200 hingga 240 poin.

Kedua, skenario pesimistis. Dalam skenario ini, perkiraan pemasukan pajak hanya bertambah Rp 40 triliun-Rp 50 triliun. Penambahan sebesar ini diperkirakan hanya akan menambah 0,4 persen dari rasio pajak dan defisit APBN diperkirakan berada pada posisi 3,4 persen (Rp 428,3 triliun) serta nilai rupiah diperkirakan menguat 120 poin.

Ketiga, skenario moderat. Skenario ini muncul jika pemasukan penambahan pajak Rp 90 triliun-Rp 100 triliun. Jika target tercapai, penambahan pemasukan akan menambah 0,7 persen dari rasio pajak Indonesia; defisit APBN ada di posisi 3,07 persen.

Baik skenario kedua maupun skenario ketiga mengharuskan adanya penyesuaian struktur fiskal, terutama karena secara ketentuan hukum, defisit APBN tidak dapat melewati batas defisit 3 persen dari PDB. Penyesuaian itu kemungkinan dapat dilakukan dengan dua strategi. Strategi pertama adalah dengan pemotongan anggaran di kementerian, dan strategi kedua adalah dengan proses politik di DPR untuk mengubah ketentuan ambang batas persentase defisit APBN tersebut.

Terlepas dari seluruh skenario ini, program pengampunan pajak pemerintahan Jokowi-JK telah meletakkan tradisi untuk membuat politik menjadi lebih rasional dan teknokratik. Para teknokrat kini telah diberikan "takhta"-nya untuk mendorong politik ke arah yang lebih rasional itu. Mari kita sambut dengan positif datangnya era tersebut.

MAKMUR KELIAT

Pengajar FISIP Universitas Indonesia dan Analis Senior pada Kenta Institute

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Ekonomi Politik Amnesti Pajak".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger