Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 September 2016

Impunitas Sosial Koruptor (DEDI HARYADI)

Selain hukuman ringan, gampang dapat remisi dan bisa pelesir selama di penjara —seperti yang pernah dinikmati terpidana kasus mafia pajak Gayus Tambunan—koruptorjuga menikmati impunitas sosial.

Dengan impunitassosialtersebut, koruptor mendapatkan"perlindungan" atau semacam "kekebalan" dari kemungkinan sanksi sosial.

Sekurang-kurangnya ada tiga nilai dan tradisi dalam tatanan sosial kita yang menyuburkan impunitas sosial,yaitumemaafkan,menguburaib, danmenjaga silaturahim.Tiga nilai ini—pemaafan, aib tertutup, dan terjaganya silaturahim (relasi sosial)—sangat penting dan substansial bagi eksistensi pribadi, baik dalam hubungannya dengankeluarga maupun lingkungan kerja, organisasi sosial atau profesi dan publik.

Dengan kerangka nilai itu, koruptor diuntungkan. Mereka tahu persis, kejahatannya yang mengurassumber daya publik secara tidak sah itu akan segera dimaafkan, aibnya ditutupi, dan relasi sosialnya (pertemanan, kolegial, dan kekerabatan) tetap terpelihara.

Impunitas sosial itu terlihat kasatmata saat Lebaran, misalnya.Banyak warga dan tokoh masyarakatyang sungkeman kepada koruptor di sejumlah penjara. Kemudian, dengan riang merekamemamerkan foto kegiatan sungkeman itu di laman Facebook-nya.Dalam kesempatan berbeda, impunitas sosial itu mewujud dalam bentuk doa kolektif suatu komunitas supaya tersangka koruptor diringankan hukumannya atau bahkan dibebaskan sama sekali. Absennya sanksi sosial membuat mereka aman dan nyaman. Lihatlah beberapa koruptor atau tersangka koruptor itu sempat tersenyum lebar dan melambaikan tangan ketika tertangkap kamera.

Impunitas sosial dan agama

Impunitas sosial itu persisten dalam kehidupan masyarakat kita. Makanya, efek jera dari penghukuman pidana itu minimal.Itulah kenapa tindakan koruptif, bahkan dengan modusyangmirip, selalu berulang. Meskipun begitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berusaha meningkatkan efek jera. Yang paling mutakhirKPKberencana memasukkan komponen biaya sosialdalam mengadili koruptor sehinggahukumannya berpotensilebih berat (Kompas, 14/9). Langkah itu baik dan harus tetapi tak cukup. Pada saat yang sama, kita juga dituntut untuk mengakhiri impunitas sosial.

Nilai pemaafan, menutup aib, danmenjaga silaturahim itu kelihatannya terkait dengan ajaran agama. Coba agama mana yang tidak mengajarkan dan menganjurkan pemeluknyamengembangkan pemaafan, mengubur dalam-dalam aib orang, menjaga dan mengembangkan silaturahim?Sepintas lalu orang mungkin akan merekomendasikan supayakita memisahkan atau menanggalkan sama sekali agama dalam urusan dan ruang publik.

Karena faktanya, risiko korupsi itu lebih kecil dan bisa dikendalikan negara di negara-negara yang kurang"agamis". Berikut adalah daftar15 negara(2015) yang risiko korupsinya paling kecil danbisa dikendalikan, yaitu Denmark, Finlandia, Swedia, Selandia Baru, Belanda, Norwegia, Swiss, Singapura, Kanada, Jerman, Inggris, Luksemburg, Australia, Eslandia, danBelgia.

Persoalannya mungkin bukan terletak pada ajaran agama per se, melainkan lebih pada interpretasi ajaran agama.Oleh karena itu, upaya mengakhiri impunitas sosial tidak berarti harus memisahkan atau menanggalkan agama. Yang perlu dilakukan adalah menafsirkan ulang nilai-nilai pemaafan,menutup aib, dan menjaga silaturahim.

Nilai-nilai itu cocok untuk yang lain, tetapi tidak pas untuk memenuhi kebutuhan kita saat iniyang ingin mencegah dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Penafsiran ulang tersebut diarahkan supaya pemaafan, menutup aib, dan jaga silaturahim bagi koruptor itu selektif dan limitatif.

Misalnya, kita bisa mengembangkan sikap "tidak ada maaf bagimu" kepada para koruptorsebelum hak korban korupsi (warga, masyarakat, atau lingkungan)dipulihkan sepenuhnya. Gagasan memulihkan hak korban korupsi sebenarnya simetri dengan rencana KPK memasukkan komponen biaya sosial dalam menghukumkoruptor. Meskipun ada kesulitan metodologis dalam menemukan korban korupsi, gagasan ini bisa dicobakan.

Dalam hal menutup aib, kita bisa buka aib koruptor selama mungkin (orang bilang sampai tujuh turunan) supaya tumbuh budaya malu yang kuat di masyarakat. Koalisi masyarakat sipil anti korupsi sudah mengambil langkah ini dengan mengembangkan situs Korupedia. Supaya lebih fungsional ke depan, situs ini perlu diperbarui secara teratur. Dalam hal silaturahim,mungkin kita perlu melakukan pembatasan. Misalnya, selama dipenjara koruptor hanya boleh bersilaturahim dengan keluarga inti.

Dengan cara ini, impunitas sosialakan melemah, koruptorakan merasa lebih menderita secara sosial dan yang lebih penting, kita bisa mendapatkan efek kapok yang diinginkan.

DEDI HARYADI, DEPUTI SEKJEN TRANSPARANSI INTERNASIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Impunitas Sosial Koruptor".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger