Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 September 2016

Pengawasan Program Pengampunan Pajak (GUNARWANTO)

Program pengampunan pajak sudah resmi dibuka. UU No 11/2016 tentang Pengampunan Pajak yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 1 Juli 2016 antara lain bertujuan mendongkrak penerimaan pajak dan mendorong pengalihan aset di luar negeri ke dalam negeri (repatriasi aset).

Aset tersebut selama ini tidak dilaporkan sehingga tidak dikenai pajak. Padahal, semua tambahan kemampuan ekonomi (penghasilan) wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia harus dikenai pajak.

Pemerintah memperkirakan program ini akan menambah pendapatan negara dari pajak sekitar Rp 165 triliun. Termasuk ribuan triliun rupiah aset repatriasi yang akan masuk ke pasar keuangan dan bursa di Indonesia. Tambahan aset tersebut diharapkan bisa ikut menggerakkan perekonomian Indonesia.

Wajib pajak peserta pengampunan pajak memperoleh fasilitas penghapusan pajak atas utang pajak yang belum diterbitkan ketetapan pajaknya. Wajib pajak juga bebas dari sanksi administrasi dan pidana perpajakan. Selain itu, tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyelidikan tindak pidana perpajakan atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak sampai akhir tahun pajak terakhir. Namun, jika wajib pajak menyampaikan data dan informasi harta yang tidak jujur, harta tersebut akan dikenai pajak sesuai dengan aturan ditambah sanksi administrasi.

Potensi pemasukan negara dari program pengampunan pajak memang besar. Namun, potensi penyimpangannya juga tak kalah besar. Hal ini sesuai sifat penghitungan dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Jika wajib pajak tidak jujur atau berkolusi dengan petugas pajak, potensi penerimaan pajak akan berkurang.

Potensi penyimpangan

Potensi penyimpangan yang paling besar adalah wajib pajak sengaja memperkecil nilai harta bersih dengan menggelembungkan jumlah utang sehingga nilai tebusan pajak menjadi kecil. Besarnya tebusan pajak dihitung berdasarkan tarif tebusan pajak dikalikan dengan harta bersih, yaitu selisih antara harta dikurangi total utang.

Potensi penyimpangan yang lain adalah kolusi antara wajib pajak dan petugas pajak dalam mengisi dan melengkapi dokumen surat pengajuan pengampunan pajak. Meskipun sudah dibuat prosedur yang ketat untuk mengurangi potensi kolusi, sepanjang ada komunikasi langsung antara petugas pajak dan wajib pajak, maka potensi itu tetap besar.

Dalam UU Pengampunan Pajak diatur jika wajib pajak akan mendaftar pengampunan pajak, wajib pajak dapat mendatangi kantor pelayanan pajak untuk mendaftar dan sekaligus berkonsultasi dengan petugas pajak atas harta atau penghasilan yang ingin dideklarasikan ataupun dibawa pulang ke Indonesia. Tentunya, dalam konsultasi tersebut peluang kolusi bisa terjadi.

Potensi penyimpangan menjadi besar karena memanfaatkan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak. Pasal tersebut mengatur menteri, wakil menteri, pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai ketentuan perundang-undangan. Jelas, pasal itu dimaksudkan agar kebijakan tersebut tak dipermasalahkan. Tentunya, sangat sulit menilai itikad baik dan memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Apakah jika ada penyimpangan tidak boleh ada pihak yang memeriksa untuk memastikan ada atau tidak adanya itikad baik tersebut?

Pengawasan

Semestinya ditentukan dari awal dalam aturan pelaksanaan, siapa yang mengawasi pelaksanaan program. Presiden bisa menugaskan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai pengawas internal pemerintah. BPKP dapat mengawasi seluruh pelaksanaannya dari mulai persiapan hingga pelaporannya.

Selain pengawasan internal, program pengampunan pajak juga harus diaudit oleh auditor eksternal pemerintah. Dalam hal ini yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK memeriksa setelah program pengampunan pajak selesai dilaksanakan. Audit BPK dimaksudkan untuk menilai efisiensi dan efektivitas serta kepatuhan kepada aturan perundang-undangan. Audit juga untuk memastikan apakah target penerimaan pajak dari program tersebut bisa tercapai. Jika tidak, apa penyebabnya dan bagaimana memperbaiki kelemahannya.

Perbedaan pengawasan oleh BPKP dan pemeriksaan BPK ada pada pemanfaatan laporannya. Jika laporan BPKP dimanfaatkan oleh Presiden dan Menteri Keuangan untuk memperbaiki pelaksanaan program selama program berjalan, laporan hasil audit BPK digunakan oleh DPR untuk melakukan pengawasan politik terhadap pemerintah dalam melaksanakan program pengampunan pajak. Selain itu, jika dalam audit tersebut BPK menemukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang, laporannya akan dimanfaatkan oleh penegak hukum untuk dilakukan proses hukum.

Dengan pengawasan dan audit seperti ini, potensi kolusi dan korupsi melalui penyalahgunaan wewenang dapat dihindarkan.

GUNARWANTO

CHARTERED ACCOUNTANT; ANALIS KEBIJAKAN PUBLIK  

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Pengawasan Program Pengampunan Pajak"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger