Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 September 2016

TAJUK RENCANA: Menjaga Marwah DPR (Kompas)

Di lampu merah Gedung DPR, seorang bocah giat menjajakan tisu. Tak diduga, ketika diberi uang lebih, bocah itu justru menolaknya.

Bocah kecil itu sungguh mengajarkan hal besar. Dia menjajakan dua pak tisu seharga Rp 10.000. Ketika tisu hanya diambil satu pak tetapi uang yang diberikan Rp 10.000, dia tidak mau menerimanya. Sambil tersenyum, dia tetap memberi dua pak tisu kemudian berpamitan. Sambil berjalan pincang, dia pun menuju ke mobil lain. Rupanya kakinya cacat. Uang tentu berharga bagi dirinya, tetapi martabatnya jauh lebih berharga.

Apa yang terjadi di luar Gedung DPR itu justru terasa berbanding terbalik dengan yang terjadi di dalam gedung. Anggota Dewan yang terhormat justru terus berburu anggaran Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau sering disebut dana aspirasi. Padahal, dalam praktik, dana aspirasi ini rentan diselewengkan. Terbukti, selama tahun 2016, sudah dua anggota Dewan tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran menyelewengkan dana tersebut.

Harian ini memberitakan, Komisi XI DPR, sebagai komisi yang merasa tidak pernah mendapatkan jatah proyek pembangunan di daerah pemilihannya, terus berusaha mendapatkannya. Caranya menyisipkan usulan dalam kesimpulan rapat kerja. Setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tegas menolak karena berbenturan dengan masalah etika, upaya lain pun dicoba. Komisi XI mengalihkan usulan pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam rapat kerja, Selasa lalu, mereka menyisipkan lagi usulan dan akhirnya masuk kesimpulan.

Dana aspirasi DPR ini mengingatkan kita juga pada kasus pork barrel budget, praktik budgeting pemerintah Federal AS untuk dana proyek di distrik-distrik anggota Kongres AS. Praktik ini dikecam karena seakan-akan menempatkan pemilih sebagai "budak" yang bisa dibeli. Pengucuran anggaran pun menjadi tidak tepat sasaran karena hanya untuk melanggengkan posisi anggota.

Anggota Komisi XI yang menghendaki dana aspirasi berdalih, salah satu sumpah jabatan anggota DPR, memperjuangkan daerah pemilihan. Namun, hal itu bukan alasan kuat karena memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan bisa juga disalurkan melalui fraksi.

Yang dilupakan ialah Kode Etik DPR. Pasal 4 (2) menyatakan, anggota dilarang melakukan hubungan dengan mitra kerja untuk maksud tertentu yang mengandung potensi KKN. Pasal 6 (4) menyatakan, anggota dilarang menggunakan jabatan untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan golongan.

Barangkali kode etik itu perlu direnungkan dan diresapi agar marwah DPR tetap terjaga, tidak tercemar.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Menjaga Marwah DPR".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger