Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 September 2016

Korupsi dan Kartel dalam Rezim Kuota (MUHAMMAD SYARKAWI RAUF)

Rezim kuota impor pangan kembali memakan korban, yaitu dugaan keterlibatan Ketua DPD RI dalam memengaruhi penentuan pemegang kuota impor gula tahun 2016. Ketua DPD kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK setelah dilakukan operasi tangkap tangan dengan bukti uang suap Rp 100 juta.

Penangkapan Ketua DPD hanyalah gejala dari masalah yang sebenarnya bersumber dari rezim kebijakan pengendalian impor pangan di Indonesia yang menggunakan sistem kuota. Dalam rezim ini, pemerintah mengendalikan impor pangan dengan cara membagi kuota (jatah) impor kepada importir sesuai kebutuhan di dalam negeri.

Korupsi dan kartel

Sejak awal, rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha. Secara pidana, rezim kuota dapat memfasilitasi persekongkolan antara pemberi kuota dan calon penerima kuota. Sementara dari sisi hukum persaingan usaha, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antar pelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar.

Praktik korupsi (suap) dalam rezim kuota impor sangat mudah terjadi karena hampir semua komoditas pangan memiliki disparitas harga yang tinggi antara harga dalam negeri dan harga internasional. Hal ini memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah yang sangat besar.

Dalam kasus gula impor, terdapat selisih harga antara patokan harga pemerintah dan internasional. Harga pokok gula yang ditetapkan pemerintah Rp 9.100 per kilogram, sementara harga internasional Rp 6.500 per kilogram. Faktanya, harga gula di pasar domestik masih Rp 13.000 dan bahkan pernah Rp 16.000-Rp 17.000 per kilogram.

Disparitas harga domestik dan internasional yang tinggi ditambah dengan lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam penentuan pemegang kuota impor memberi peluang terjadinya praktik penyuapan. Modus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penentuan kuota impor pangan sangat mudah ditelusuri karena hanya memanfaatkan perhitungan besarnya selisih harga domestik dan internasional.

Penetapan pemegang kuota impor yang tidak transparan membuat kuota impor terkonsentrasi hanya pada beberapa grup perusahaan. Hal ini kemudian berdampak pada struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli, terpusat pada hanya beberapa pemain besar, mengingat pemegang kuota juga mengendalikan pasokan pangan lokal.

Rezim kuota impor menyebabkan kelangkaan dan persistensi kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri. Hal ini disebabkan rendahnya akurasi data produksi (pasokan) dan konsumsi. Tingkat akurasi data yang buruk menyebabkan overestimate (kelebihan hitung) dalam menentukan produksi dalam negeri. Overestimate menghitung produksi pangan menyebabkan lemahnya akurasi data pasokan pangan nasional.

Implikasinya, terjadi underestimate(kekurangan hitung) dalam menetapkan kuota impor. Pengalaman menunjukkan bahwa realisasi impor pangan selalu lebih rendah daripada besarnya kuota yang diberikan berimplikasi pada kelangkaan dan tingginya harga pangan di dalam negeri.

Jalan keluar

Mengatasi persoalan seperti di atas dalam jangka pendek tidaklah mudah. Pemerintah memerlukan solusi komprehensif untuk memberantas dua penyakit kronis sekaligus, yaitu korupsi dalam penetapan pemegang kuota impor dan praktik kartel pangan yang bersumber dari pemberian kuota yang tidak transparan. Langkah yang dapat dilakukan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang sebagai berikut.

Pertama, pemerintah harus serius membenahi permasalahan di hulu, yaitu meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, khususnya komoditas pangan strategis. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi disparitas biaya produksi dan harga pangan di pasar domestik dengan pasar internasional.

Kedua, melakukan kaji ulang kebijakan untuk mengubah pola pengendalian impor komoditas pangan secara selektif dari sistem kuota yang rawan korupsi dan kartel menjadi pengendalian melalui mekanisme tarif. Sistem tarif memberi peluang kepada semua pelaku usaha untuk mengimpor dengan membayar tarif bea masuk yang ditetapkan pemerintah. Pola ini diharapkan mengikis potensi korupsi karena mengurangi interaksi antara importir dengan pemerintah dan mengurangi konsentrasi pada importir tertentu.

Ketiga, mengubah manajemen tata niaga komoditas pangan yang memberlakukan kontrol ketat di hulu (melalui sistem kuota yang rawan korupsi) tetapi sangat liberal (bahkan tanpa pengawasan) di sisi hilir. Pola manajemen seperti ini sangat rawan korupsi dan praktik kartel yang merugikan konsumen. Idealnya, dalam sistem kuota impor di mana hanya segelintir pelaku usaha yang menguasai pasokan dilakukan pengawasan secara ketat disertai penegakan hukum yang kuat. Namun, hal ini sulit dilakukan karena sejak awal pemberian kuota terindikasi KKN.

Keempat, dalam jangka sangat pendek perlu didorong transparansi dalam penetapan pemegang kuota impor. Pemerintah dapat melakukan tender terbuka disertai persyaratan harga jual di pasar lokal. Tentu saja perlu melibatkan BUMN dalam setiap komoditas pangan strategis sehingga pengendalian pasokan dan harga bisa dilakukan melalui intervensi pasar. Semoga sukses.

MUHAMMAD SYARKAWI RAUF, KETUA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU RI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Korupsi dan Kartel dalam Rezim Kuota".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger