Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 22 September 2016

Sistem Pemilu dan Konsekuensi (RAMLAN SURBAKTI)

Apabila dimensi pertama sistem pemilihan umum bersifat prosedural, dimensi kedua sistem politik bersifat substansial, yaitu konsekuensi setiap aspek sistem pemilihan umum terhadap sejumlah aspek sistem politik demokrasi, seperti sistem kepartaian, sistem perwakilan politik, dan efektivitas pemerintahan.

Pesan dari dimensi kedua ini adalah jangan memilih sistem pemilihan umum lebih dahulu sebelum menetapkan sistem politik demokrasi seperti apakah yang hendak diciptakan. Sepakati lebih dahulu partai politik dan sistem kepartaian seperti apa yang hendak dibangun, sistem perwakilan politik macam apa yang hendak diciptakan, efektivitas pemerintahan macam apakah yang hendak diwujudkan, serta perilaku memilih dan perilaku politisi macam apakah yang hendak dibentuk. Sistem pemilihan umum dengan segala unsurnya merupakan instrumen untuk mencapai berbagai aspek sistem politik demokrasi tersebut.

Titik lemah demokrasi

Apa saja konsekuensi politik yang diharapkan dari suatu sistem pemilihan umum terhadap berbagai aspek sistem politik demokrasi? Salah satu titik lemah demokrasi Indonesia adalah partai politik belum mampu menjadi penggerak demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 22E Ayat (3) dan Pasal 6A UUD 1945. Partai politik di Indonesia belum dikelola secara demokratis, melainkan dikelola secara oligarkis (pengambilan keputusan terletak pada sekelompok kecil elite partai), bahkan untuk sejumlah partai dikelola secara personalistis (kata putus berada pada tangan ketua umum).

Ironisnya, Undang-Undang tentang Partai Politik menetapkan "kedaulatan partai politik berada di tangan anggota", tetapi UU Partai Politik yang sama justru yang membelokkannya dengan menambah ketentuan "diatur lebih lanjut dalam AD/ART dan Peraturan Internal Partai". Dalam bahasa ilmu politik, partai politik di Indonesia sangat lemah dalam intra-party democracy.

Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan sejak pemilu anggota DPR dan DPRD tahun 2009 justru memperlemah partai politik sebagai lembaga demokrasi.

Pertama, prinsip "setiap suara sah dihitung secara setara" (every legitimate vote count equally) tidak dijamin dalam UU yang mengatur sistem pemilihan tersebut. Suara yang diberikan oleh pemilih kepada partai politik sebagai peserta pemilu (pemilih hanya mencoblos tanda gambar suatu partai) hanya berpengaruh pada kemungkinan partai mendapat kursi, tetapi tidak menentukan siapa yang akan terpilih. Sebaliknya, suara yang diberikan oleh pemilih kepada seorang calon (mencoblos satu nama calon) tidak hanya memengaruhi kemungkinan perolehan kursi partai, tetapi juga ikut memengaruhi siapa calon yang akan terpilih. Dengan kata lain, memilih calon lebih berharga daripada memilih partai politik.

Kedua, untuk dapat terpilih seorang calon tidak perlu mencapai suara mayoritas dan juga tidak perlu mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP). Yang penting mencapai jumlah suara yang lebih banyak daripada jumlah suara yang dicapai calon lain dari partai yang sama dan di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Dengan dua alasan ini, setiap calon berupaya sekuat tenaga mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dengan segala cara yang mungkin. Visi, misi, dan program partai yang seharusnya menjadi materi kampanye diganti dengan segala macam janji pribadi kepada pemilih. Singkat kata, sistem pemilu proporsional terbuka justru lebih menonjolkan reputasi personal daripada reputasi partai politik. Dalam praktik, calon yang aktif kampanye menggantikan peran partai sebagai peserta pemilu.

Titik lemah kedua demokrasi Indonesia adalah sistem perwakilan politik, khususnya DPR dan DPRD. Salah satu elemen penting sistem perwakilan politik adalah siapa yang mewakili dapil: anggota DPR dan DPRD ataukah partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan/atau DPRD? Sejumlah faktor dapat dikemukakan untuk mendukung pendapat yang memandang partai politik peserta pemilu yang mempunyai kursi di DPR atau DPRD yang mewakili dapil. Pertama, partai politiklah yang menjadi peserta pemilu menurut UUD 1945 sehingga partai politik tidak hanya menetapkan nama dan nomor urut calon, tetapi juga visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye.

Kedua, konversi suara pemilih menjadi kursi yang mengadopsi formula proporsional (sistem pemilu proporsional) apa pun metode yang digunakan (kuota atau divisi) dan apa pun variannya selalu dimulai dengan pembagian kursi yang diperebutkan di setiap dapil kepada partai politik peserta pemilu. Setelah kursi dapil terbagi habis, barulah kursi partai tersebut diberikan kepada calon berdasarkan varian metode yang diadopsi dalam UU Pemilu. Jadi, kursi yang dibagikan kepada calon itu adalah kursi partai. Yang berhak mengajukan gugatan terhadap keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada Mahkamah Konstitusi bukan calon, melainkan dewan pimpinan pusat (DPP) partai politik peserta pemilu.

Ketiga, yang wajib menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye bukan calon, melainkan kepengurusan partai politik tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Keempat, DPP/DPD/DPC partai politik berhak memberhentikan anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten-kota jika melanggar AD/ART partai ataupun garis kebijakan partai.

Namun, juga terdapat sejumlah alasan untuk mendukung pandangan yang menganggap anggota DPR/DPRD-lah yang mewakili dapil. Pertama, sumpah jabatan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mewajibkan setiap anggota DPR/DPRD memperjuangkan aspirasi rakyat. Kedua, para calon anggota DPR/DPRD-lah yang secara aktif melakukan kampanye mendapatkan suara pemilih. Bahkan, sebagian terbesar pemilih memberikan suara bukan kepada partai politik, melainkan kepada calon.

Kedua alasan ini sebenarnya tidak begitu kuat. Anggota DPR/DPRD memang harus memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi yang dimaksud dengan aspirasi rakyat adalah visi, misi, dan program yang dikampanyekan oleh partai kepada para pemilih. Betul para calonlah yang melakukan kampanye untuk mendapatkan suara. Namun, kursi yang mereka duduki bukan kepunyaan mereka, melainkan milik partai. Hal ini tidak lain karena sebagian besar anggota DPR/DPRD yang terpilih tidak mencapai BPP sehingga kursi yang mereka duduki merupakan kursi partai.

Pluralisme ekstrem

Menurut Jose Antonio Cheibub (Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, Cambridge UP, 2007), pemerintahan presidensial yang tidak efektif biasanya terjadi di negara yang menerapkan sistem pemilihan umum proporsional dengan banyak kursi per dapil (multi-members constituency), dan pemilu anggota DPR diselenggarakan lebih dahulu daripada pemilu presiden. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh sistem pemilihan umum seperti ini adalah sistem kepartaian pluralisme ekstrem, tetapi kepatuhan anggota DPR kepada garis kebijakan partai sangat longgar (disiplin partai rendah).

Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan selama ini tidak hanya mengalokasikan banyak kursi per dapil (70 dari 77 dapil DPR mendapat alokasi kursi sebesar 6 sampai dengan 10 kursi), tetapi juga pemilu anggota DPR diselenggarakan lebih dahulu daripada pemilu presiden. Akibatnya, sistem kepartaian yang terjadi adalah pluralisme ekstrem (10 partai). Sistem pemilu proporsional terbuka menimbulkan akibat berupa disiplin partai rendah karena reputasi personal lebih menonjol daripada reputasi partai.

Karena itu, sistem pemilihan umum proporsional apa pun yang akan dipilih harus mampu memperkuat partai politik sebagai lembaga demokrasi, mampu menciptakan sistem perwakilan politik yang dikehendaki oleh Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 (partai politik peserta pemilu yang mempunyai kursi di suatu dapil mewakili dapil tersebut). Sistem pemilu proporsional apa pun yang akan dipilih harus mengurangi jumlah kursi yang dialokasikan ke setiap dapil, suara diberikan kepada partai yang memiliki program yang jelas, dan pemilu DPR harus konkuren dengan pemilu presiden. Sistem pemilu proporsional seperti ini akan melahirkan sistem kepartaian pluralisme moderat (sistem multipartai sederhana) dan akan melahirkan kepatuhan kader kepada garis kebijakan partai (disiplin partai).

RAMLAN SURBAKTI, GURU BESAR PERBANDINGAN POLITIK PADA FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA DAN ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Sistem Pemilu dan Konsekuensi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger