Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 22 September 2016

KPI, RRI, dan TVRI: untuk Apa (S SINANSARI ECIP)

Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (2016-2019) mulai bekerja. Banyak pekerjaan menghadang, antara lain memproses perpanjangan izin siaran radio siaran dan televisi siaran. Radio belum dijamah, sedangkan televisi baru mulai ditangani. Direktur utama RRI baru saja ada. Dewan pengawas TVRI baru akan dipilih (pendaftaran ditutup 15 September 2016).

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang berdiri pada 26 Desember 2003 sudah cukup bekerja. Bersama KPI daerah, KPI Pusat membuat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), kemudian memproses secara hukum, misalnya memberhentikan sementara siaran TV, memperkuat kelembagaan untuk semua KPI daerah, dan memproses awal perizinan yang diteruskan kepada pemerintah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran rupanya dibuat agar KPI hanya mengurus isi siaran. Ketika UU tersebut lahir, stasiun-stasiun TV berdukacita dan menyerukan menaikkan bendera setengah tiang. UU itu diadukan ke pengadilan, yang hasilnya memperkuat posisi pemerintah karena izin siaran dikeluarkan oleh pemerintah.

Dua ayat penting bagi KPI dalam UU Penyiaran ternyata mandul. Keduanya tak dijabarkan ke dalam peraturan pemerintah. Pasal 6 Ayat 4, "Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran". Tak ada maksud untuk penyelenggaraan penyiaran diserahkan kepada pemerintah, misalnya. Pasal 7 Ayat 2, "KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran". Ternyata yang diatur oleh KPI hanyalah isi siaran, bukan banyak hal.

KPI Pusat berproses sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi (MK). KPI Pusat dikalahkan MK. Belakangan, setelah tak menjabat, mantan Wakil Ketua MK Prof Dr Laica Marzuki SH mengatakan kepada penulis bahwa dia berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan mayoritas di MK. Dia membela KPI tetapi diminta Jimly Asshiddiqie (Ketua MK), pendapat yang beda tersebut jangan dinyatakan. Alasannya karena MK masih muda usianya, akan terkesan kurang baik.

Kabarnya, UU Penyiaran akan direvisi. Sekitar 50 persen daerah akan kesulitan mencari sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, apalagi penggantian anggota KPI (pusat dan daerah) hanya tiga tahunan. Karena itu, sebaiknya di daerah dibentuk perwakilan KPI Pusat, yang anggaran biayanya dari APBN. Selama ini, KPI daerah dibiayai APBD, yang ketersediaannya berbeda-beda.

Pengawasan isi juga terlalu ringan. Sanksi yang boleh dijatuhkan KPI hanyalah penghentian sementara tayangan yang dianggap salah. Akan bagus jika KPI boleh merekomendasikan pemain penyiaran (misal pemain sinetron, pelawak) untuk dijatuhi hukuman.

Penulis setuju pendapat Prof Sasa Djuarsa PhD yang mengatakan, berilah hukuman percobaan untuk kesalahan yang berat. Selama ini kesalahan berat tayangan TV (misal kampanye tokoh parpol pemilik stasiun TV di luar masa kampanye) tidak bisa dihentikan. KPI yang telah memberikan surat tidak mendapat perhatian, dianggap angin lalu. Contohnya kelak, hukuman percobaan tiga bulan, jika kampanye masih dilakukan, ancamancabut izin akan dilakukan.

Satukan RRI-TVRI

RRI dan TVRI secara formal sudah berubah sejak UU No 32/ 2002 diberlakukan. Sebelum reformasi, keduanya corong pemerintah. Memasuki reformasi, mereka dibalikkan menjadi lembaga penyiaran publik. Publik (masyarakat) menjadi acuan utama meski pembiayaannya tetap dari APBN.

RRI dianggap penting karena modal perjuangan dan satu-satunya radio siaran yang berlingkup nasional. Pada jam-jam tertentu, siaran nasional direlai oleh RRI daerah yang menjangkau ke daerah-daerah terpencil. Radio siaran swasta hanya bersiaran terbatas tidak berjaringan menasional. Jaringan mereka hanya ke beberapa kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik Pasal 1 Butir 5 tercantum dewan pengawas mewakili masyarakat, pemerintah, dan unsur lembaga penyiaran publik. Tidak dicantumkan setiap unsur tersebut berapa dari lima anggota dewan pengawas. Hasil pemilihan dewan pengawas RRI 2016 di DPR adalah tiga orang dari RRI, satu orang dari masyarakat (mantan karyawan RRI yang diberhentikan), dan satu orang dari pemerintah.

Selayaknya badan yang mengawasi pelaksanaan kerja RRI unsur publik dalam dewan pengawas diutamakan dengan jumlah yang dominan, sesuai namanya, yakni lembaga penyiaran publik. Misalnya, tiga orang dari publik, satu orang dari pemerintah, dan satu orang dari intern RRI. Untuk dewan pengawas TVRI kiranya mengacu ke unsur publik itu.

Komposisi dewan pengawas RRI selama ini tidak jelas bagaimana pengusulannya. Sebaiknya dijelaskan mengapa unsur intern RRI harus tiga orang. Bagaimana pengusulannya? Yang "mewakili masyarakat" apakah dia memang diusulkan oleh masyarakat, masyarakat yang mana? Yang mewakili pemerintah, apakah benar dari pemerintah? Jangan sampai datang kecurigaan ada yang main agar pimpinan yang lama supaya aman, umpamanya untuk pengamanan rekam jejak yang buruk dari segi keuangan.

Direksi dipilih oleh dewan pengawas.Calon-calon direksi tidak disaring dengan ketat. Rekam jejak, terutama keuangan, tidak diperiksa dengan teliti. Syarat tes bahasa asing tidak dilakukan. Mungkin ada yang berharap perlu pengamanan di periode depan. Mengapa demikian?

Tidak pernah RRI ditengok apalagi diobok-obok oleh KPK. Uang negara perlu diamankan, jangan dibiarkan tanpa pemeriksaan yang mendalam. Lembaga yang bersih akan mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Pembentukan panitia seleksi direksi harus memenuhi ketentuan baru, yang tidak diikuti oleh RRI (dan sebagian besar komisi- komisi negara). UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mencantumkan membentuk panitia seleksi berkoordinasi dengan Komisi ASN (Pasal 110 Ayat 2). Ayat 4 menyebutkan, panitia seleksi dipilih dan diangkat melalui proses yang terbuka. Jika tidak memperhatikannya harus ditegur oleh Komisi ASN, yang dipimpin oleh Prof Dr Sofyan Effendy, mantan rektor UGM.

Panitia seleksi pemilihan direksi RRI berjumlah tujuh orang dipilih secara tertutup oleh dewan pengawas RRI. Mereka yang dipilih sebagian besar adalah teman-teman anggota dewan pengawas RRI, bahkan ada anggota dewan pengawas yang merangkap menjadi anggota panitia seleksi. Rupanya Komisi ASN belum cekatan bertindak. Lebih janggal lagi, ternyata direksi yang dipilih, tiga orang, semuanya dari intern RRI.

Harapan

Revisi UU Penyiaran perlu segera dilakukan. Aturan jangan tertinggal jauh dari kemajuan teknologinya. Masyarakat umum dan masyarakat industri mengharapkan tatanan yang lebih ketat segera.

Jika kejanggalan atau kesalahan terjadi pada pemilihan direksi RRI dan TVRI yang dilakukan dewan pengawas masing-masing, Komisi I DPR logis dapat turun tangan. Jika mau, DPR bisa menghentikan proses bahkan mengoreksi atas hasil dewan pengawas atau mengulang pemilihan.

Dari sudut isi siaran, RRI dan TVRI perlu memperbesar porsi kepentingan publik. Isi siaran dari pemerintah jangan terlalu banyak, cukup yang memang untuk kepentingan publik. Publik remaja sebaiknya mendapat perhatian sebab merekalah kelak menjadi pimpinan negara danbangsa. Publik yang tinggal di perbatasan juga sangat penting supaya mereka tidak terlalu banyak mendapat pengaruh media negara tetangga.

Dari sisi berita, sudah waktunya RRI (dan TVRI) menjadi pihak yang netral dan independen. Radio dan TV swasta tentulah menayangkan sesuatu dengan pertimbangan mendapatkan untung. Jika ada suatu berita yang meragukan atau mengandung kontroversi, berita RRI dan TVRI mestinya menjadi rujukan masyarakat.

S SINANSARI ECIP, AKADEMISI DAN ANGGOTA KPI PUSAT (2003-2010)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2016, di halaman 6 dengan judul "KPI, RRI, dan TVRI: untuk Apa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger