Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Agustus 2016

Horizon Kepemimpinan (SUWIDI TONO)

Dalam hikayat pewayangan, dikisahkan Raja Amartapura berbudi pekerti luhur, Yudhistira alias Puntadewa, sering meminta nasihat kepada Begawan Abiyasa (simbol otoritas moral), Sri Kresna (cendekia mumpuni), dan Semar (ikon mata batin rakyat). Ketiga penasihat itu tidak melekat dalam struktur kekuasaan, berjarak, dan bebas kepentingan.  

Ketiganya merepresentasikan otentisitas panduan, sumber keluasan dan kedalaman menafsir hakikat kehidupan dan kekuasaan. Memiliki kemampuan menjangkau makna kausalitas dan weruh sakdurunge winarah  (mengetahui sebelum peristiwanya terjadi). Segenap ikhtiarnya hanya untuk mengupayakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup (memayu hayuning bawono).

Yudhistira selalu mendengar dengan takzim, merenungkan sasmita, kejernihan pesan dari para bijak-bestari itu, kemudian melaksanakannya tanpareserve. Jauh dari sikap feodal dan terbebani aristokrasi, Sang Raja bisa menangis bersimpuh di depan Semar jika sedang menghadapi situasi kritis. Ia akan meminta petunjuk dari punakawan setianya itu yang tidak segan menyampaikan kritik keras untuk meluruskan dharma kesatria sejati.

Metafora ini mengajarkan kerendahhatian sekaligus kepekaan pemimpin dalam menangkap aspirasi dan aneka gejala dari segala penjuru tanpa terbelenggu singgasana, realitas, dan formalitas. Kesediaan menerima masukan dari berbagai sumber bebas pamrih itu memberikan kekuatan, keyakinan, dan kemampuan untuk keluar dari bermacam  jeratan kepentingan yang menghambat gerak kemajuan dan keluhuran.

Inspirasi dari tiga serangkai simbolik Abiyasa-Kresna-Semar adalah melembaganya eksistensi second  opinion dan deliberasi publik yang menawarkan perspektif imateriil dan imparsial. Semacam referensi pembanding dalam praktik pengambilan keputusan yang didominasi oleh pemikiran teknokrasi dan resep kebijakan generik guna meraih kesuksesan jangka pendek, tetapi terbukti rapuh menyangga pertumbuhan berkelanjutan  jangka panjang.

Jauh tertinggal

Sejak merdeka, telah terjadi pergantian kepemimpinan nasional tujuh kali. Selama 71 tahun terdapat banyak kemajuan, selain kemunduran. Namun, jika kita mau introspeksi dan obyektif menggunakan  indikator universal, kemajuan itu termasuk sangat lambat dan mengkhawatirkan.

Selama rentang 1980-2014, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tergolong stagnan, stabil bertengger di peringkat ke-108-110 di antara 200-an negara. Nilai IPM Indonesia tumbuh rata-rata hanya 1,08 persen per tahun dari 0,474 tahun 1980 menjadi 0,684 pada 2014 (dari skala 1-10). Perolehan nilai dan peringkat Indonesia tahun 2014 ini setara dengan Gabon, negara di Afrika Barat. Bandingkan dengan negara-negara yang kondisinya hampir sama dengan Indonesia pada tahun 1980, tetapi telah melesat di peringkat 11-90 dunia. Sebutlah seperti Singapura (0,912), Malaysia (0,779), Sri Lanka (0,757), Tiongkok (0,727), dan Thailand (0,726). 

Demikian pula apabila parameternya menggunakan tingkat kemudahan berbisnis dan berinvestasi (ease of doing business), Indonesia juga jauh tertinggal. Tahun 2015, Indonesia berada di peringkat ke-109 dari 189 negara yang disurvei Bank Dunia. Bandingkan dengan Singapura (peringkat ke-1), Tiongkok (5), Malaysia (18), Thailand (49), Vietnam (90), Filipina (103), dan Sri Lanka (107).

Dari studi perolehan nilai tambah hasil produksi industri manufaktur, jarak ketertinggalan itu juga tampak sangat kontras dan sungguh memprihatinkan. Sekadar ilustrasi, nilai tambah produk manufaktur Singapura tahun 2015 adalah sekitar 9.000 dollar AS per kapita per tahun, sedangkan Indonesia hanya sekitar 800 dollar AS per kapita per tahun. Perbedaan besar ini menunjukkan kelemahan pada banyak hal, terutama tingkat efisiensi dan kualitas sumber daya manusia.

Kalibrasi terhadap dua indikator universal itu juga patut disampaikan. Sebagian besar negara pembanding tersebut mencapai prestasi mengesankan tanpa banyak mengeksploitasi bahkan miskin sumber daya alam. Sebaliknya, Indonesia harus membayar mahal pertumbuhan semenjana (menengah, sedang) tersebut dengan kerusakan dan kehilangan sumber daya alam tak terbarukan. Selain itu juga punahnya keanekaragaman hayati dan lenyapnya jutaan plasma nutfah yang tidak ada padanannya di bagian dunia mana pun.

Ditambah masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan, kritik mendasar terhadap pengelolaan negara adalah pada pilihan strategi pembangunan yang bias sasaran dan sarat pemihakan pada pemilik kapital. Deregulasi mestinya tidak hanya menyangkut kepastian hukum, tetapi juga memberi peluang setara terhadap aksesibilitas modal dan pekerjaan. 

Kritik ini merupakan sinyal untuk koreksi kita bersama, terutama kepada mereka yang mengagungkan pertumbuhan ekonomi tanpa menghitung kerusakan ekosistem alam dan sosial. Sebuah tindakan yang tidak bertanggung jawab bagi masa depan anak-cucu kita. Banyak contoh negara yang meraih lompatan kemajuan  mengesankan dengan meletakkan dasar kebijakan sistematis dalam memajukan kapasitas otak (pendidikan) dan watak (karakter) rakyatnya. Di sini tesis Peter F Drucker,there is no under-developed country, there is only under-managed country,menemukan relevansinya.

Bahaya lanjutan

Pemerintahan Joko Widodo tampak amat menyadari pentingnya dua indikator universal hasil akumulasi capaian pembangunan tersebut, sebagaimana tecermin dari upaya menggenjot pembangunan infrastruktur, memperluas dan memperbaiki pelayanan pendidikan, kesehatan, dan menyiapkan aneka instrumen  untuk menumbuhkan investasi. Beberapa catatan perlu dikemukakan agar semua ikhtiar itu tidak menuai hasil serupa, yakni pertumbuhan tidak berkualitas seperti terjadi pada rezim-rezim terdahulu.

Pertama, percepatan pembangunan pro pertumbuhan melalui pengadaan infrastruktur dan menggenjot investasi produktif tidak selalu simetris bersanding dengan upaya mengentaskan rakyat miskin, pengangguran, dan ketimpangan. Yang satu bukan obat mujarab bagi yang lain. Dalam banyak hal, terdapat kecenderungan saling meniadakan (trade-off). Dampak ketidaksetaraan dalam memanfaatkan peluang dapat  membuat situasi semakin runyam.

Telaah ini secara teoretis dan praktis telah diingatkan peraih Nobel Ekonomi 2001, Joseph E Stiglitz (The Price of Inequality, 2012). Kedua, korupsi merupakan momok berbahaya, menggerogoti efisiensi dan produktivitas. Selama pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak segera menemukan bentuk efektifnya, maka sirkulasi sistem produksi lebih banyak dinikmati para pemburu rente dan menyisakan anomali redistribusi pendapatan.

Ketiga, birokrasi dan partai politik harus memahami dan menjamin keberhasilan visi besar dan jangka panjang yang ditetapkan dan dijalankan pemerintah. Sejumlah problem klasik seperti lemah koordinasi, lamban merespons kebijakan dan keputusan, gagap mengatasi masalah, pasif dalam  inisiatif, merupakan halangan  nyata yang menunggu dituntaskan. Demikian pula kegaduhan politik yang kerap menyertai pembangunan proyek besar atau kebijakan strategis memerlukan penanganan tersendiri agar tidak menghambat program.

Keempat, sekalipun didukung regulasi dan berbagai kemudahan, ekses dari investasi masif acap kali menimbulkan problem sosial-ekonomi di lapangan. Dari mulai terbentuknya enklave sampai gesekan kontraproduktif. Telah banyak contoh, akibat ketidaksabaran mengelola proses dan menghargai aspirasi setempat, berulang kali muncul keributan yang justru membuat aspek kepastian hukum tidak berguna.  

Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB, Sajogyo (1998), pernah mengingatkan: "Kita sering kali tidak sabar untuk membangun kelembagaan sosial dan ekonomi berbasis kemandirian dan pemberdayaan di tingkat lokal. Kita kemudian mendapati invasi modernisasi, akan tetapi tanpa nilai tambah berarti di level masyarakat." Di sektor pertanian, Sajogyo telah mengingatkan hal itu sejak lama melalui makalahnya yang monumental dan menjadi rujukan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 1973: "Modernization without Development in Rural Java".

Dalam situasi normal, tantangan bangsa hari ini dan ke depan sudah jelas amat besar dan berat. Apalagi bila sewaktu-waktu terjadi krisis. Inilah relevansi perlunya horizon baru kepemimpinan di semua level yang  memiliki kecukupan pengertian memetakan konstelasi dan memiliki keandalan mengatasi serba-muka persoalan dengan landasan kebijakan yang visioner dan dapat dipertanggungjawabkan. 

SUWIDI TONO

KOORDINATOR FORUM "MENJADI INDONESIA"

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Horizon Kepemimpinan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger