Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 20 September 2016

Ketidakberdayaan Negara (SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO)

Persoalan utama yang harus dapat diatasi oleh negara adalah memberdayakan rakyatnya sedemikian rupa sehingga mampu mendukung terwujudnya masyarakat yang mandiri sejahtera.

Hal ini sejalan dengan agenda keenam dari sembilan prioritas pembangunan Presiden Joko Widodo, yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

Kata kunci dari agenda keenam itu adalah produktivitas rakyat dan daya saing di mana ke dua hal tersebut yang saat ini justru berada di titik nadir. Artinya, pada saat ini rakyat sangat tidak produktif dan tidak mempunyai daya saing sama sekali. Di mana letak permasalahan yang sebenarnya sehingga negara mengalami ketidakberdayaan seperti ini?

Kompetensi orang dewasa

Opini Kompas, 2 September 2016, yang berjudul "Sinyal Tanda Bahaya IPM Indonesia" mengungkapkan bahwa Indonesia terpuruk di peringkat paling bawah pada hampir semua jenis kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat. Kompetensi yang dimaksud antara lain kemampuan literasi, numerasi, dan pemecahan masalah. Tolok ukur yang digunakan adalah hasil tes PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies) terbaru.

Seperti diketahui, tes PIAAC adalah "kakak" dari tes PISA (Programme for the International Students Assessment). Hasil tes PISA terbaru menunjukkan bahwa kemampuan berpikir dan bernalar anak Indonesia yang berumur 15 tahun juga terpuruk di peringkat hampir paling bawah. Hal ini menunjukkan kondisi bangsa Indonesia saat ini sangat buruk, tidak berkemampuan.

Catatan Iptek Kompas, 14 September 2016, yang berjudul "SDM dan Daya Saing" mengungkapkan bahwa pemenuhan agenda keenam itu di atas dijabarkan menjadi 11 butir rencana di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang sebagian besar berupa pembangunan infrastruktur fisik dan ekonomi. Hanya ada dua butir yang menyinggung aspek sumber daya manusia, yaitu pertama, meningkatkan kapasitas inovasi dan teknologi; serta kedua, meningkatkan daya saing bangsa.

Kapasitas inovasi teknologi dan daya saing bangsa hanya dapat dicapai apabila sumber daya manusianya berkemampuan dan berkualitas, padahal paragraf di atas sudah menunjukkan bahwa sumber daya manusia Indonesia belum berkemampuan dan belum berkualitas. Untuk mencapai kemampuan dan kualitas sumber daya manusia, diperlukan proses pendidikan yang hakiki yang mampu menumbuhkembangkan dan memberdayakan.

Proses pendidikan di Indonesia masih belum menemukan bentuknya yang tepat karena pemahaman tentang pendidikan masih simpang siur, ada yang menganggap sebagai proyek pengadaan, proyek pelatihan atau penataran, proyek penyusunan kurikulum, proyek penyusunan ujian nasional, dan sebagainya. Di samping itu, ada pula yang ada yang menjadikan pendidikan sebagai obyek pencitraan di mana masyarakat diberi gambaran perihal capaian dan prestasi pendidikan yang meningkat terus padahal kenyataannya justru terjadi keterpurukan.

Tajuk Rencana Kompas tanggal 15 September 2016 yang berjudul "Seriusnya Masalah Putus SD" mengungkapkan bahwa angka putus sekolah dasar di Indonesia saat ini yang berjumlah 997.554 siswa tergolong kecil persentasenya jika dibandingkan dengan total anak usia pendidikan dasar. Namun, angka itu besar bagi kegagalan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan ataupun akumulasi peningkatan tenaga kerja yang hanya lulusan SD. Kondisi ini ironis dengan publikasi pencapaian selama ini, di satu pihak keberhasilan dibangga-banggakan, di pihak lain terjadi kedodoran yang akumulatif.

Survei lapangan

Para pembuat kebijakan pendidikan sering kali menyikapi hasil-hasil tes internasional secara skeptis, ada yang mengatakan bahwa tes tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, bahwa tes tersebut tidak cocok dengan kondisi dan kultur Indonesia yang beragam etnisnya dan luas sekali wilayahnya, bahwa samplingdatanya tidak representatif dan sebagainya.

Bahkan, sebagian pembuat kebijakan mengatakan, meskipun pendidikan kita dikatakan terpuruk, kita masih punya banyak orang berprestasi, bahkan tingkat dunia sekalipun. Masalahnya ada berapa orang seperti itu dibandingkan dengan penduduk 250 juta jiwa, pasti kecil sekali persentasenya, dan sebagian besar penduduk dalam keadaan terpuruk dan tidak berdaya.

Untuk menjawab skeptisisme para pembuat kebijakan pendidikan tersebut di atas, maka dilakukan suatu studi "Linking The National Plans for Acceleration and Expansion of Economic Development to Programming in the Education Sector" (ACDP-016).

Dalam laporannya tertanggal 9 Desember 2015 terungkap hal- hal yang menguatkan dan menjustifikasi hasil tes PIAAC, yang kemudian membuktikan kembali bahwa sumber daya manusia Indonesia belum berkemampuan dan belum berkualitas. Dalam studi ACDP-016, dilakukan survei langsung ke 460 perusahaan kecil menengah dengan sektor usaha yang beragam dan ukuran perusahaan yang juga beragam. Sebaran perusahaan yang disurvei termasuk di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan pola yang sedemikian rupa sehingga merepresentasikan profil perusahaan yang ada di Indonesia.

Salah satu hasil survei yang menonjol adalah keluhan sebagian besar perusahaan terhadap lemahnya soft-skillpara pekerja yang sebagian besar lulusan SMA/SMK dan sebagian lagi lulusan perguruan tinggi. Keluhan terhadap lemahnya hard-skill juga terungkap dalam survei tersebut, tetapi perusahaan mengakui bahwa lebih mudah bagi mereka membekali hard-skill para pekerja melalui berbagai pelatihan singkat dan magang.

Adapun hasil survei perihal soft-skill yang menonjol adalah sebagai berikut: 92 persen menyatakan bahwa para pekerja sangat lemah dalam membaca meskipun dalam bahasa Indonesia; 90 persen dalam menulis; 84 persen dalam hal etos kerja; 83 persen dalam kemampuan berkomunikasi; dan 82 persen dalam kemampuan bekerja di dalam tim.

Perlu ada reformasi total dalam proses pendidikan di mana harus dilakukan proses pendidikan yang memberdayakan, proses pendidikan yang memampukan berpikir kritis, proses pendidikan yang menumbuhkan minat baca dan bertutur, proses pendidikan yang menumbuhkan rasa ingin tahu (curiosity), serta proses pendidikan yang memampukan pembuatan keputusan.

SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO, DIRJEN DIKTI (1999-2007), GURU BESAR EMERITUS ITB, WAKIL KETUA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (AIPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketidakberdayaan Negara".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger