Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 22 September 2016

Menepis Mitos Perang Nuklir Semenanjung Korea (FREGA F WENAS INKIRIWANG)

Pekan lalu dunia kembali dikejutkan oleh aksi Korea Utara yang melakukan uji coba senjata nuklir di Semenanjung Korea. Percobaan itu telah menimbulkan ketegangan baru di kawasan Asia Timur.

Sejak nuklir digunakan dalam Perang Dunia II ketika Amerika Serikat mengebom dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, dunia belum pernah menyaksikan kembali penggunaan senjata nuklir dalam konteks perang. Meski mampu memaksa Jepang menyerah, kerusakan akibat bom nuklir kala itu sangat dahsyat. Selain mematikan ratusan ribu orang, bom nuklir juga memberikan efek radiasi yang membuat cacat secara permanen untuk beberapa generasi.

Sepanjang sejarah, sejak berakhirnya Perang Korea, Semenanjung Korea tidak pernah sepi dari ketegangan, terlebih ketika dunia terbagi menjadi dua kutub saat Perang Dingin. Korut yang lebih berorientasi komunis mendekat ke Uni Soviet dan Tiongkok. Sementara Korea Selatan (Korsel) memilih bergabung dengan AS. Proxy war di antara dua kekuatan dunia selama Perang Dingin, Amerika dan Uni Soviet, semakin memisahkan kedua Korea yang dulunya bersatu. Pemisahan itu terbawa hingga sekarang meskipun Perang Dingin sudah berakhir.

Saat ini Korut sangat erat hubungannya dengan Tiongkok, bahkan kerja sama militer—termasuk dalam pengembangan teknologi nuklir—disinyalir dikembangkan lebih jauh oleh kedua negara tersebut. Sementara Korsel sejak berakhirnya Perang Korea terus bermitra dengan AS. Teknologi militer Korsel tidak kalah dengan teknologi-teknologi negara Barat karena memang difasilitasi AS sebagai salah satu sekutunya di kawasan Asia Timur. AS menempatkan United States Forces Korea (USFK) yang dipimpin jenderal bintang empat, dengan kekuatan personel hampir 30.000 orang.

USFK sendiri berada di bawah United States Pacific Command yang bermarkas di Hawaii dan dikepalai seorang laksamana penuh. USFK merupakan markas gabungan AS dengan Korsel yang membawahkan semua kekuatan militer AS, termasuk marinir dan operasi khusus. Penempatan USFK adalah untuk mengantisipasi apabila terjadi eskalasi.

Dengan pakta pertahanan yang disepakati, Korsel bersandar sepenuhnya kepada AS. Korsel meyakini kemampuannuclear umbrella AS akan melindunginya dari ancaman nuklir Korut. Wajar jika setelah uji coba nuklir Korut disikapi dengan unjuk kekuatan pesawat bomber supersonik Amerika dari Pangkalan Udara Osan yang terbang melintas mendekati perbatasan.

Perkembangan-perkembangan tersebut memicu sejumlah analisis dan prediksi. Apalagi melihat pemimpin Korut, Kim Jong Un, yang dengan mudah memerintahkan untuk mengerahkan kekuatan militer. Di dalam negeri, ia tak segan mengeksekusi jenderal-jenderal yang tidak loyal dengannya.

Apabila Korut nantinya berhasil mengembangkan teknologi senjata nuklir yang bisa mencapai Amerika Serikat, tentunya akan menjadi sebuah game changer baru di kawasan Asia Timur. Kedekatannya dengan Tiongkok akan memudahkan keduanya membentuk koalisi baru yang seimbang untuk bertarung dengan kekuatan Barat.

Kontribusi Indonesia

Memang, mewujudkan dunia yang ideal dengan perdamaian abadi akan sulit. Terlebih dengan perbedaan dalam kepentingan nasional tiap negara yang sering berbenturan. Sejauh ini upaya membatasi penggunaan senjata nuklir digaungkan melalui Traktat Non-proliferasi Nuklir (NPT). Namun, ini belum sepenuhnya mengikat. Oleh karena itu, peran organisasi dunia, seperti PBB dan Badan tenaga Atom Internasional (IAEA) harus lebih diberdayakan. Tak mudah untuk mencapainya ketika berhadapan dengan kekuatan dunia, seperti AS, yang ingin mempertahankan hegemoninya.

Konstitusi Indonesia mengamanahkan untuk turut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia. Demikian juga politik luar negeri bebas aktif memungkinkan Indonesia memainkan peran di kawasan secara fleksibel dan dinamis. Sejak era Presiden Soekarno, hubungan diplomatik Jakarta-Pyongyang terus berlanjut hingga sekarang. Indonesia pun dekat dengan Korsel di mana sejumlah proyek kerja sama dengan Kementerian Pertahanan RI telah dijalin, seperti proyek pesawat KFX/IFX. Belum lagi dengan AS dan Tiongkok yang juga terus menjalin kerja sama di sejumlah bidang, termasuk ekonomi. Dengan sejumlah peluang tersebut, Indonesia berkesempatan menjadi mediator.

Perang berpotensi menimbulkan kemunduran terhadap peradaban dunia. Korban jiwa dan material tidak terhitung apabila terjadi perang. Meski tidak secara langsung terlibat, dampak perang meluas—termasuk isu pengungsi dan sejumlah masalah kemanusiaan lainnya—bukan tak mungkin akan berpengaruh terhadap stabilitas kawasan.

Oleh karena itu, kontribusi Indonesia dalam membantu meredakan ketegangan di Semenanjung Korea sangat diharapkan. Sangat mungkin nantinya Indonesia akan mendapatkan apresiasi positif dari dunia. Untuk itu, komitmen pemberdayaan multitrack diplomacy sebagai wahana dalam mencapai kondisi tersebut membutuhkan sinergitas semua aset yang ada, selain kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan. Dengan demikian, diharapkan Indonesia bisa semakin diperhitungkan dalam proses perdamaian dunia yang sering kali butuh penengah. Semoga mitos perang nuklir di Semenanjung Korea tetap sebagai mitos sehingga prediksi akan pecahnya perang nuklir di Semenanjung Korea bisa dihindari.

FREGA WENAS INKIRIWANG, DOSEN UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Menepis Mitos Perang Nuklir Semenanjung Korea".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger