Kompas (Sabtu, 20/8) memuat tulisan dengan kalimat taksa atau ambigu. Kalimat taksa adalah kalimat yang menimbulkan kemenduaan arti atau artinya dapat ditafsirkan ganda.
Kalimat jadinya membingungkan dan dapat mengganggu arus komunikasi. Kalimat dalam berita tersebut berbunyi "Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia oleh TNI Angkatan Udara terhadap warga… indikasi pelanggaran berupa penganiayaan warga dan wartawan…."
Frase atau kelompok kata "penganiayaan warga" dan "penganiayaan wartawan" menimbulkan ketaksaan. Frase "penganiayaan warga" tidak jelas. Apakah "warga" dalam frase itu sebagai pelaku (penganiayaan oleh warga) atau sebagai sasaran atau obyek (penganiayaan terhadap warga). Hal yang sama juga berlaku terhadap wartawan.
Ihwal ketaksaan atau ambiguitas ternyata merupakan fenomena umum. Hal itu antara lain dapat dilihat pada bukuIntroducing English Semantics oleh CW Kreidler (1998), yang mengungkap sejumlah ketaksaan. Ada ketaksaan leksikal (ketaksaan yang disebabkan sebuah kata yang dapat berarti a atau b), ada ketaksaan refensial (yang diacu tidak jelas), dan ketaksaan sintaksis (karena struktur kalimat).
Sejumlah ketaksaan juga ada dalam bahasa Indonesia, misalnya, "Bantuan sudah datang". Ini dapat dituturkan sebagai "Ban Tuan sudah datang" atau "Bantuan sudah datang". Ketaksaan di sini timbul karena faktor intonasi, yaitu ada atau tidak ada jeda di antara ban dan tuan.
Contoh lain adalah "Para perempuan dan lelaki tua harap tinggal di ruangan." Tuturan ini mendua maknanya karena tidak jelas siapa yang tinggal, apakah lelaki saja atau perempuan dan lelaki. Kata "tua" adalah pembatas. Untuk menghindari ketaksaan, perlu penegas "hanya". Jadi, "hanya lelaki tua…" atau "hanya perempuan dan lelaki tua…".
Salah satu ketaksaan leksikal, menurut Kreidler, adalah kata bank dalam bahasa Inggris (1998: 55). Contohnya: "I was on my way to the bank". Kata bank bisa berarti "lembaga keuangan" atau "tepi sungai". Ketaksaan dapat dihilangkan dengan tambahan "I want to deposite my money".
Fungsi utama bahasa adalah membahasakan sesuatu (pikiran, gagasan, ide, peristiwa, keinginan, sifat, atau watak sesuatu). Oleh karena itu, di dalam berbahasa, penutur/penulis harus menyusun isi pikirannya sejelas mungkin agar informasinya dapat ditangkap tanpa makna ganda.
PROF DR EDI SUBROTO, DOSEN LINGUISTIK PRODI LINGUISTIK S-2 DAN S-3, PROGRAM PASCASARJANA UNS SOLO
BPJS Nasional
Saya peserta BPJS Kesehatan mandiri, terdaftar di Yogyakarta dengan nomor 0001287771478.
Pada 28 Juli 2016 saya operasi ortopedi di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur, dengan pelayanan cukup memuaskan. Namun, setelah operasi, saya hanya bisa kontrol satu kali karena saya terdaftar di Yogya.
Karena saya akan ke Banjarbaru dalam jangka panjang, tentunya saya akan kontrol di RSUD setempat. Ternyata saya harus mendaftar ke kantor BPJS Banjarbaru sebab BPJS saya hanya berlaku reguler (bukan darurat) di tempat mendaftar.
Mohon kepesertaan BPJS Kesehatan berlaku nasional, yaitu bisa berobat di mana pun di seluruh wilayah Indonesia. Cukup dengan menunjukkan kartu BPJS Kesehatan dan KTP yang fleksibel dibawa ke mana-mana.
HERRY HIDAYAT, PANDEYAN, YOGYAKARTA 55161
Bagasi Hilang
Senin (22/8) pukul 08.05 saya menuju Ende dari Bandara Soekarno-Hatta menggunakan Sriwijaya Air. Penerbangan ke Ende dengan nomor penerbangan SJ 254 dan NamAir/Transnusa IN 9517.
Tiba di Ende pukul 15.10, bagasi saya tidak ditemukan (nomor bagasi: SJ 14128161). Saya lapor kepada petugas Transnusa Ende, Bapak Harly, yang berjanji akan mengurus. Bagasi saya berbahan terpal berwarna ungu merek Hush Puppies berisi keperluan saya selama perjalanan 7 hari ke Ende, Moni, Kelimutu, Maumere, Gilimanuk, dan Kuta.
Sampai hari ke-7 perjalanan, setiap kali saya hubungi, jawaban dari Transnusa Ende selalu sama, "masih dilacak". Pada 28 Agustus 2016 saya tiba di Bandara Soekarno-Hatta dan harus membuat laporan baru. Sungguh, dalam hal ini penumpang yang dirugikan.
LELLY EKASARI, MANGGALA WANABAKTI, BLOK 4 LANTAI 7, JAKARTA PUSAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar