Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 September 2016

Jalan Kebudayaan Jokowi (TEUKU KEMAL FASYA)

Apakah benar kebudayaan susah dirumuskan menjadi kebijakan nasional? Jika kita menjawab ya, berarti kita sedang memberikan justifikasi kepada kemalasan berpikir dan menaruh bahu lunglai kepada pemerintahan yang menempatkan pembangunan kebudayaan di sudut sempit, di belakang ekonomi, infrastruktur, teknologi, politik, hukum, dan keamanan, seperti yang terjadi selama ini.

Untungnya, pemerintah mulai mengakui kelemahannya. Saat pertemuan komunitas Mufakat Budaya Indonesia (MBI) dengan Presiden Joko Widodo pada 25 Agustus lalu di Galeri Nasional, Jakarta, terlihat pengakuan Presiden atas hal itu ("Kebijakan Makro Kebudayaan Disiapkan", Kompas, 24/8).

Namun, sesungguhnya kekeliruan telah terjadi sejak di hulu. Kebudayaan ditempatkan secara ceroboh hanya pada level platonia-idealistis dari pelbagai pembangunan yang disebutkan di atas. Padahal, secara praksis, pembangunan infrastruktur pun perlu dibasahi oleh nilai-nilai kebudayaan, baik untuk alasan estetis, etis, maupun fungsional.

Pembangunan waduk atau pembangkit listrik tenaga nuklir pun tidak bisa melupakan aspek antropologis dan kultural. Pembangunan harus berdampak pada masyarakat dan kebudayaannya secara konstruktif dan dialektis. Pembangunan tidak bisa ditempatkan dalam ruang hampa dan hanya mengikuti selera elite yang pragmatis dan banal.

Ketidaksadaran politis

Saat ini banyak kegiatan, kebijakan, dan program kebudayaan hadir begitu saja tanpa refleksi dan makna. Padahal, kita telah melihat usaha "mulia" pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla membentuk Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang maksudnya tak lain memberi bobot pada pembangunan "yang abstrak dan subtil" itu.

Namun, sayangnya, visi ideal itu tak kunjung diterjemahkan secara taktis, strategis, dan direktif. Jika boleh jujur, Kemenko PMK ini lebih sering menjadi aksesori birokrasi yang menelan biaya tidak sedikit dan tak kunjung memberi berkah pada pembangunan kebudayaan.

Demikian pula jika kita membuka kembali dokumen visi dan misi Jokowi-Kalla saat kampanye pilres, dengan eksplisit menempatkan cita-cita Trisakti sebagai proyek terdepan. Kebudayaan yang berkepribadian adalah trisula pembangunan utama, berdiri tegak di antara kedaulatan politik dan ekonomi berdikari. Pertanyaannya apakah hal itu sudah tampak dalam kebijakan makro kebudayaan nasional? Jauh panggang dari api.

Frasa "berkepribadian secara kebudayaan" semakin jauh dari semangat dialektis. Alih-alih membangun imajinasi tentang kebudayaan nasional yang sehat, pemerintah malah cenderung pragmatis dengan mengedepankan kompromi pembangunan (ekonomi) pada siasat global. Inilah bagian dari globalisasi yang terkutuk ketika bangsa tidak kunjung meruwat identitasnya sendiri. Ditambah lagi impor globalisasi budaya, dari poros Timur terepresentasi pada citra Arab dan dari poros Barat mengultur pada Amerikanisasi. Bahkan, dalam berbahasa lisan pun kita menjadi gagu tanpa frasa asing. Padahal, mengedepankan dialek lokal tidaklah menjadikan bahasa nasional menjadi kampungan.

Lalu, dari mana pembangunan kebudayaan itu harus dilakukan? Logika desentralisasi otonomi tidak saja cocok untuk politik, tetapi juga budaya. Kebudayaan lokal yang berdiam di dalam ratusan etnis, bahasa, dan agama lokal di Nusantara adalah galian tambang peradaban yang perlu diberi panggung, dicita-rasai, dan diimajinasikan secara nasional.

Jangan hina peradaban lokal. Peradaban lokal itu juga mengalami dinamisasi dan eksplosinya sendiri dengan peradaban non- Nusantara. Sebagian besar kebudayaan lokal itu mengalami perjumpaan, sinkretisme, diaspora, dan akulturasi dalam kurun ribuan tahun. Karena itu, ia bisa disebut sebagai kebudayaan asli Nusantara, bukan mimikri! Sumbangan kebudayaan lokal itu telah melahirkan pelbagai khazanah seni, eksposisi, tradisi, dan kegeniusan lokal. Sebagian lain berwujud ilmiah dan memberikan sumbangan pada kajian sosiologi, antropologi, musik, sastra, arkeologi, dan sebagainya.

Pembangunan nasional

Karena itu, ketika kita berbicara tentang pembangunan kebudayaan nasional, sesungguhnya kita berbicara hal ihwal kebudayaan lokal yang otentik dan diasporis atau lebih tepat disebut kebudayaan subnasional. Karena sesungguhnya dari 1.340 suku bangsa dan kebudayaannya, dua pertiganya mengalami marjinalisasi, reduksi, dan politisasi oleh negara. Terlalu sedikit kebudayaan subnasional yang bisa mentas dan diakui "kenasionalannya" seperti kebudayaan Jawa dan Sunda. Seni kraf suku Asmat atau tarian saman diakui nasional ketika dunia telah mengakuinya, sayangnya diapresiasi pada "bentuk" dan eksotismenya, bukan jiwa dan jalan filosofisnya.

Jalan pembangunan kebudayaan paling tepat jika memperlakukannya secara adaptif, dinamis, dan produktif, baik untuk era sekarang maupaun mendatang, di sini dan demi semesta lingkungan. Jalan sunyi itu akan terjadi jika kebudayaan diketahui, diinisiasi, dan diapresiasi oleh semua anak bangsa.

Strategi pembangunan kebudayaan nasional juga harus memproteksi renik kebudayaan minoritas yang diasporik dan (sebagian besar) bahari itu. Pembangunan kebudayaan perlu mempersiapkan sebuah panduan politik atau regulasi agar pemunahan satu sisi kebudayaan tidak terjadi terlalu dini, yaitu kesenian.

Kesenian yang dimaksudkan ialah seni tradisi atau kreasi lokal yang mengalami kekerasan pada tiga aras. Pertama, pengabaian pemerintah lokal untuk mempromosi, mengapresiasi, dan memfasilitasi tumbuh kembangnya keunikan lokal itu. Kedua, politisasi agama yang menuduh seni tradisi adalah bidah, haram, mengotori iman, dan sebagainya. Ketiga, relasi yang timpang dengan kesenian modern/pop yang mengukur pada selera massal dan komersial. Tiga kekerasan ini menyebabkan kesenian daerah sulit berkembang dan seperti kerakap di atas batu.

Dalam konteks kegawatan itu, jalan lekas yang harus dilakukan salah satunya melaluirancangan undang-undangan penyelenggaraan kesenian untuk menghindari kerusakan semakin parah. Alih-alih memaksakan RUU Kebudayaan yang tidak mampu menjelaskan aspek distingtif, manfaat, dan mandat kuasa, lebih baik menghadirkan RUU Penyelenggaraan Kesenian.

Hal terakhir, repertoar kebudayaan harus ditempatkan sebagai upaya merumuskan hati, identitas, dan konstruksi kebudayaan Nusantara yang heterogen dan plural. Jika ke depan pemerintah berencana melaksanakan Forum Kebudayaan Dunia (WCF) pada 10-14 Oktober mendatang di Bali, jadikan forum itu untuk merefleksikan kebudayaan nasional secara jernih, mendalam, dan komprehensif. Sayangnya, desain WCF yang sebelumnya dipersiapkan MBI secara dokumentatif dan naratif berganti dari rezim SBY ke Jokowi, menjadi berubah warna dan nuansanya. Bisa dipastikan forum itu hanya akan menjadi momen seremonial dengan semangat protokoler-borjuis. Lesap tanpa kesan yang mendalam.

TEUKU KEMAL FASYA, DEWAN PAKAR DEWAN KESENIAN ACEH; EKSPONEN MUFAKAT BUDAYA INDONESIA (MBI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Jalan Kebudayaan Jokowi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger