Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Agustus 2016

TNI, Polri, dan Narkoba (THOMAS SUNARYO)

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar, yang menulis testimoni gembong narkoba yang sudah dieksekusi mati, Freddy Budiman, soal perilaku aparat, dituding mencemarkan nama baik dan dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh  TNI, BNN, dan Polri.  Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian buru-buru menyimpulkan bahwa pengakuan Freddy yang ditulis Haris sulit dibuktikan.

Testimoni Freddy, seperti ditulis Haris, memang mengerikan. Di sana antara lain disebutkan bahwa total uang senilai Rp 450 miliar digelontorkan ke aparat Badan Narkotika Nasional dan Rp 90 miliar ke personel Kepolisian Negara RI agar bisnis terkutuknya tak diganggu. Freddy juga mengaku pernah didampingi jenderal TNI berbintang dua saat membawa narkoba lewat darat dari Medan ke Jakarta.

Tak hanya di Indonesia

Tak heran jika publik mempertanyakan mengapa TNI, BNN, dan Polri begitu cepat membawa persoalan Haris ke jalur hukum karena sulit dibuktikan. Sangat tidak patut jika resistensi yang justru dikedepankan sebelum terlihat adanya tindakan serius untuk menindaklanjuti pengakuan Freddy Budiman, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketakutan bagi masyarakat yang hendak berkontribusi memerangi peredaran narkoba.

Dalam upaya memperbaiki citra kepolisian di Amerika Serikat, Jerome Skolnik (1971) memberikan empat hal dalam lingkungan tugas polisi, yang melemahkan konsepsi hukuman sebagai tujuan primer dari tindakan polisi.

Pertama, psikologi sosial dari kerja polisi, yakni hubungan antara lingkungan tugas dengan kepribadian kerja dan kedaulatan hukum. Kedua, taruhan polisi dalam mempertahankan kedudukan otoritasnya, terutama terkait kepentingannya dalam menopang pola-pola penegakan hukum yang telah diterima. Ketiga, sosialisasi polisi, terutama pengaruhnya atas bias administrasi polisi. Keempat, kesempatan polisi untuk bertindak secara tidak konsisten dengan kedaulatan hukum akibat penglihatan yang kurang baik atas sebagian kelakuannya.

Selanjutnya dikatakan, jika polisi senantiasa mengembangkan suatu konsepsi hukum, bukan profesional manajerial, mereka hanya melakukannya jika lingkungannya menuntut kepatuhan dan menyediakan ganjaran atas kepatuhan itu semata-mata dengan melihat polisi hanya bertanggung jawab dalam menghadapi kriminalitas. Fungsi polisi dalam suatu milieu  cenderung secara normatif ataupun substantif mendukung gagasan efisiensi administratif, yang telah jadi ciri profesionalisme polisi.

Gejala umum pada organisasi kepolisian adalah ditekankannya official perspective, yaitu pandangan resmi yang mengejar kepentingan prestise dan efisiensi organisasi kepolisian, bukancustomers perspective, yakni pandangan yang lebih berorientasi pada kepentingan umum yang menghendaki sifat pelayanan yang sesuai dengan harapan masyarakat. Di samping itu, polisi sering kali mewarnai tindakan dalam gangguan kamtibmas dalam bentuk-bentuk diskresi. Tak jarang pula digunakan salah satu wujud konkret diskresi, yakni penggunaan kekerasan.

Akan halnya korupsi polisi pada bagian-bagian tertentu dalam aparat pemerintahan, The Knapp Commission, yang menyelidiki tentang luas dan pola korupsi di dalam kepolisian di beberapa kota metropolitan di AS, menunjukkan bahwa korupsi paling banyak terdapat pada kesatuan-kesatuan yang oleh polisi disebut "tempat basah" (the golden coast), yaitu kesatuan-kesatuan pengawasan judi, pelacuran, narkoba, rentenir, dan lalu lintas.

Pola korupsi yang terjadi  di kesatuan-kesatuan  ini mendorong orang ke arah yang pesimistis, bukanlah lingkungan yang menyebabkan polisi tidak dapat melaksanakan tugasnya. Polisi mencipta lingkungan yang tidak memungkinkan pelaksanaan tugasnya, tentu saja  dengan bantuan dari pembuat undang-undang, pengadilan, bandar, germo, penjudi, pencandu, pengedar obat bius, badan-badan pelaksana hukum yang lain, pamong praja, dan masyarakat umum.

Dalam penanggulangan penyalahgunaan obat bius, misalnya, Peter Manning memperlihatkan bahwa polisi sesungguhnya tidak tahu apa yang dilakukannya. Mereka tidak punya informasi yang tahan uji dan tidak bisa memperolehnya tentang berapa jumlah orang yang menggunakan obat bius tertentu, dalam keadaan apa dan atau di mana mereka bisa ditemukan.

Namun, mereka harus "berbuat sesuatu" berkenaan dengan masalah "obat bius". Alhasil, mereka lalu mencipta suatu dunia orang-orang pencandu dan pengecer atas dasar potongan-potongan keterangan, yang kebetulan mereka ketahui, lengkap dengan suatu teori tentang bagaimana mereka bekerja sama dan bagaimana rupa pelapisan sosial di kalangan mereka (misalnya pelanggar besar, pencandu jalanan, dan sebagainya).

Mereka juga mencipta metode-metode untuk menangani orang-orang demikian, yang memungkinkan mereka menghasilkan jumlah penangkapan yang cukup banyak untuk memuaskan para atasan (dan atasan mereka) bahwa sesuatu telah dilakukan. Karena kekurangan keterangan yang tahan uji, para pegawai tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh petugas. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat mengatakan apakah seseorang memang mencapai apa yang dilaporkan sebagai apa yang telah dicapai.

Dalam kenyataannya, kebanyakan penangkapan (meskipun hanya dalam jumlah kecil obat bius) d ilakukan oleh petugas polisi biasa dan bukan oleh ahli-ahli narkotika. Polisi narkotika memperburuk masalah dengan menyembunyikan keterangan terbatas yang mereka miliki karena takut bahwa kasus-kasus mereka akan dicuri orang. Mereka bekerja untuk memperoleh manfaat sebanyak mungkin dari kepentingan jangka pendek mereka sendiri.

Tahan kritik

Peredaran ilegal narkoba merupakan kejahatan luar biasa, terorganisasi dengan jaringan internasional yang masuk ke sendi- sendi kehidupan masyarakat. Upaya penanggulangan peredaran narkoba yang marak di negeri ini selayaknya memperhatikan pula pemikiran-pemikiran sebagaimana telah diuraikan di atas.

Melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat tidak takut menyampaikan kritik yang membangun kepada penegak hukum.

"Presiden mengingatkan aparat untuk melihat kritik dan informasi itu sebagai masukan guna melakukan koreksi apabila kritik dan informasi itu berkaitan dengan oknum aparat," ujar Johan, yang juga menirukan perintah Presiden: "Aparat yang melanggar hukum dan melindungi pengedar narkoba tentu harus disikat."

THOMAS SUNARYO

KRIMINOLOG, PENGAJAR PASCASARJANA KETAHANAN NASIONAL UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "TNI, Polri, dan Narkoba".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger