Harapan negara hadir semestinya bukanlah hadir secara fisik belaka, melainkan hadir dengan kelahiran baru yang dapat memegang nilai dan norma sebagai negara. Kebijakan penataan ruang dan lingkungan hidup dapat dianggap relatif terbebas dari kepentingan sektor-sektor tersebut secara langsung. Semua sektor memerlukannya.
Secara ideal dua undang-undang yang mengaturnya, yaitu UU Penataan Ruang dan UU Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), telah memandatkan kepentingan sektor-sektor dalam memanfaatkan ruang berdasarkan kriteria agar dipenuhinya kepentingan publik, yaitu tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK (2016), semua provinsi telah memiliki peraturan daerah mengenai penataan ruang, kecuali Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kecilnya hubungan antara keberadaan peraturan daerah dan banyaknya konflik penggunaan hutan serta lahan.
Dalam 15 tahun terakhir, terutama di luar Pulau Jawa, perkembangan industri ekstraktif, seperti tambang ataupun perkebunan kelapa sawit, dan akibat perkembangannya mengikuti mekanisme pasar (intervensi negara tidak hadir) telah mengurangi fungsi kawasan hutan negara ataupun hilangnya lahan-lahan pertanian tanaman pangan produktif secara signifikan. Misalnya, secara nasional kawasan konservasi yang menjadi tambang seluas 1,3 juta hektar. Demikian pula hutan lindung menjadi tambang seluas 4,9 juta hektar. Itu berarti ancaman bagi pertanian tanaman pangan bukan hanya lahan tanaman pangan berkurang, melainkan pasokan sumber daya air juga akan semakin menyusut.
Di Pulau Jawa juga serupa. Sawah dan lahan-lahan pertanian produktif dikonversi dari waktu ke waktu, baik akibat perkembangan perkotaan dan perumahan, industri ekstraktif seperti semen, maupun hilangnya fungsi lahan pertanian itu akibat tidak adanya pasokan air yang diperlukan.
Tidak berjalannya pengendalian ruang tersebut juga disebabkan oleh tidak berjalannya pembangunan ekonomi berbasis ekoregion yang dipandu melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan harus diadopsi oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang ataupun Menengah oleh pusat ataupun daerah, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) bagi pelaksanaan kebijakan, rencana ataupun program sebagaimana dituangkan dalam UU PPLH.
Dari proses Nota Kesepakatan Bersama/Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (NKB/GNSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui bahwa implementasi UU PPLH itu secara politik dalam lima tahun terakhir dihambat oleh semua sektor pembangunan yang berbasis ekonomi.
Mengapa negara tidak hadir?
Fungsi negara yang dijalankan pemerintah/pemerintah daerah di lapangan dapat dikalahkan oleh privatisasi peran intervensi negara akibat setidaknya dua hal. Pertama, kapasitas penyelenggaraan pemerintahan yang terbatas (materiil, moril) telah terbeli oleh nilai triliunan rupiah dari rente ekonomi ataupun kewajiban usaha-usaha pembayar pajak yang sengaja tidak dipenuhi.
Misalnya, dalam laporan pelaksanaan NKB KPK 2013 terdapat perusahaan tambang yang tidak clear and clean dan tidak membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) senilai puluhan triliun rupiah. Juga perusahaan kebun di Riau, misalnya, yang dilaporkan Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2016), di mana dari 474 perusahaan, 127 perusahaan di antaranya tidak berizin. Kantor Pajak Provinsi Riau juga melaporkan, dari jumlah perusahaan yang berizin itu, yang membayar pajak hanya sepertiganya. Hal itu dikonfirmasi oleh Komisi A DPRD Provinsi Riau, awal Agustus 2016, yang melaporkan bahwa dari target pajak daerah dari perkebunan Rp 24 triliun hanya diterima Rp 9 triliun.
Pemberi izin dan perusahaan turut andil dan membiarkan situasi tersebut dengan cara tidak bersedia memberikan data perusahaan kepada petugas pajak. Dengan situasi seperti itu, artinya terdapat potensi Rp 15 triliun per tahun di Riau untuk membeli pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh negara.
Kedua, akibat adanya state capture, yaitu upaya sekelompok orang, di dalam dan di luar pemerintahan, yang memengaruhi isi peraturan dan/atau pengambilan keputusan sehingga menguntungkan mereka dan pada waktu yang sama merugikan kepentingan publik. Akibatnya, mereka dapat menjalankan misi buruknya melalui regulasi atau keputusan yang sah.
State capture dalam pengelolaan sumber daya alam dapat mengakibatkan alokasi pemanfaatan sumber daya cenderung untuk kelompok usaha tertentu, pajak yang dibayar lebih rendah dari yang seharusnya, izin usaha dapat diperluas dan/diperpanjang walaupun tak sesuai ketentuan ataupun syarat kinerja usaha—terutama terhadap dampak sosial dan lingkungan—dapat diperlonggar. Namun, dalam waktu sama terjadi keputusan-keputusan transaksional dengan biaya tinggi yang harus dibayar perusahaan.
Sejauh perusahaan mempunyai rente ekonomi tinggi, bukan hanya karena usahanya secara finansial menguntungkan, melainkan juga akibat membayar pajak yang rendah atau tidak membayar pajak sama sekali, maka biaya-biaya transaksional tersebut tidak menjadi kendala. Namun, apabila iklim usahanya buruk, seperti yang dialami usaha hutan alam produksi saat ini, usaha-usaha itu cenderung bangkrut. Meskipun begitu, bangkrut dan rusaknya hutan alam itu tidak serta- merta merugikan pengusahanya karena seluruh kekayaan alam yang dimanfaatkan milik negara.
Kedua hal itu di atas mengakibatkan tindakan-tindakan di lapangan harus dianggap legal, karena sesuai peraturan perundang-undangan, tetapi jiwa dan substansinya penuh sengketa sehingga walaupun legal tetapi tidak memiliki legitimasi secara sosial. Demikian pula posisi pemerintah/pemda serta aparat keamanan bukan menjadi instrumen negara yang dapat melakukan intervensi pasar pemanfaatan sumber daya alam, melainkan menjadi bagian dari mekanisme pasar itu sendiri. Maka, siapa yang kuat, dialah yang menang.
Ibarat di sebuah pasar, siapa yang punya uang, dialah yang bisa membeli barang, tidak peduli orang lain dapat memperoleh barang itu atau tidak. Itulah yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kehadiran negara justru bersaing dengan kebutuhan masyarakat banyak karena negara berfungsi sebagai private.
Kondisi demikian itu menyebabkan hal- hal yang menjadi kepentingan publik, seperti lingkungan hidup, ataupun hal-hal yang menjadi kepentingan golongan masyarakat yang lemah secara politik, seperti petani, diabaikan. Maka, mudah dimengerti mengapa UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tak bisa berjalan. Permintaan lahan untuk pangan itu, ketika peran negara digantikan oleh free riders, tidak ada yang akan memenuhinya. Karena permintaan itu tidak disertai dengan kesanggupan bersaing dengan membayar biaya transaksi, sebagaimana permintaan lahan yang sama untuk non-pertanian telah disediakan senilai triliunan rupiah.
Peran penting tata kelola
Persoalan-persoalan di atas hanya dapat diselesaikan apabila negara dapat fokus untuk menyelesaikan soal hak/status dan fungsi hutan/lahan. Kepastian property rights dan keadilan alokasinya, baik secara ekonomi maupun institusi, akan menghidupkan insentif pemanfaatan sumber daya bagi yang rakyat kecil ataupun pengusaha besar. Juga meminimumkan perilaku free riders dan situasi transaksional, karena adanya kejelasan lokasi, penguasaan, ataupun fungsi sumber daya alam akan memperkecil peluang terjadinya manipulasi.
Bagaimana melakukannya? Nawacita yang populer sejak dua tahun lalu masih tumpul ketika memasuki ruang politik pengelolaan sumber daya alam di lapangan, di mana jiwa Nawacita harus diwujudkan bentuknya. Berbagai bentuk perubahan untuk perbaikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional juga belum mampu menggeser privatisasi peran negara di lapangan itu.
Untuk itu, yang mungkin dapat dilakukan adalah membuka jaringan privatisasi peran negara itu melalui keterbukaan informasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Di samping itu, penegasan presiden sekali lagi dalam pemberantasan korupsi sangat diperlukan. Demikian pula janji pimpinan KPK pada awal pelaksanaan jabatannya untuk memperkuat pencegahan korupsi harus diwujudkan. Untuk itu, KPK perlu tetap fokus dan desain pemberantasan korupsi di sektor-sektor sumber daya alam untuk memecah jaringan privatisasi peran negara.
Di samping itu juga perlu melakukan penguatan fungsi koordinasi dan supervisi guna mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam. Itu artinya, kedua program KPK, pencegahan dan penindakan, perlu diintegrasikan agar dapat saling menunjang.
Pengalaman saya melakukan fasilitasi dalam pelaksanaan perbaikan tata kelola seperti itu, di kementerian/lembaga ataupun di tingkat provinsi dalam dua tahun terakhir, sangat tidak efektif apabila tidak diikuti koordinasi dan supervisi KPK. Hal tersebut dapat dipahami karena kehadiran negara, kalaupun memang sudah hadir, baru sebatas fisiknya. Sementara nilai dan normanya sebagai negara yang sesungguhnya masih tertinggal.
HARIADI KARTODIHARDJO, GURU BESAR KEBIJAKAN KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR; NARASUMBER GNSDA-KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Negara dan Sumber Daya Alam".