Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 23 September 2016

Masa Depan Demokrasi Digital Indonesia (WASISTO RAHARJO JATI)

Internet telah berkembang menjadi bagian esensial dari kehidupan manusia modern saat ini. Adanya perubahan platform internet dari masa ke masa telah menjadikannya semakin mudah diakses dalam bentuk perangkat bergerak.

Modernisasi tersebut telah memberi dampak pada pola diskusi dan interaksi publik yang kini semakin intens, intim, dan juga membumi. Pola interaksi kemudian mengerucut pada terbentuk ruang publik di dunia maya secara elaboratif mengupas sejumlah isu; mulai dari yang strategis, politis, hingga sosial. APJII (2016) mencatat adanya kenaikan masif pengguna internet sebesar 88,01 juta jiwa dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia. Mayoritas internet diakses melalui perangkat bergerak, seperti telepon pintarsebesar 85 persen berbanding 13 persen dengan laptop/komputer.

Digitalisasi konten dan visual menjadikan proses infiltrasi dan implementasi nilai demokrasi jadi terdispersi meluas (Hill, 2000). Kelas menengah yang dimotori kelompok akademisi dan profesional menjadi agen penting perubahan sosial berbasis jejaring digital. Munculnya gerakan pro-demokrasi dan gerakan masyarakat ritis di Filipina, Malaysia, Thailand, dan Indonesia secara tidak langsung buah dari aktivisme yang berjejaring.

Dengan kata lain, demokrasi jadi hidup di era sekarang karena keberadaan informasi dan teknologi yang cepat. Masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat informan yang menerapkan nilai demokrasi secara praksis, seperti transparansi, partisipasi, representasi, dan juga akuntabilitas. Keempat hal itulah yang menjadi inti demokrasi digital yang kini mewabah di kalangan kelas menengah kita hari ini.

Kecenderungan keempat nilai demokrasi digital tersebut menyeruak dan mengentak di ruang publik karena dibukanya keran interaksi dan diskusi kritis yang melebar, baik di level onlinemaupun offline. Kondisi itulah yang memicu adanya pengarusutamaan semangat agitasi, emosi, dan afeksi publik dalam menilai dan mengkaji suatu permasalahan kontemporer.Dari situlah sebenarnya terjadi anomali dalam memahami rasionalitas kelas menengahnetizen hari ini. Alih- alih bersikap rasional dalam menyikapi isu,netizen kita justru bersikap delusional yang secara instan dan emosional melihat permasalahan.

Implikasinya, pemetaan masalah dipola dan diselesaikan secara asimetris karena menganggap bahwa permasalahan timbul karena ketidakadilan dan kesenjangan.Pola pemikiran diakronis itulah yang perlu diakui bahwa demokrasi digital menciptakan adanya "baik" dan "buruk" secara sentrifugal, bergantung pada seberapa intens dan banyak preferensi informasi diterima publik dalam menyikapi sesuatu.

"Siapa membahas apa"

Dalam sejumlah kesempatan, adanyameme, pesan viral, trolling, ataupuncyber-bullying merupakan bentuk nyata berkembangnya demokrasi digital di kalangan kelas menengah kekinian.Hal itu terjadi karena pola diskusi kelas menengah yang berkembang di ruang publik internet lebih banyak didominasipostingan informasi yang bersifat hit and run, yang berdampak pada pertanyaan penting: siapa membahas apa, kapan, dan untuk apa dibahas. Kita kemudian riuh membahas isu yang dilemparnetizen anonim, tak sadar apa implikasi yang ditimbulkan dan diperbuat setelahnya.

Maka, kecenderungan kontemporer sekarang ini adalah munculnya perdebatan dan pergunjingan netizenterhadap isu yang tiada habisnya dibahas di media sosial dan baru reda apabila berganti isu lain. Artinya, diskusi isu di internet bersifat hanya temporatif dan ramai di permukaan. Secara garis besar karakter netizen yang ramai di media sosial berjiwa sockpuppet (anonim) menjadikan kita tidak tahu siapa sebenarnya dia di dunia maya.

Berbeda dengan pengalaman demokrasi digital di Barat, di mana terjadi kesamaan profil sosial figur sebagai netizen di dunia maya ataupun citizen di dunia nyata. Pengalaman demokrasi digital kita dihadapkan pada profil netizen yang anonim dan tidak jelas maksud dan tujuannya. Kasus demokrasi digital menunjukkan fakta miris bahwa terjadinya kenaikan angka cyber bullying,trolling, juga cyber crime di media sosial internet. Artinya, kelas menengah Indonesia belum memahami benar internet adalah untuk menyambungkan, bukan untuk memisahkan.

Berkembangnya praktik netizen tersebut menunjukkan perlu ada pengaturan kode etika dalam akses internet. Namun, negara merespons gejala itu dengan bersikap represif melalui UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terutama dalam Pasal 27 Ayat 3 yang transmisi informasi berpotensi pencemaran nama baik, dan konsekuensi pidananya dalam Pasal 45 Ayat 1 dengan maksimal pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Negara masih defensif dan bukan bertindak kuratif dalam menangani pola komunikasi internet. Negara masih gagapdalam melihat kebebasan berekspresi netizen dalam ruang demokrasi digital dengan berupaya melimitasi dan mengawasi gerak-geriknya secara konstitusional. Negara tidak membuka ruang kompromi dengannetizen terkait pola komunikasi yang baik dan konstruktif, tetapi lebih melihatnya secara desktruktif dari kacamata pidana.

Di pihak lain, masyarakat yang tereuforiakan dengan kebebasan berekspresi tersebut tidak membatasi diri level aktivismenya dan memilah informasi secara benar dan bijak. Dengan kata lain, baik negara maupun masyarakat belum satu kesamaan visi dalam melihat internet sebagai media aspirasi, artikulasi kepentingan, dan advokasi.

Agenda mendesak dalam ruang demokrasi digital Indonesia adalah perlunya kode etika dalam bermedia sosial dan regulasi afirmatif yang didiskusikan bersama oleh negara dan masyarakat netizen. Semoga, ke depan, ruang demokrasi digital kita dipenuhi bahasa diskusi yang konstruktif daripada desktruktif.

WASISTO RAHARJO JATI, PENELITI DI PUSAT PENELITIAN POLITIK (P2P), LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Masa Depan Demokrasi Digital Indonesia".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger