Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 22 September 2016

Agar Menjadi Pelajaran//Knalpot Mendongak//Pajak Progresif//Dampak GKL-PP (Surat Pembaca Kompas)

Agar Menjadi Pelajaran

Kasus salah angkat Menteri ESDM Arcandra Tahar beberapa waktu lalu seharusnya belum boleh berhenti begitu saja. Harus ada kejelasan, siapa yang salah?

Sadar atau tidak, kita suka sekali berlindung di balik ungkapan atau ekspresi, "Biar nanti jadi pelajaran" atau "Agar menjadi pelajaran", atau kata-kata lain dengan maksud sama. Artinya, sesuatu yang salah, yang sudah telanjur, biarlah. Asal jangan terjadi lagi. Namun, tindak lanjut berupa pengusutan siapa yang harus bertanggung jawab sampai terjadi peristiwa itu tidak berlangsung.

Setahun lalu, sekadar mengambil contoh ke belakang, Presiden menandatangani sebuah perpres, yang isinya salah. Menurut saya, tanggapan Presiden tepat ketika ia mengatakan tidak membaca secara detail semua dokumen. Waktu itu, Presiden mengatakan, "Apakah saya harus cek satu- satu? Berarti enggak usah ada administrator lain dong kalau presiden masih mengecek satu-satu." Betul. Presiden diapit para pembantu berpangkat menteri.

Kasus yang mirip dengan Arcandra adalah Gloria, anggota Paskibraka tingkat nasional yang nyaris tidak boleh ikut upacara 17 Agustus di Istana. Harusnya hal ini tidak dilepaskan dari keterlibatan menteri terkait. Namun, kenyataannya Presiden yang turun tangan. Artinya, di sini pun Presiden lagi yang langsung menanggung beban.

Tampaknya yang salah adalah kelalaian kita untuk memaknai ungkapan "biar nanti jadi pelajaran" tersebut secara benar. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada yang dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan-kesalahan di atas dan apa konsekuensinya.

Apabila kita salah mengangkat pegawai provinsi atau juru tulis kelurahan, kita boleh memetik pelajaran: jangan sampai terulang lagi. Akan tetapi, kalau salah mengangkat menteri, yang adalah anggota Kabinet RI, amboi... pelajaran apa lagi yang hendak kita petik?

H A ZEN UMAR PURBA, DOSEN PROGRAM PASCASARJANA FHUI

Knalpot Mendongak

Sebagai pengendara sepeda motor yang berkegiatan di Jakarta dan sekitarnya, tentu saja saya tidak terhindar dari polusi udara di sekitar.

Polusi udara itu terutama yang bersumber dari buangan asap knalpot, mengandung setidaknya gas CO dan logam timbel (Pb) yang jelas mengganggu kesehatan. Namun, belakangan ini bukan hanya asap yang mengganggu, melainkan juga kedudukan knalpot sepeda motor.

Banyak knalpot sepeda motor yang posisinya mendongak sehingga semburan asapnya tepat mengarah ke wajah pengendara sepeda motor di belakangnya. Hal ini jelas mengganggu kenyamanan pengguna jalan.

Saya berharap pihak kepolisian, DLLAJR, dan yang berwenang lain segera menertibkan sepeda motor dengan knalpot yang mendongak itu.

REZKY, TAMAN MANGU INDAH, TANGERANG SELATAN

Pajak Progresif

Sejak tahun 2013 saya menempati rumah tinggal yang saya beli dari Bapak E. Sebelumnya, Bapak E membeli rumah ini dari Ibu S pada tahun 2009.

Masalah datang sewaktu Agustus 2016 hendak memperpanjang STNK mobil pertama saya, Honda. Ternyata di Samsat saya terkena pajak progresif. Akibatnya, biaya perpanjangan STNK mobil saya kena tambahan hampir Rp 2 juta. Alasannya, ada mobil pertama dengan alamat rumah saya saat ini, yaitu Suzuki Swift, dengan nomor polisi B 1318 BFK yang pajak kendaraannya jatuh tempo tahun 2011, masa berlaku STNK sampai 2014, dengan pemilik Bapak Antonio.

Saya ke Samsat mengatakan, apakah perlu saya tunjukkan sertifikat rumah dan kartu keluarga saya sebagai tanda bukti bahwa rumah milik saya. Pihak polda mengatakan bahwa pajak progresif hanya bisa dihapus jika pemilik mobil Suzuki tersebut memblokir sendiri.

Saya menelepon Bapak E dan menanyakan apakah ada anggota keluarga yang memiliki mobil tersebut? Dia menjawab tidak ada. Kemungkinan anak Ibu S, tetapi Ibu S sekarang tinggal di luar negeri beserta keluarganya.

Saya kecewa karena peraturan pemerintah tentang pajak progresif diterapkan dengan sewenang-wenang. Berarti pada tahun-tahun berikutnya saya harus membayar pajak progresif atas mobil yang tidak saya miliki.

ANASTASIA LIEM, TAMAN KEBON JERUK, JAKARTA BARAT

Dampak GKL-PP

Untuk kesekian kali, saya mengeluhkan dampak pembangunan apartemen Grand Kamala Lagoon (GKL). Proyek tersebut tidak hanya bising siang malam, tetapi juga makin parah merusak rumah. Lantai keramik rumah saya pecah-pecah dan plafon hampir lepas. Mohon pihak PP Property segera menepati janji untuk memperbaiki.

HENDRI, WARGA TAMAN CIKAS, PEKAYON, BEKASI SELATAN<

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger