Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 September 2016

Ketika Penguasa Jadi Lelucon (AGUS NOOR)

Ada ungkapan dari Rusia: para penguasa mesti waspada ketika mulai banyak lelucon tentang dirinya. Tentu saja, mengingatkan Rusia saat itu di bawah kekuasaan otoriter yang melakukan banyak sensor dan humor menjadi sebuah cara untuk melakukan perlawanan. 

Suasana yang relatif sama terjadi ketika mulai merebak anekdot tentang penguasa di era Orde Baru.

Kekuatan humor dalam lelucon punya potensi mendekonstruksi dan demitologisasi kekuasaan. Humor mencairkan keangkeran sekaligus memperlihatkan ketidakberesan dengan menertawakannya. Dan, manusia tertawa—menurut filsuf Arthur Schopenhauer—ketika menyadari adanya ketidakberesan itu.

Lelucon politik pada akhirnya tak hanya berhenti pada mengisahkan kekonyolan. Karena, sebagai sebagaimana diyakini Gene Perret, pada dasarnya lelucon muncul karena hendak mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan. Lebih jauh, Schopenhauer menyatakan, humor menjadi cara untuk memahami "realitas" dengan memperlihatkan ketidakberesan yang tersembunyi dalam realitas tersebut. Lelucon muncul karena ada distraksi atau bahkan ketidakcocokan antara Das sein (kenyataan yang terjadi) dengan Das sollen (yang seharusnya terjadi); kesenjangan antara praktik-kenyataan dan norma-ideal.

Dalam konteks tersebut, lelucon politik muncul akibat tak terpenuhinya harapan akan yang "ideal" atau "seharusnya terjadi" itu. Dengan lelucon, kekecewaan disalurkan melalui humor untuk menghindari sensor (dalam rezim totalitarian), juga siasat untuk menyampaikan pesan yang tidak memunculkan sikap agresif dan destruktif (dalam demokrasi). Humor pada sisi ini jadi katarsis pelepasan kepengapan sosial, juga perlawanan—"melawan dengan lelucon," ujar Gus Dur—dengan cara membentuk atau bahkan mengubah persepsi atas apa yang menjadi lelucon itu.

Dalam Simposium Humor Nasional: "Humor yang Adil dan Beradab" (8 September 2016), Toeti Heraty mengungkapkan komponen humor, paradoks dan kontradiksi, yang bisa mengubah persepsi atau cara pandang kita terhadap sebuah persoalan hingga (tanpa disadari) timbul emosi dan agresi. Dari situlah, seperti ungkapan Rusia itu, kita mesti waspada.

Lelucon Jokowi

Arswendo Atmowiloto merefleksikan humor Mukidi yang sedang digandrungi dan jadi viral di media sosial sebagai fenomena untuk memahami realitas yang terjadi di masyarakat, semacam cermin untuk melihat Mukidi, "Muka Kita Sendiri", sebagaimana dalam anekdot-anekdot Abunawas atau humor Madura (Kompas, 30/8). Ternyata, selain Mukidi, saya menemukan mulai munculnya lelucon tentang Presiden Joko Widodo, yang seakan-akan menandai pergeseran persepsi masyarakat atas kinerja pemerintahannya. Lelucon-lelucon itu mulai sering disampaikan dalam ruang-ruang seminar, diskusi, sampai obrolan warung kopi. Saya menyebutnya sebagai "lelucon Jokowi", yakni humor atau anekdot yang muncul berkaitan situasi yang terjadi seputar pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Presiden Joko Widodo, sesungguhnya sosok yang humoris, bahkan ia kerap menggunakan humor sebagai cara berkomunikasi. Saat Pilpres 2014, berdasarkan riset Lembaga Demokrasi Bertanggungjawab (LDB), Tjipta Lesmana menyebut komunikasi Jokowi menempati ranking teratas dibandingkan capres lain karena Jokowi mampu menyampaikan pesan-pesannya dengan gaya humor. Jokowi juga mampu mencairkan ketegangan politik dengan gaya humor. Ketika ia mengundang para komedian ke Istana, Presiden Joko Widodo mengatakan, "Mengurus negara perlu keseriusan tanpa kehilangan humor." Peristiwa pertemuan dengan para komedian itu sendiri menjadi "humor simbolik" yang berhasil dikomunikasikan Jokowi karena pada saat itu sedang heboh sidang Mahkamah Kehormatan Dewan terkait "papa minta saham", yang menjadi dagelan di masyarakat. Hingga MKD dipelesetkan jadi "Mahkamah Kehormatan Dagelan".

Dalam perspektif humor, gaya komunikasi politik Jokowi jadi sindiran halus bagi penguasa sebelumnya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang cenderung formal (ingat juga "humor simbolis" saat Presiden Joko Widodo mengunjungi proyek Hambalang yang terbengkalai). Gaya blusukan Jokowi jadi antitesis gaya SBY yang penuh kehati-hatian dan terkesan lamban.

Karakteristik humoris Jokowi mampu mendeformasi citra politik yang cenderung formal dan protokoler, yang membuatnya bisa tampil spontan dan akrab. Jokowi begitu humoris ketika ia menceritakan pengalamannya sebagai pemimpin upacara: ia lupa menurunkan tangannya saat membalas hormat komandan upacara. Tentu saja komandan upacara kebingungan dan terus-menerus hormat sampai lama. Di sinilah letak keunggulan humor Presiden Joko Widodo, yang dengan rileks menempatkan dirinya sebagai subyek dalam lelucon itu.

Dengan cara begitu, tumbuh rasa nyaman dan egaliter. Atau bagaimana Jokowi mencairkan suasana saat membuka Kongres Partai Demokrat di Bali: ia muncul dengan jas rapi, berbeda dengan gaya berpakaiannya yang khas kemeja putih. "Sesekali saya pakai jas, biar lebih gagah daripada Pak SBY, biarpun jas saya kebesaran," ujarnya. Humor lain yang populer seputar Joko Widodo (humor ini juga diceritakan oleh Tito Karnavian) ialah soal kenapa Jokowi "menang mutlak" di Irian saat pilpres: sebab istrinya dianggap berasal dari Irian karena namanya "Iriana".

Pergeseran paradigmatik

Pergeseran paradigmatik terjadi ketika mulai banyak muncul "lelucon Jokowi" yang tidak lagi menempatkan Presiden Joko Widodo sebagai subyek yang ikut membangun suasana humor. "Lelucon-lelucon Jokowi" yang belakangan muncul seperti membalik itu atau setidaknya mulai digunakan sebagai cara untuk mengkritik realitas yang terjadi. Misalnya soal gaya spontan Jokowi yang semula dianggap antitesis pencitraan SBY, dalam satu lelucon justru mengaitkan kesamaan antara Jokowi dan SBY. Dalam lelucon itu, Jokowi dianggap punya persamaan dengan SBY: sama-sama berbakat jadi artis. SBY berbakat jadi penyanyi, sementara Jokowi berbakat jadi foto-model. Ini berkaitan dengan kemunculan foto-foto Presiden Joko Widodo, sebagai contoh, foto saat Presiden Joko Widodo menikmati tahun baru di Pulau Pianemo, Raja Ampat: duduk bersarung berlatar cahaya fajar di langit, dengan keindahan fotografi yang cocok untuk kalender atau majalah traveling. Atau foto saat Presiden Joko Widodo berdiri di atas kapal perang di Natuna, atau saat terlihat begitu akrab bersama Suku Anak Dalam di Jambi.

Ada "lelucon Jokowi" yang lain, terkait hal di atas, yang mengisahkan Pak Harto dan Jokowi yang "punya kesamaan": suka berkunjung ke banyak daerah. Menurut anekdot ini, suatu kali Pak Harto bertemu Jokowi. Pak Harto heran! Tidak seperti dirinya yang dikawal banyak pasukan keamanan, Jokowi datang tidak dengan pasukan pengawal. "Kenapa kamu tak bawa pengawal?" tanya Pak Harto. "Saya tak perlu pengawal. Saya cukup bawa banyak fotografer," jawab Jokowi. Lelucon ini saya dengar dari sopir taksi yang bisa kita pahami sebagai cara jeli melihat politik "pencitraan media" yang sedang berlangsung. Kita bisa juga melihat pada meme yang bermunculan di media sosial.

Beberapa lelucon

Kemunculan lelucon-lelucon Jokowi terkait beberapa aspek. Pertama, berkaitan gaya komunikasi dan keputusan-keputusan politiknya, sebagaimana anekdot Pak Harto dan Jokowi di atas. Atau cobalah simak anekdot tentang kelambanan pelayanan di pelabuhan, yang membuat Presiden Joko Widodo "marah besar" dan memerintahkan untuk dibenahi. Dalam anekdot diceritakan Jokowi sidak ke pelabuhan, hendak membuktikan seberapa cepat pelayanan. Semua rombongan terlihat senang ketika mereka bisa keluar pelabuhan dengan cepat. Terbukti ada perubahan pelayanan. Sampai mereka sadar, ternyata Jokowi belum muncul. "Lho di mana Presiden?" tanya mereka. "Masih tertahan di Bea dan Cukai," jawab Paspampres. Dalam anekdot itu terasa ada kritisisme atas suatu kewenangan tetapi kehilangan kekuasaan. Anda bisa "menelisik anekdot lain yang berkembang di masyarakat" seputar reklamasi atau amnesti pajak.

Kedua, lelucon yang menyangkut isu- isu aktual. Misalnya anekdot soal berita haji ilegal, yang tak bisa berangkat ke Mekkah. Kenapa ilegal? "Karena memakai paspor Filipina," begitu menurut satu anekdot. "Coba mereka memakai paspor Tiongkok. Jangankan ke Mekkah, masuk Indonesia buat kerja pun pasti bisa." Ini memang terkait isu maraknya pekerja asing ke Indonesia. Beberapa humor lain yang muncul terkait isu-isu aktual merupakan anekdot yang sebenarnya dimodifikasi dari humor-humor yang sudah ada. Ini mengindikasikan adanya kesamaan (atau hal-hal yang belum juga berubah) antara pemerintahan Presiden Joko Widodo dan rezim sebelumnya.

Misalnya soal pengetatan anggaran. Presiden Joko Widodo sangat perhatian pada upaya pengetatan anggaran, seperti rapat di hotel atau perjalanan dinas. Anekdot ini menceritakan ketika Jokowi hendak berkunjung ke luar negeri: ia wanti- wanti dengan keras agar tak terjadi pemborosan anggaran, ia tak ingin para pejabat membawa keluarga dalam rombongannya. Dan itu memang dipatuhi. Tak ada anggota keluarga pejabat yang ikut rombongan. Namun, Jokowi heran, kenapa masih saja rombongannya berjumlah banyak, bahkan lebih banyak. "Mereka bukan keluarga atau kerabat pejabat, Pak," jelas protokoler. "Mereka relawan Bapak."

Anekdot di atas juga menjadi salah satu contoh lelucon yang terkait aspek ketiga, yakni yang menyangkut lingkaran kekuasaan. Di antara banyak humor yang berhasil saya kumpulkan seputar "lelucon Jokowi", anekdot seputar aspek ketiga ini lumayan paling banyak: terkait orang-orang di lingkaran kekuasaan Istana, hubungan antara presiden dan para menteri, "kegaduhan" kabinet, "bagi-bagi kue" kepada penyokong kekuasaan, juga polah tingkah "tim hore" (meminjam istilah Wisnu Nugroho).

Pada aspek ketiga itu, anekdot-anekdot yang muncul malah cenderung bersifat satiristik. Misalnya terkait pemberantasan korupsi. Anekdot: KPK kagum karena korupsi di semua departemen mengalami penurunan. Bahkan nyaris tak ada korupsi. Ini sungguh membanggakan. Baru kali ini tak ada korupsi di satu pun departemen. "Bukannya tak ada korupsi," kata seorang birokrat dengan ekspresi memelas, "tetapi karena tak ada lagi anggaran yang bisa dikorupsi sebab sudah habis dibagi-bagikan buat mengadakan banyak festival." Kita mafhum ditujukan kepada siapa anekdot itu.

Sifat satiristik ini mencerminkan karakter humor sebagai ungkapan kekecewaan sekaligus critical discourse yang membongkar ketidakberesan. Melalui lelucon- lelucon itu, kita diingatkan, kemudian didorong untuk melakukan koreksi agar bisa dilakukan penataan kembali hal-hal yang dianggap kurang beres itu.

Saya jadi ingat esai Seno Gumira Ajidarma, "Jokowi, Sengkuni, Machiavelli": keberadaan humor yang beredar, maju- mundur atau naik-turun, akan mendukung atau melawan kekuasaan sesuai dengan situasi politiknya. Mulai banyaknya "lelucon Jokowi" yang beredar bisa memperlihatkan situasi sosial politik yang terjadi di tengah masyarakat. Tentu saja, penguasa—siapa pun itu—bisa mengabaikan semua lelucon itu dan sekadar menganggapnya sebagai lelucon belaka yang bisa dikelakarkan kembali, sebagaimana dulu Nikolai Gorbachev suka menceritakan ulang lelucon tentang dirinya dalam berbagai pertemuan dan kesempatan. Sebuah perayaan untuk menertawakan diri sendiri seperti fenomena humor Mukidi. Atau, dengan bijak, menyimak ungkapan Rusia pada awal tulisan ini.

AGUS NOOR, PROSAIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketika Penguasa Jadi Lelucon".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger