Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 September 2016

Menjadi Kaya atau Makmur (KURNIA JR)

Amerika dibangun dengan energi mimpi entrepreneurship yang bergelora, konsisten, dan tak goyah selama beberapa generasi.

Pahit getir menggerogoti mereka sedemikian rupa sehingga jiwa muda yang ranum bisa ringsek dan teronggok sebagai rongsokan. Salah satu gambaran paling mencekam mengenai transformasi sosial yang dahsyat pada era 1930-an didongengkan oleh John Steinbeck dalam novel The Grapes of Wrath.

Lewat kisah hidup keluarga Joad, Steinbeck memotret badai perubahan sosial yang mengusir kaum tani dari rumah dan ladang mereka dan kemarau panjang mengempaskan kekeringan ke bumi mereka sekeras-kerasnya. Petani penggarap terpaksa berjudi nasib ke kota-kota jauh setelah tak lagi diinginkan pemilik tanah. Itu karena "satu orang pengemudi traktor mampu menggantikan dua belas sampai empat belas keluarga."

Amerika bertahan menempuh transformasi sosial yang luas dan era depresi yang kelam, dan bekerja keras menurut konsep- konsep eksplorasi gagasan dengan motif menciptakan hal-hal baru. Thomas Alva Edison adalah contoh Amerika sejati. Dia tercatat sebagai penemu dengan jumlah hasil kreasi tak terhitung. Donald Laird, penulis dan penceramah yang populer pada zamannya, selalu memetik kisah pribadi-pribadi kreatif, gigih, pekerja keras, cakap, dan jujur, yang sukses dan jadi kaya raya.

"Menjadi kaya raya" adalah pencapaian yang patut dan sudah seharusnya ditempatkan setelah "sukses".Sukses adalah pencapaian seseorang sebagai citra gemilang pribadinya, sedangkan kaya raya adalah ganjaran material bagi segenap prestasi. Ungkapan Melayu, "rajin pangkal pandai" dan "hemat pangkal kaya", tampaknya mereka terapkan menurut rumusan falsafah yang tumbuh di bumi mereka sendiri.

Kedua ungkapan itu sudah lama kita abaikan. Mungkin kaum muda kini tak pernah atau jarang mendengarnya. Toh, generasi orangtua mereka ibarat rantai putus dari tata nilai klasik tanpa punya rumusan tata nilai baru yang bijaksana dan otentik untuk meladeni tantangan masa kini.

Konsep "rajin" yang bertautan dengan praktik kerja keras, bersikap konsekuen dan konsisten, menghargai waktu, bijak memilih prioritas dalam segala kewajiban, dan giat berjuang untuk menembus mediokritas di bidang apa pun tak diajarkan secara kultural dan konseptual kepada anak- anak di rumah dan di sekolah.

Sejak TK benak mereka langsung diisi pengajaran bahasa asing dan pola hidup dunia "internasional" sebab banyak orangtua khawatir mereka kelak tak siap masuk ke dunia kerja yang kosmopolitan. Ketidaksiapan itu bagi para orangtua tersebut hanya akan menjatuhkan anak- anak mereka pada kegagalan atau ketidaksuksesan, yang berakhir di jurang kemiskinan.

Tuntutan demikian berlanjut di SD, SMP, SMA, dan seterusnya. Sekolah tidak pernah sempat menanamkan konsep rajin, pandai, hemat, kaya, makmur, sejahtera, dan konsep vital lainnya. Padahal, konsep-konsep itulah yang antara lain bakal jadi fondasi pembentuk pribadi, karakter,dan pandangan mereka tentang dunia pada masa dewasa kelak.

Berlomba jadi kaya

Orang zaman sekarang senang menggunakan eufemisme sukses, padahal yang mereka maksud adalah kaya raya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kaya berarti 'punya banyak harta', sedangkan kaya rayaadalah 'kaya sekali, punya harta (uang dan lain-lain) banyak sekali'. Apakah masyarakat kita sudi mengakui si anu sebagai orang sukses setelah dia menciptakan rumus matematika yang diakui dunia, tetapi hidupnya pas-pasan? Bukankah kita terbiasa mengagumi sekaligus menaruh hormat kepada Tuan dan nyonya X yang kaya raya walau tak punya prestasi intelektual ataupun sosial sama sekali?

Kita pun mungkin telah lupa dengan frasa adil makmur yang pada masa lalu berkumandang dari Sabang sampai Merauke pada masa-masa awal keberadaan kita sebagai bangsa. Di manakah kini keadilan? Mengapa terdengar asing dalam wacana abstrak yang tak pernah bisa dikecap di dunia nyata? Apa makna makmur? Kenapa orangtua kita mempersandingkan konsepadil dengan makmur?

Kembali ke KBBImakmur adalah suatu keadaan hidup berkecukupan, tidak berkekurangan. Tidak dibutuhkan perenungan untuk segera menangkap kilasan kesan bahwa makna kata ini tidak menarik bagi realitas zaman ini, bagi motif hidup kita, tujuan sepanjang umur kita setelah biaya besar kita korbankan untuk pendidikan kita dan anak-cucu kita. Terus terang sajalah, sebagian besar dari kita mendambakan hidup kaya raya dari hasil pendidikan sekolah tinggi. Harta harus menjamin kemapanan hidup hingga tujuh turunan. Bukankah demikian ambisi dominan masa kini sebagai arus besar motivasi hidup masyarakat kita? Kita ingin berteriak: kita tak suka hidup sekadar berkecukupan!

Makna makmur sangat religius sebab tak mengarahkan pemahaman kita pada keserakahan, penumpukan harta, keberlimpahan yang bersinonim denganberlebihan, dan secara implisit mengemban sabda Ilahi yang melarang manusia merisaukan rezeki esok hari, apalagi rezeki anak-cucu hingga tujuh turunan. Boleh jadi, para pendiri bangsa mempersandingkan konsep adil dengan makmur sebab keduanya termasuk ajaran utama agama-agama. Adil dan makmur adalah kondisi ideal etis dan estetis manusia: tentang hak manusia untuk hidup berkecukupan tanpa ada yang berkekurangan. Pemilikan kekayaan oleh yang satu tak menzalimi yang lain.

Makmur lazim dijadikan kata majemuk bersama sejahteramakmur sejahtera. KBBI mendefinisikan sejahtera sebagai 'aman sentosa, selamat (terlepas dari segala macam gangguan); (hidup yang) tenteram'. Apabila makmur berkaitan dengan materi, sejahtera berasosiasi dengan rohani. Kata majemuk ini merangkum makna kehidupan yang lengkap bagi manusia.

Pemimpin bangsa kita belum mewujudkan cita-cita adil-makmur yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa. Yang kita saksikan, orang-perorangan yang kebetulan pegang jabatan malah saling berlomba untuk jadi kaya raya sendirian tanpa peduli pada kebutuhan rohani akan kesejahteraan. Seandainya Steinbeck dibangkitkan lagi dari kuburnya dan ditakdirkan hidup di sini, mungkin dia akan meraih Hadiah Nobel lagi dengan novel dahsyat berlatar Indonesia.

KURNIA JR, SASTRAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Menjadi Kaya atau Makmur".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger