Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Agustus 2016

Langkah Penanganan Vaksin Palsu (NILA F MOELOEK)

Pada21 Juni 2016,Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri menemukan praktik vaksin palsu. Penyidik Bareskrim menelusuri penjualan dan transaksi vaksin tersebut hingga ke toko obat, apotek, dan rumah sakit.

Penyidik Bareskrim menemukan empat produsen palsu dan jaringan distributor,tiga pengumpul botol bekas vaksin asli, serta seorang pencetak label.

Dalam konferensi pers yang berlangsung 24 Juni 2016, Kementerian Kesehatan bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menjelaskan adanya peredaran vaksin palsu yang belum dapat diketahui kandungan isi dan proses pembuatannya. Saat itu, BPOM meminta barang sitaan Bareskrimuntuk diperiksa di laboratorium. Berdasarkan keterangan sementara Bareskrim, vaksin palsu diduga berisi cairan infus dan obat antibiotik Gentamicin. IDAI menjelaskan bahwa dampak vaksin palsu adalah tidak diperolehnya kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu sesuai jenis vaksin palsu yang diterima.

Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR bersama Kementerian Kesehatan, BPOM, PT Bio Farma, IDAI, dan Bareskrim Polri, dibentuk Satuan Tugas Penanggulangan Vaksin Palsu sejak 30 Juni 2016.

Fakta imunisasi

Imunisasi merupakan proses induksi imunitas secara buatan, baik melalui vaksinasi atau pemberian antibodi, agar tidak terjangkit penyakit.

Imunisasi dapat digolongkan menjadi: (1) imunisasi aktif dengan memberikan vaksinasi, (2) imunisasi pasif dengan memberikan antibodi alami melalui transplasenta pada janin dan artifisial dengan memberikan immunoglobulin.

Ada dua pendekatan vaksinasi, yaitu menggunakan agen infeksius hidup yang dilemahkan atau dengan ekstrak agen infeksius atau rekombinannya. Cara pemberian dapat disuntikkan melalui jaringan otot (intramuscular), disuntikkan ke area bawah kulit (subkutan), atau ke dalam jaringan kulit (intrakutan) seperti vaksin BCG. Vaksin harus disimpan pada suhu 2º-8ºC.

Karena pentingnya imunisasi bagi perlindungan kesehatan masyarakat, pemerintah menggratiskan imunisasi dasar wajib. Alokasi anggaran mencakup 4.869.932 bayi (0-11 bulan), 4.772.462 bayi di bawah 3 tahun (batita), dan13.972.182 anak sekolah dasar (kelas I, II, dan III). Pemerintah membeli vaksin dengan menggunakan e-katalog untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara.

Tahun 2016, pemerintah menjamin ketersediaan di antaranya vaksin BCG untuk TBC 35.092.800 vial, vaksin campak 32.883.900 vial, b-OPV untuk polio 29.475.200 vial, dan vaksin pentavalen yang merupakan gabungan dari DPT-HB dan Hib tersedia 9.417.100 vial.

Hingga pertengahan 2016, cakupan imunisasi di Indonesia mencapai 92,5 persen atau di atas target untuk 2016 yaitu 90 persen. Program imunisasi pemerintah mewajibkan pelaporan pemakaian vaksin secara berjenjang karena diperlukan nilai cakupan sebagai laporan ke WHO. Diperlukan pula pelaporan pencatatan semua reaksi yang timbul untuk memantau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).

Pemerintah senantiasa menyediakan vaksin baru. Saat ini mulai dipakai vaksin HPV untuk kanker serviks dan mulai digunakan pada usia 12 tahun. Dengan menggunakan e-katalog, beberapa daerah telah membeli vaksin HPV ini, salah satunya di kabupaten Badung, Bali.

Saat ini vaksin DBD juga sudah mulai diproduksi, tetapi masih terus disempurnakan. Ini mengingat ada empat tipeDBD di mana setiap negara memiliki tipe dominan yang berbeda.

Vaksin berfungsi sebagai pencegah penyakit, bagian dari tindakan preventif yang merupakan faktor kunci dalam peta jalan pembangunan kesehatan. Pengetahuan kesehatan, khususnya pencegahan penyakit, sangat diperlukan karena saat ini anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagian besar untuk membiayai aspek kuratif.

Penyediaan vaksin untuk program imunisasi pemerintah dibeli dari PT Bio Farma. Indonesia patut berbangga karena PT Bio Farma, yang merupakan badan usaha milik negara, telah mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri untuk vaksin. Produk vaksin diperiksa (pre-market) oleh BPOM kemudian didistribusikan enam distributor resmi vaksin.

Rumah sakit tidak boleh membeli vaksin dan obat dari distributor tidak resmi. Masyarakat dapat melihat daftar distributor resmi pada laman (website) Kementerian Kesehatan.

Melalui distributor resmi, vaksin wajib tersebut didistribusikan ke dinas kesehatan provinsi hingga sampai ke puskesmas dan posyandu atau 88,9 persen fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Sisanya, 11,9 persen, adalah fasyankes swasta yang dapat mengambil vaksin dari distribusi resmi ataupun membeli vaksin impor. Dalam hal kasus vaksin palsu ini, beberapa fasyankes swasta membeli dari sumber tak resmi.

Secara kronologis, temuan vaksin palsu berawal dari adanya kelangkaan vaksin tertentu di pasar yang bukan merupakan vaksin program pemerintah. Vaksin yang dipalsukan adalah vaksin yang secara tertulis merupakan vaksin impor.

Langkah pemerintah

Kementerian Kesehatan telah meminta BPOM untuk melakukan uji laboratorium kandungan isi dari terduga vaksin palsu dari barang sitaan Bareskrim. Uji laboratorium terhadap 72 sampel yang berisikan 13 jenis vaksin menunjukkan hasil: ada 7 jenis palsu pada 23 sampel.

BPOM juga menyisir ke rumah sakit yang membeli dari distributor tak resmi. Diperoleh 37 titik di sembilan provinsi dan dari hasil uji laboratorium diperoleh 4 titik dengan sampel palsu. Verifikasi tentang hasil uji sampel di setiap daerah masih terus berlangsung dan akan terus disampaikan kepada masyarakat. Langkah ini diambil agar kewenangan Kementerian Kesehatan dalam melakukan pengawasan distribusi vaksin di fasilitas pelayanan kesehatan dapat berjalan seiring dan terintegrasi dengan BPOM.

Dari uji laboratorium yang dilakukan BPOM terhadap kandungan terduga vaksin palsu ditemukan bahwa vaksin diisi dengan vaksin hepatitis B yang diencerkan, dan antitetanus serum (bukan vaksin, tetapi serum untuk mencegah terkena tetanus) yang berisikan cairan NaCl. Antiserum ular terbukti tak berisikan antiserum, Tripacel yang seharusnya berisikan toksoid difteri, toksoid tetanus, dan vaksin aseluler nyatanya mengandung antigen pertusis saja.

Langkah utama yang diambil pemerintah dalam menangani masalah vaksin palsu adalah mengembalikan kekebalan kepada anak yang terpapar vaksin palsu dengan imunisasi wajib yang diulang. Imunisasi ulang diberikan kepada anakyang berdasarkan hasil verifikasi telah mendapatkan vaksin palsu.

Pelaksanaan imunisasi wajib yang diulang didasarkan pada rekomendasi dan pedoman yang dikeluarkan oleh IDAI. Yakni vaksin DPT diberikan kepada bayi di bawah usia satu tahun sebanyak 3 kali dengan interval satu bulan. Untuk anak usia satu tahun hingga 7 tahun, dosis pertama pada hari pelaksanaan, lalu dosis kedua 2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6 bulan setelah dosis kedua.

Sementara anak usia tujuh tahun hingga 18 tahun dosis pertama pada hari pelaksanaan, dosis kedua 2 bulan setelah dosis pertama, dosis ketiga pada enam bulan setelah dosis kedua dan dosis penguatan diberikan 12 bulan setelah dosis ketiga. Imunisasi wajib menggunakan vaksin yang sama atau setara yang disediakan pemerintah atas persetujuan orangtua setelah mendapatkan penjelasan.

Vaksin yang diberikan adalah vaksin program imunisasi nasional yang diproduksi PT Bio Farma. Jika terjadi demam, dapat diberikan parasetamol 10 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam.

Kementerian Kesehatan bersama seluruh jajaran kesehatan bertekad melakukan langkah ini hingga tuntas. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan kerja sama semua pihak dan pengertian dari masyarakat untuk mengikuti dan mencatat dalam buku imunisasi anak. Pemberian imunisasi wajib yang diulang juga dapat dilakukan kepada anak yang diragukan menerima vaksin palsu atau tidak setelah dikonsultasikan kepada dokter anak. IDAI menyatakan pemberian imunisasi ulang jika ternyata sudah menerima yang benar, tidak menimbulkan overdosis dan tak memberikan dampak buruk bagi anak.

Langkah Kementerian Kesehatan selanjutnya adalah perbaikan tata kelola produksi dan distribusi vaksin agar kasus vaksin palsu tidak terjadi lagi. Regulasi dan pengawasan pada seluruh tingkatanjuga dibenahi.

Hal lain yang patut mendapatkan perhatian adalah pengolahan limbah rumah sakit. Limbah berupa botol bekas vial vaksin yang tidak dimusnahkan membuka celah untuk diperjualbelikan dan disalahgunakan. Untuk itu, pengawasan rumah sakit perlu diperketat dan diatur lebih detail. Ini merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan tanggung jawab profesional dan fungsi rumah sakit yang seharusnya menolong manusia.

NILA F MOELOEK, MENTERI KESEHATAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Langkah Penanganan Vaksin Palsu".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger