Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Agustus 2016

Gambaran Pemilu Serentak 2019 (M ALFAN ALFIAN)

Pemilu 2019 akan lain dari pengalaman pemilu sebelumnya justru karena keserentakannya.

Pemilu serentak merupakan konsekuensi keputusan Mahkamah Konstitusi, 23 Januari 2014, yang mengabulkan permohonan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. MK membatalkan Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112   UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan pemilu legislatif sehingga bersifat tak serentak. Putusan MK No 14/PUU-XI/ 2013 ini akan berlaku untuk Pemilu 2019.  Setiap terbuka kesempatan merevisi perundang-undangan bidang politik, apakah tentang partai politik, pemilu (pilkada, pemilu legislatif, dan pilpres), atau penyelenggara pemilu, kotak pandora terbuka kembali. Ada evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya, ada usulan-usulan baru yang demikian variatif. Untuk mencapai kesepakatan baru, memerlukan proses politik yang sering kali bertele-tele sehingga mengorbankan persiapan penyelenggaraan pemilu.

 Ikhtiar mencari sistem pemilu yang cocok, selain isu-isu relevan lainnya, bagaimanapun tetaplah urgen dalam penyelenggaraan pemilu serentak ke depan. Meskipun demikian, hingga kini masih belum jelas bagaimana gambarannya. Apakah akan terjadi perubahan sistem pemilu? Apakah semua partai bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2019? Atau bagaimana?  

Sistem pemilu

 Dari perspektif perekayasaan pemilu (electoral engineering), tuntutan perubahan perundang-undangan kali ini tentu diharapkan menuju ke arah peningkatan kualitas demokrasi elektoral di Tanah Air. Terdapat prinsip-prinsip mendasar yang harus diselaraskan dengan konstitusi yang menegaskan perlunya penguatan sistem presidensial. Konsekuensinya, perlu adanya penyederhanaan sistem kepartaian. Di sisi lain, sistem pemilu juga harus menjamin kualitas partisipasi pemilih, mereduksi praktik korupsi, dan menghasilkan para politisi terpilih (elected politician) yang berkualitas. Di atas semua itu, perubahan sistem politik, dalam konteks ini perekayasaan pemilu, harus mengarah pula pada penguatan integrasi bangsa.

 Dalam hal pemilu legislatif beberapa isu mengemuka. Salah satunya, sistem pemilu yang hingga kini sedikitnya mengemuka tiga pandangan. Pertama, yang menghendaki perubahan sistem proporsional terbuka ke sistem daftar. Hal ini dikemukakan Ramlan Surbakti. Dalam artikelnya di Kompas (27 Mei 2016), "Korupsi dan Sistem Pemilu", Ramlan memaparkan kelemahan praktik sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka (proportional representation with open list).

Sistem ini memberi "insentif" kepada calon dan pemilih untuk melakukan transaksi jual-beli suara, langsung ataupun tak langsung. Sistem yang juga disebut Sistem Pemilu Proporsional yang Berpusat pada Kandidat (PR with Candidate-Centred) ini berpijak bukan kompetisi antarparpol, melainkan antarcalon dari partai yang sama di dapil yang sama (intra-party competition). Ketatnya kompetisi justru membuka peluang korupsi, termasuk "membeli" suara pemilih. Ia juga memosisikan partai sekadar payung pencalonan, mereduksi ideologi menjadi pragmatisme. Ramlan mengusulkan sistem proporsional daftar partai (list system/sistem daftar). Partai mengajukan calon anggota legislatif yang dipilih oleh pengurus dan anggota parpol.

 Kedua, pandangan ke arah sistem pemilu ke sistem campuran atau paralel. Pandangan yang diusulkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini dimaksudkan menutup kelemahan baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup. Sistem yang sudah diterapkan di Filipina, Australia, dan Jepang ini menggabungkan sistem proporsional dan sistem distrik atau mayoritarianisme. Konsekuensinya akan ada sebagian dapil yang menggunakan sistem proporsional, yang lainnya lagi dengan sistem distrik. Yang menggunakan sistem proporsional, dapilnya besar, dengan jumlah caleg tiga sampai enam. Anggota legislatif ditetapkan oleh partai atas dasar nomor urut. Di sisi lain, terdapat dapil kecil, yang calegnya dipilih berdasarkan sistem distrik yang memperebutkan satu kursi di setiap dapil. Berdasarkan penelitian LIPI, diperkirakan 60 persen daerah menggunakan sistem proporsional, sisanya sistem distrik.

 Ketiga, yang mengusulkan tetap dipertahankannya sistem proporsional terbuka, seperti Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengungkapkan sejumlah alasannya: (1) sistem ini baru digunakan dalam dua kali pemilu, 2009 dan 2014, maka terlalu dini untuk mengatakan gagal; (2) masih banyak instrumen dan persyaratan sistem proporsional terbuka belum terpenuhi dan dilaksanakan secara konsisten; (3) pengalaman Pemilu 2009 dan 2014, pemilih semakin familiar dengan sistem proporsional terbuka dan mulai terbiasa memilih calon serta membangun posisi tawar dengan calon.

 Isu lain terkait ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT). Ia dikaitkan dengan konteks penyederhanaan sistem kepartaian. Kecenderungan yang ada mengarah pada upaya menaikkan persentase ketentuan PT. Ada yang menghendaki dinaikkan tetapi tak terlampau tinggi, dari 3,5 persen menjadi 5 persen. Ada juga yang usul 7 persen.

Keikutsertaan parpol dan koalisi

 Karena bersifat serentak dalam arti pemilu legislatif dan pilpres dilakukan secara bersamaan, apakah otomatis semua parpol peserta pemilu dapat mengajukan capres dan cawapres? Sementara ini masih berkembang dua pendapat. Pendapat pertama menyebutkan setiap partai peserta pemilu bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres. Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, hal itu karena tak ada lagi syarat ambang batas suara bagi parpol masuk parlemen (PT) dan ambang batas suara parpol mengusung presiden (presidential threshold).

 Banyak yang berpandangan presidential threshold sudah tak relevan lagi untuk diterapkan pada Pilpres 2019. Hal ini terutama, justru pemilu serentak salah satu tujuannya, meniadakan ambang batas pencalonan presiden, karena keserempakan penyelenggaraan pilpres dan pemilu legislatif. Memang putusan MK tak menyebut penghapusan ketentuan presidential threshold. Namun, implikasinya otomatis merontokkan presidential threshold. Menurut Irmanputra Sidin, apabila DPR dan pemerintah bersikukuh mencantumkan presidential threshold, peluang MK membatalkannya cukup besar.

 Kendati demikian, terdapat juga pandangan yang menyebut, ketentuanpresidential threshold dapat diterapkan pada Pilpres 2019. Pendapat antara lain disampaikan politisi PDI-P, Ahmad Basarah, bahwa DPR dan pemerintah masih berhak menentukan ketentuan ambang batas pengajuan capres dan cawapres (presidential threshold). Alasannya, putusan MK hanya menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres. Dalam konsideran menimbangnya, putusan MK menyebutkan, soal presidential thresholddiserahkan kepada pembentuk perundang- undangan. Hal itu berarti syarat presidential threshold pada Pilpres 2019 masih dapat ditentukan lagi oleh DPR bersama pemerintah hasil Pemilu 2014.

 Mekanisme koalisi merupakan isu krusial pada Pemilu Serentak 2019. Tak menutup kemungkinan, kendatipun misalnya semua partai peserta pemilu punya hak mengajukan capres dan cawapres, jumlah pasangan yang muncul banyak. Hal ini karena mungkin saja pasangan calon terkuat diusung bersama-sama oleh banyak partai. Merujuk pengalaman, yang mendesak dan mendasar diperlukan dalam kerangka demokrasichecks and balances, bagaimana koalisi terbentuk secara permanen. LIPI mengajukan konsep insentif koalisi di mana setiap partai yang berkoalisi memperoleh sumbangan dana dengan kisaran yang diatur pemerintah. Namun, partai-partai yang melakukan koalisi setelah putaran pertama pilpres tak memperoleh hak insentif yang berlaku.

 Masih banyak isu yang dapat dibahas dalam proses perubahan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, seperti masalah pendanaan hingga penyelesaian sengketa pemilu. Gambaran utuh belum kita dapatkan hingga kini, kecuali berbagai pandangan variatif yang berkembang dari sejumlah pihak, yang bagaimanapun bermanfaat sebagai referensi penentu kebijakan. Dalam menggulirkan perundang-undangan baru, pemerintah dan DPR dituntut segera mewujudkan gambaran itu. Parpol tentu sangat berkepentingan agar aturan main baru menguntungkan mereka. Itu wajar. Namun, kepentingan lebih besar harus tetap diutamakan. Pemilu serentak harus mengarah pada praktik demokrasi berkualitas dan memperkuat integrasi bangsa.

 M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Gambaran Pemilu Serentak 2019".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger