Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 22 September 2016

Senator dan Juru Parkir (LUKY DJANI)

Aristoteles dalam tulisan berjudul "Political Man and the Condiditons of the Democratic Order" mengungkapkan mengenai kecenderung tabiat manusia yang ia katakan sebagai makhluk politik.

"For man, when perfected, is the best animal, but when separated from law and justice, he is the worst of all; ...But justice is the bond of men in states, for administration of justice, which is the determination of what is just, is the principle of order in political society". Aristoteles berasumsi penyelenggara negara atau pejabat publik semestinya terikat atau diikat prinsip keadilan yang membuat keteraturan dalam masyarakat politik.

Menarik menggunakan filosofi Aristoteles dan bertanya mengapa masyarakat politik di Indonesia menjadi anomali? apakah politikus menjadi makhluk politik tanpa diikat nilai keadilan?

Senator: dewan manusia bijak

Ribuan tahun lalu, negara kota di Yunani dikelola dengan cara unik. Bukan hanya semua orang dapat terlibat secara langsung dalam urusan publik, termasuk terlibat dalam tata kelola dan program pemerintahan, melainkan juga warga dewasa berkesempatan menjadi pengurus kota karena dianggap berkhidmat pada nilai publik dan memiliki kompetensi. Karena itu, siapa yang akan diserahkan tampuk kepengurusan ditentukan melalui lot(ere).

Bertambahnya populasi dan mengembangnya wilayah kota lantas mengubah model dan karakter pemerintahan. Plato, filsuf dan guru Aristoteles, menawarkan model sistem pemerintahan. Dalam buku Republic, Plato mengisahkan pertukaran gagasan antara Socrates dan dua orang muda pengikutnya, yakni Adeimantus and Glaucon, tentang pemerintahan modern yang disebut republik. Plato mengusung gagasan model pemerintahan aristokrasi yang dipimpin begawan atau filsuf yang ia sebut philisopher king. Plato berargumen, model aristokrasi lebih superior dibandingkan sistem pemerintahan lain, seperti timocracy, demokrasi, oligarki, dan tirani.

Kota atau negara kota yang dipimpinphilosopher king dikelola dan dijalankan entitas yang dinamakan Platonic Guardian (setara dengan birokrasi saat ini). Para platonic guardian dididik khusus secara berjenjang sebagai persiapan untuk mengurus pemerintahan. Prasyarat bagi sangphilosopher king dengan kualifikasi pendidikan setingkat di atas paraguardian (begawan dituntut untuk melek filsafat, karya sastra, dan seni).

Ukuran keberhasilannya pun mudah: penduduk kota bahagia! Semua kebutuhan philosopher king danguardian ditanggung negara, mulai dari pendidikan hingga kebutuhan sehari-hari, sehingga mereka dilarang memiliki aset pribadi dan dituntut memimpin dalam kesederhanaan. Aristoteles menggenapi pandangan gurunya bahwa semua manusia adalah makhluk politik karenanya dianggap mampu mengelola urusan publik asalkan terikat pada dan menjunjung tinggi keadilan dan hukum. Prinsip keadilan ini merupakan nilai yang bagi Aristoteles mengikat siapa pun yang hendak mengemban amanat publik.

Perkembangan sistem pemerintahan representasi merupakan transformasi dari model pemerintahan ala Yunani. Sistem perwakilan menjadi tawaran guna mengakomodasi kemajemukan, kompleksitas, dan bertambahnya populasi penduduk.

Para pengurus atau representatif tentu saja tidak mengenyam pendidikan dan proses menjadi penyelenggara seperti masa para filsuf Yunani. Karena itu, di masa Romawi Republik, lembaga perwakilan digagas menjadi dua cabang. Senat kemudian dilembagakan dan berisi kumpulan orang-orang yang dituakan, bijak, dan visioner. Senator lebih ditinggikan dibandingkan anggota perwakilan majelis rendah di mana mereka dianggap melampaui aliran politik kepartaian, urusan pemerintahan keseharian, dan naluri kepentingan sempit.

Pemilihannya tentu saja berbeda dibandingkan dengan anggota majelis rendah. Di Inggris, senat disebut House of Lord, berasal dari kaum yang dihormati dan mereka diangkat mewakili gereja atau berdasarkan keturunan (sejak pemerintahan buruh di bawah Tony Blair, House of Lord secara gradual direformasi). Di Amerika, senator dipilih berdasarkan mekanisme yang berbeda dengan anggota House of Representative dan senator baru dipilih secara langsung pada tahun 1950-an. Di indonesia pun mekanisme pemilihan anggota DPD pun berbeda dengan anggota DPR. Pembedaan ini menunjukkan bahwa senator merupakan makhluk politik yang telah melampaui dirinya sendiri.

Teladan tukang parkir

Tentu saja berita keterlibatan senator oleh lembaga rasuah mengejutkan kita. Bagaimana mungkin wakil rakyat yang setara dengan philosopher kingterjerumus? Namun, tidak mengherankan sebetulnya jika kita merujuk pada pendapat Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk politik, jika tidak diikat dengan nilai keadilan, ia akan menjadi binatang politik. Bagaimana mendidik para penyelenggara negara agar setara dengan philosopher king?

Kita tak perlu rumit menggagas sekolah politik seperti imajinasi Socrates. Cukup belajar dari para juru parkir. Seorang juru parkir memiliki dedikasi tinggi dalam menjaga kendaraan yang dititipkan kepada mereka. Mobil atau motor yang dititipkan beragam: mulai dari kendaraan niaga, kendaraan keluarga, hingga mobilbuilt-up luks keluaran pabrikan Eropa.

Dengan mudah kita dapat menerka harga kendaraan roda empat tersebut, apalagi mobil sport dua pintu built-up, harganya berlipat pendapatan para juru parkir dalam setahun. Mereka sangat paham bahwa kendaraan tersebut hanya "dititipi" saja dan tidak boleh dialihkan kepemilikan secara ilegal alias dicuri. Setiap pemilik kendaraan pastinya ingin menjumpai kendaraan yang mereka titipkan. Di sinilah letak keteladanan tukang parkir. Mereka paham kendaraan itu hanya dititipkan walau mungkin menggiurkan untuk dimiliki, tetapi amanah harus dijunjung.

Hal serupa semestinya merasuk sanubari penyelenggara negara dan pejabat publik, dari presiden hingga kepala desa, serta ketua lembaga perwakilan dari level nasional hingga desa. Bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, aset negara, dan sumber daya alam merupakan "titipan" untuk kemakmuran dan kebahagiaan segenap warga negara dan tidak pantas dimiliki dengan tidak wajar. Andai saja para penyelenggara mau berguru kepada juru parkir, niscaya mereka setara denganplatonic guardians dan philosopher king.

LUKY DJANI, PENELITI INSTITUTE FOR STRATEGIC INITIATIVES

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Senator dan Juru Parkir".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger