Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 September 2016

Masa Depan Indonesia 2045 (SYAMSUL RIZAL)

Bagaimana outlook Indonesia pada tahun 2045 ketika kita memperingati 100 tahun Indonesiamerdeka?
HANDINING

Menuju 100 tahun Indonesia merdeka, kita diberi harapan bahwa kita diuntungkan oleh bonus demografi yang kita peroleh. Indonesia tengah menikmati periode bonus demografi sejak 2012 hingga puncaknya pada 2030. Ini artinya penduduk dengan umur produktif berjumlah sangat besar dibandingkan usia tak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Dengan adanya bonus ini, kecepatan pembangunan Indonesia dapat dipercepat dengan kecepatan yang tinggi.

Beberapa pertanyaan kritis perlu kita ajukan. Apakah betul bonus demografi ini akan kita peroleh? Apakah bonus ini, seperti lazimnya bonus-bonus yang lain yang selama ini kita peroleh, secara otomatis bisa kita dapatkan? Apakah berdasarkan data yang kita punyai sekarang, kita dalam posisi yang tepat untuk memperoleh bonus demografi?

Salah satu persyaratan mutlak mendapatkan bonus demografi adalah pembangunan harus bersifat inklusif. Artinya, hanya pembangunan yang melibatkan semua warga negara Indonesia, yang bahu-membahu, saling dukung-mendukung, yang bisa mengarahkan kita untuk memperoleh bonus demografi. Tanpa partisipasi penuh dari semua warga negara, bonus demografi ini tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Di samping partisipasi penuh dari seluruh masyarakat, bonus demografi mensyaratkan kompetensi yang tinggi dari warganya. Tanpa dua syarat ini, yaitu pembangunan yang inklusif dan kompetensi yang tinggi dari masyarakat, bonus demografi ini hanya akan menjadi mimpi. Bahkan, lebih dari itu: mimpi buruk!

Berdasarkan data yang kita punya sekarang, tampaknya bonus demografi yang ingin kita raih berat sekali untuk kita dapatkan. Kita harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan.

Tulisan Victoria Fanggidae (Kompas, 2/9/2016) sungguh membuat kita sangat terpukul karena kompetensi kita ternyata sangat rendah. Dari hasil survei yang dilakukan OECD, Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat,seperti kemampuan literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah. Di hampir semua kategori umur, skor kita juga paling rendah. Padahal, survei dilakukan di Jakarta, yang mempunyai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 78,99, sedangkan rata-rata IPM nasional 69,5. Sungguh mengerikan!

Tajuk Rencana Kompas (15/9/2016) berjudul "Seriusnya Masalah Putus SD" mempertegas kenyataan yang membuat kita menjadi lebih miris. Menurut Tajuk Rencana ini, jumlah siswa yang putus SD 946.013 orang dan 51.541 siswa SMP berhenti di tengah jalan. Angka ini sangat signifikan bagi kegagalan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Lalu, apakah siswa yang telah menamatkan SMA otomatis sudah berhasil menguasai atau mempunyai kompetensi dalam penguasaan ilmu-ilmu yang diajarkan dari sejak SD sampai dengan SMA?Fakta yang terakhir ini selama ini belum terungkap.

Fakta menyedihkan

Pada awal masa perkuliahan semester ini, sebelum saya memulai pelajaran, kepada mahasiswa yang baru masuk, saya memberikan semacam ujian tertulis yang materinya sangat sederhana. Ada 10 soal saya berikan. Ada 42 mahasiswa baru yang saya uji. Salah satu soal, yaitu (1/2)-(1/7)+2, hanya 11 mahasiswa yang menjawab benar, sisanya 31 mahasiswa tidak mampu menjawab. Masalah penjumlahan pecahan ini adalah materi pelajaran di SD.Ini berarti sekitar 75 persen mahasiswa yang saya uji belum mempunyai kompetensi yang cukup untuk lulus SD!

Untuk mencari akar-akar dari persamaan kuadrat x2-7x+12= 0, hanya dua mahasiswa yang menjawab benar. Materi persamaan kuadrat dibahas di level SMP.Ini berarti lebih dari 95 persen mahasiswa yang saya uji tidak pantas untuk lulus SMP!

Jadi kalau Tajuk Rencana Kompas hanya menyebut angka 946.013 yang putus SD, maka angka ini perlu dikoreksi, kalau kita bertanya:berapa banyak siswa yang betul-betul punya kompetensi selevel SD? Ini artinya, siswa yang telah lulus SMA pun ternyata setelah dicek secara hati-hati, sebagian besar tak punya kompetensi untuk lulus SD.Sungguh fakta yang menyedihkan dan mengerikan!

Pelanggaran HAM

Pertanyaan-pertanyaan berikut perlu kita ajukan. Mengapa mahasiswa-mahasiswa yang saya uji itu bisa lulus SD? Mengapa mereka bisa lulus SMP? Mengapa mereka bisa lulus SMA? Mengapa bisa lulus ujian nasional yang soalnya berat tersebut?

Terlalu banyak jenjang yang mereka lalui dan mereka lulus, tanpa kita tahu bagaimana bisa terjadi.Di antara pertanyaan di atas, puluhan varian pertanyaan lain bisa kita sisip. Bagaimana mereka bisa lulus pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, dan lain-lain di SMP dan SMA?

Yang harus kita analisis juga, bagaimana kondisi psikologis siswa saat belajar pelajaran di SMP dan SMA yang hampir semua butuh aritmatika dasar? Tentu saja beban mereka berat sekali.Secara fisik dan psikologis, tentu mereka sangat terganggu saat membuat pekerjaan rumah dan di dalam ruang kelas yang selalu melibatkan aritmatika dasar.

Dan jumlah mereka banyak sekali. Kalau kita asumsikan, hasil uji yang saya lakukan merupakan refleksi di Tanah Air, dan ada sekitar4,5 juta siswa SMA di Indonesia, berarti ada sekitar 75 persen atau 3,375 juta siswa yang sulit mengerti pelajaran lain (yang melibatkan aritmatika dasar) ketika mereka menjalani pelajaran di SMP dan SMA sampai mereka lulus dan masuk perguruan tinggi.

Sungguh beban luar biasa berat yang dipikul anak-anak kita. Ini tentu saja merupakan pelanggaran HAM yang berat. Apalagi masa yang mereka lalui ketika berstatus pelajar SD, SMP, dan SMA, mereka masih di bawah umur. Rasanya tak pantas memikul beban seberat ini dalam jangka waktu yang sangat lama atau 6 tahun sejak masuk SMP.

Tidak berhenti sampai di situ. Awal masa dewasa selaku mahasiswa pun mereka akan mengalami beban psikologis yang sangat berat pula karena belum menguasai pelajaran SD saat mereka harus kuliah di universitas.

Memang, pada saat kita memberikan nilai yang tinggi kepada siswa yang belum kompeten, kita bukanlah sedang membantu siswa itu. Justru yang terjadi sebaliknya: kita sedang menghukum siswa tersebut dengan hukuman yang sangat berat.

Kita harus melakukan sesuatu yang radikal untuk menyelamatkan negara kita. Pendidikan di Indonesia yang selama ini tak lepas dari pencitraan dan pengisi data statistik saja tampaknya mulai memakan korban orang-orang tak berdosa dalam jumlah banyak. Killing Fields.Kita tak boleh diam melihat anak- anak muda kita dengan otak kosong menyongsong persaingan ketat di era globalisasi. Negara betul-betul dalam keadaan terancam!

Dalam hal ini saya sepakat dengan Yudi Latif (Kompas, 4/8/2016) bahwa kita perlu pendidik yang kompetensinya tinggi sekali agar mampu membawa anak didiknya hebat lahir dan batin. Perekrutan guru harus benar-benar selektif. Tak cukup bekal kesarjanaan di beberapa disiplin ilmu, calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecakapan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun di asrama.Ini artinya, seseorang yang ingin menjadi guru harus benar-benar hebat ditinjau dari komponen kompetensi penguasaan materi dan komponen kompetensi didaktik-metodiknya.

Selama ini sarjana pendidikan (misalnya fisika) yang dihasilkan dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang dipersiapkan menjadi guru diisi dengan dua komponen itu sekaligus: komponen penguasaan materi dan komponen didaktik-metodiknya. Akibatnya, ketika seorang sarjana pendidikan (fisika) diluluskan LPTK dengan nilai B, misalnya, kita tak tahu berapa nilai komponen penguasaan materi dan berapa nilai komponen didaktik-metodiknya.

Kalau nilai kemampuan didaktik-metodiknya tinggi sekali, sedangkan kemampuan penguasaan materinya sedang-sedang saja, kita akan menuai bencana. Karena ketika suatu saat menjadi guru, guru ini tidak mungkin di-training untuk ditingkatkan kemampuan penguasaan materinya.

Saya kira, langkah tepat ke depan adalah seseorang harus menyelesaikan S-1 dalam bidang penguasaan materi saja, dan kalau mereka berminat menjadi calon guru, mereka wajib masuk asrama selama setahun untuk mendapatkan pengajaran tentang komponen didaktik-metodiknya. Kalau mereka gagal, mereka bisa mencari pekerjaan lain.

Para penghuni asrama ini haruslah orang-orang terpilih: pandai sekali, tidak merokok, serta sehat lahir dan batin. Demikian juga pelatih atau dosen yang mengajar di asrama haruslah orang pilihan. Kita tak boleh berjudi terhadap nasib bangsa ini. Pemerintahan Jokowi-Kalla harus segera membereskan masalah pendidikan dasar dan menengah serta serius mempersiapkan generasi muda kita dalam menyongsong tahun 2045.

Di asrama inilah masa depan Indonesia kita rajut dan kita pulihkan. Kepada para penghuni asrama inilah, generasi muda penerus bangsa Indonesia kita titipkan untuk menyambut 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045. Tahun 2045 hanya berjarak 29 tahun dari sekarang. Kita tak boleh terlambat. Sekarang atau tidak sama sekali.

SYAMSUL RIZAL, GURU BESAR UNIVERSITAS SYIAH KUALA; ALUMNUS UNIVERSITAT HAMBURG, JERMAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Masa Depan Indonesia 2045".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger