Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 20 September 2016

Menanti Keputusan Megawati (IKRAR NUSA BHAKTI)

Batas waktu pendaftaran pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017 tinggal menghitung hari. Tanggal 21 September 2016sudah di depan mata. Namun, hingga saat ini belum ada satu pun partai politik atau gabungan parpol yang sudah pasti bergabung untuk mengusung atau mendukung pasangan calon.

Partai Golkar, Hanura, dan Nasdem yang sejak awal mendukung gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hingga saat ini juga masih menunggu keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri agar mengusung pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat. Koalisi Kekeluargaan yang terdiri dari tujuh parpol (PDI-P, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Demokrat) juga masih galau untuk menentukan nama calon gubernur/calon wakil gubernur yang akan mereka dukung.

Kalaupun Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah menyebut nama pasangan Sandiaga Uno dan Mardani Ali Sera, itu belum resmi dan masih mendapatkan tentangan dari partai-partai Islam yang semuanya ada di Koalisi Kekeluargaan. Inilah awal perpecahan di Koalisi Kekeluargaan.

Yusril Ihza Mahendra yang ingin maju dalam pilkada DKI Jakarta, hingga saat ini juga masih mencari dukungan partai. Yusril menyebut Saefullah sebagai pasangan calon wakil gubernurnya karena Saefullah saat ini adalah Sekretaris Daerah DKI Jakarta, orang Betawi dan Ketua Dewan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (DPW NU). Yusril menyebut nama dua tokoh, Amien Rais (Partai Amanat Nasional/ PAN) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), sudah setuju untuk mendukungnya. Ia juga bertandang ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dan mengharapkan NU akan mendukungnya.

Sebesar apa pun dukungan yang diberikan Ketua PB NU Said Aqil Siroj, tidak akan ada artinya jika tidak ada gabungan partai yang memenuhi persyaratan jumlah kursi di DPRD DKI Jakarta bersedia mendukung pasangan Yusril-Saefullah. Sementara di sisi lain, Ketua DPW PAN DKI Jakarta yang menjadi anggota DPR dari wilayah Jawa Timur, Eko Patrio, justru menawarkan nama Rizal Ramli agar bisa maju di pilkada DKI Jakarta.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sendiri lebih menginginkan Sylviana Murni untuk menjadi calon wakil gubernur Sandiaga karena ia juga paham mengenai seluk-beluk pemerintahan di Jakarta. PPP kurang meminati Saefullah sebagai pendamping Sandiaga bukan karena Saefullah adalah pengurus wilayah NU Jakarta, melainkan karena Saefullah didukung oleh partai berbasis massa NU saingan PPP, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dinamika politik

Dinamika politik, kalau tak bisa dikatakan hiruk-pikuk politik, di PDI-P awalnya menunjukkan warna yang sama dengan sikap politik enam partai yang ada di Koalisi Kekeluargaan, yakni menunjukkan gerakan Asal Bukan Ahok (ABA). Namun, alasannya tentunya berbeda. Arus bawah PDI-P di Jakarta tidak menyukai Ahok lebih disebabkan kepentingan politik dan ekonomi politisi di arus bawah yang dibumbui oleh soal penggusuran rakyat kecil yang tinggal di bantaran kali/sungai.

Selain itu, Ahok juga dinilai terlalu sombong untuk bisa maju menjadi calon gubernur DKI tanpa dukungan partai politik ketika Ahok bersedia maju didukung oleh Kawan Ahok yang memiliki posisi politik sejajar dengan Ahok. Saat gelombang dukungan KTP Jakarta yang dikumpulkan teman Ahok ternyata mampu mencapai satu juta lebih dan melampaui batas persyaratan untuk maju menjadi calon perseorangan, semua parpol tercengang! Inilah yang menyebabkan semua partai politik di DPR sepakat untuk menghadang Ahok dengan membuat pasal yang mempersulit pasangan independen bisa maju dalam pilkada agar ketergantungan Ahok pada parpol tetap besar.

Arus bawah PDI-P di Jakarta berupaya agar kalaupun Ahok tetap didukung PDI-P, ia harus menjadi calon wakil gubernur, sedangkan calon gubernurnya adalah Djarot Saiful Hidayat. Usulan ini muncul karena tokoh yang digadang-gadang arus bawah dan sebagian kecil arus atas di PDI-P, yaitu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, tidak mau maju di pilkada DKI. Risma tahu persis, Ahok bukan lawan tandingnya karena terlalu kuat, Risma juga sudah telanjur janji untuk mengabdi di Surabaya sampai masa jabatannya selesai, dan, ini yang sangat penting, Risma mafhum banyak kepentingan di PDI-P Surabaya menginginkan Risma kehilangan posisi politiknya di Surabaya dan Jawa Timur.

Gerindra tidak menyukai Ahok karena Ahok adalah "anak nakal" yang dulu didukung PDI-P dan Gerindra sebagai calon wakil gubernur mendampingi Joko Widodo (Jokowi) pada Pilkada DKI 2012. Ahok kemudian menyatakan keluar dari Gerindra dan menjadi politisi/kepala daerah nonpartai.

Partai-partai berbasis massa Islam (PKS, PPP, PKB, dan PAN) tidak menyukai Ahok karena, katanya, cara bicaranya tidak sopan dan kebijakannya sering menggusur rakyat kecil. Mereka tak peduli apakah kebijakan Ahok itu baik untuk Jakarta, termasuk untuk warga Jakarta secara keseluruhan tanpa memandang status sosial ekonomi mereka. Singkatnya, partai-partai Islam menyuarakan anti Ahok karena Ahok bukan Muslim.

Namun, partai-partai berbasis massa Islam tidak mungkin membangun koalisi atas dasar agama karena berbagai hal. Pertama, adalah kenyataan bahwa sejak dua tahun menjelang Pemilu 1955, fenomena politik yang mewarnai partai-partai Islam adalah ketidakakuran politik sejak bubarnya Masyumi, baik karena persoalan pribadi di antara tokoh politiknya maupun karena mazhab keagamaannya yang berbeda.

Kedua, menyatunya partai Islam di dalam satu koalisi akan menimbulkan politik sektarian yang tidak sehat antara golongan Islam dan kalangan nasional plus agama- agamalain. Ketiga, Islam sebagai agama diterima oleh mayoritas penduduk Nusantara, tetapi Islam sebagai politik masih menimbulkan kendala psikologis. Karena itu, Islam politik hanyalah kekuatan yang potensial dan tidak pernah menjadi kekuatan politik yang aktual.

Sejalan dengan itu pula, partai-partai Islam, seperti yang sudah dibuktikan oleh PPP dan PKS, dapat saja memenangi pemilu legislatif di Jakarta, tetapi belum pernah mampu menjadikan pasangan yang didukung partai Islam (tanpa koalisi dengan partai nasionalis) memenangi pilkada DKI Jakarta. Kemajemukan penduduk Jakarta menjadikan koalisi nasionalis-nasionalis atau nasionalis-Islam adalah kekuatan yang mampu menjadikan pasangan yang didukungnya menang di pilkada DKI Jakarta.

Posisi Megawati

Megawati Soekarnoputri menduduki posisi yang amat sentral dalam menentukan koalisi partai pengusung dan pendukung pasangan siapa pun yang akan maju di pilkada DKI. Ini bukan saja karena Megawati adalah Ketua Umum PDI-P, melainkan juga karena PDI-P memiliki kursi terbesar di DPRD DKI Jakarta, yakni 28 kursi. PDI-P adalah satu-satunya partai yang dapat mengusung pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur secara sendirian karena syarat dukungan partai atau gabungan partai bagi pasangan calon adalah 22.

Gerindra dan PKS juga sudah dapat berkoalisi untuk mendukung pasangan Sandiaga Uno-Mardani Ali Sera karena memiliki 15 kursi dan 11 kursi. Persoalannya,Gerindra dan PKS memandang perlu untuk menambah dukungan dari partai lainnya. Demokrat yang memiliki 10 kursi dan PAN yang memiliki posisi kursi paling kecil (2) tidak mungkin mendukung Yusril tanpa dukungan dari PKB dan PPP. Sementara Golkar, Hanura, dan Nasdem sudah cukup mendukung pasangan Ahok dengan siapa pun apakah Djarot atau Heru Budi Hartono karena sudah mengantongi kursi 9+10+5=24.

Dari gambaran ini tampak jelas bahwa probabilitas tertinggi jumlah pasangan calon di pilkada DKI adalah dua pasangan jika enam partai di Koalisi Kekeluargaan mendukung pasangan Sandiaga dan siapa pun calon wakil gubernurnya dan PDI-P akhirnya menjadi partai pengusung utama pasangan Ahok-Djarot yang juga ditopang Golkar, Hanura, Nasdem yang sudah lebih dulu mendukungnya. Bisa saja PDI-P mengusung sendiri pasangannya, seperti Budi Waseso-Djarot. Yusril atau Rizal Ramli akhirnya juga mendapatkan dukungan dari tiga atau empat partai yang ada (Demokrat, PPP, PKB, PAN).

Melihat hasil survei dari sejumlah institusi pollsters yang semuanya masih menempatkan pasangan Ahok-Djarot dalam posisi unggul, sulit bagi Megawati untuk tidak mendukung pasangan Ahok-Djarot. Pasangan Ahok-Djarot hanya bisa dikalahkan oleh pasangan siapa pun yang memiliki: pertama, jiwa petarung politik yang kuat dan unggul; kedua, memiliki jam terbang sebagai politisi yang cukup banyak; ketiga, memiliki pengalaman dalam mengelola pemerintahan daerah di mana pun sebelumnya; keempat, memahami, menguasai data, dan menguasai hal-hal teknis bagaimana memecahkan persoalan-persoalan di Jakarta.

Mendukung pasangan Ahok-Djarot memang tidak memberikan keuntungan posisi jabatan dan ekonomi bagi PDI-P di Jakarta. Belajar dari kekalahan PDI-P di pilkada Bali tahun 2013, lebih baik menjadikan Djarot dua kali menjadi wakil gubernur DKI Jakarta dan kemudian pada 2022 menjadi calon gubernur DKI Jakarta (bahkan bisa lanjut pada pilkada berikutnya) ketimbang kalah seperti di Bali. Selain itu, jika Ahok-Djarot menang, bukan mustahil PDI-P akan menjadi pemenang pemilu legislatif kembali di Jakarta pada pemilu serentak 2019.

Kepiawaian politik Megawati dalam menganalisis politik di tingkat lokal Jakarta dan nasional Indonesia tampaknya menjurus pada keputusan bahwa PDI-P harus tetap menang dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu serentak (legislatif dan presiden) 2019. Kini kita tinggal menghitung hari, angka keramat atau angka baik yang mana dalam hitungan Megawati untuk memutuskan mengusung pasangan Ahok-Djarot. Jika keputusan lain yang diambil, kemungkinan besar PDI-P akan mengulangi kesalahan putusannya di pilkada Bali yang lalu.

IKRAR NUSA BHAKTI, PROFESOR RISET DI PUSAT PENELITIAN POLITIK LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (P2POLITIK-LIPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Menanti Keputusan Megawati".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger