Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 17 September 2016

Nasionalisme Kaum Muda (DIMAS OKY NUGROHO)

Baru-baru ini, Monocle, sebuah majalah gaya hidup internasional yang digemari anak muda kreatif dan profesional, mengangkat topik menarik berjudul "How to Make a Nation: A Monocle Guide". Majalah ini tidak hanya mengulas tentang tren gaya hidup, fashion, desain, wisata, dan kuliner di sejumlah negara, tetapi juga informasi menyangkut liputan bisnis, keuangan, dan isu-isu politik global terbaru dengan bentuk sajian yang kreatif.

Tak lazim majalah "hidup bergaya" seperti ini mengambil liputan berat seperti halnya politik yang tentu bukan menjadi topik favorit para pembacanya. Secara tersirat, Monocle ingin menyatakan bahwa sulit bagi kaum muda profesional dapat mengembangkan potensi dirinya secara lebih produktif jika mereka sendiri tidak paham dan tidak ikut "membentuk" negara-bangsa tempat mereka tinggal agar menjadi lebih baik, suportif, dan keren.

Edisi khusus majalah ini seolah difungsikan menjadi semacam pendidikan kewarganegaraan bagi kelas menengah muda yang kelak di antara mereka akan menjadi pemimpin di negara-bangsanya masing- masing.  

Di dalam edisi khusus setebal 337 halaman tersebut, terdapat sepuluh sub-isu yang diangkat. Diawali dengan manifesto pemahaman siapa dan apa itu rakyat (people). Dilanjutkan tentang pemerintahan dan tata tertib politik. Sub-isu kedua tentang diplomasi dan hubungan internasional. Lalu berturut-turut tentang pertahanan dan keamanan, pembangunan ekonomi, membangun komunitas dan masyarakat sipil, dan tentang strategi menjalankan soft poweruntuk menjaga kepentingan sebuah nasion.

Sub-isu selanjutnya adalah soal strategi promosi seni dan budaya, memajukan olahraga, dan strategi merayakan ikon nasional untuk kepentingan cinta negara. Ditutup dengan bab (chapter) upaya membangun brand dan citra positif di mata internasional.

Bagi saya, topik dengan penyajian yang apik seperti ini-didukung oleh foto dan infografis-menjadi keasyikan tersendiri dan sesuatu yang relevan sebagai sebuah model pendidikan politik kreatif. Penyajiannya yang substansial tetapi mudah dicerna akan sangat membantu untuk menjelaskan seputar isu politik dan pemerintahan bagi kaum muda yang cenderung apatis terhadap politik.

Lebih dari itu yang juga menarik adalah perspektif yang coba mereka bawa melalui edisi khusus ini. Monocle, sebuah majalah global lintas negara, menganjurkan anak- anak muda mencintai negara-bangsanya, membangun nasionalisme melalui cara-cara yang menyenangkan (fun), berguna, dan inovatif.

Nasionalisme yang dianjurkan olehMonocle bukan nasionalisme yang sempit, yang retorik propaganda, tetapi menzalimi hak-hak warga atau hanya membuat susah rakyatnya. Bukan pula sebuah nasionalisme yang menakutkan dan tidak membuat nyaman lingkungan sosial dan regionalnya. Nasionalisme yang dianjurkan ini tidak pula sebuah bentuk kebablasan dari konsep bernama globalisasi. Karena, menurut majalah tersebut, betapapun ketergantungan antarnegara tak terhindarkan, tetap saja terdapat sebuah kepentingan domestik yang berbeda (distinction) di antara negara- bangsa tersebut.

Sesungguhnya apa yang diulas olehMonocle ini merupakan pemikiran yang jauh- jauh hari sudah pernah disampaikan oleh sang proklamator kita, presiden pertama, Ir Soekarno. Menurut Bung Karno, nasionalisme kita bersumber dan berfondasikan pada nilai-nilai Pancasila. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang tumbuh dan berkembang di taman sarinya internasionalisme.

Daulat rakyat daulat kaum muda

Sebagai dasar pemahaman, upaya membentuk negara-bangsa harus bersendikan pada inisiatif memberdayakan dan memperkuat rakyat. Rakyat harus memahami esensi kedaulatan di tangan mereka.

Kelahiran dan keberlangsungan sebuah nasion terkait erat dengan komitmen, partisipasi, dan progresivitas rakyatnya sendiri. Namun, proses membentuk nasion tidak berlangsung statis atau membeku dalam satu kurun waktu tertentu, yang hanya dikenang atau dibaca dalam teks sejarah secara kaku dan artifisial. Membentuk dan merawat nasion adalah sebuah proses aktif yang berlangsung secara terus-menerus, kreatif, dan konsisten tanpa mengkhianati nilai-nilai historis otentik yang menjadi konsensus dasar atau fondasi pembentukan sebuah nasion.

Bagi anak muda kekinian, menjadi seorang nasionalis hari gini memiliki arti eksis berpartisipasi secara positif dalam ruang-ruang publik alternatif. Dimulai dari hal-hal yang tampak kecil sampai aktivitas yang besar. Mendirikan komunitas independen sesuai hobi, membangun gerakan solidaritas, menata kota agar nyaman dan ramah lingkungan, mencoba berwirausaha (akhir-akhir ini bisnis berbasis daring di media sosial menjadi favorit), sampai hal-hal rumit, seperti mendorong sistem politik yang lebih responsif dan terbuka, serta agar pemerintah bekerja benar dan akuntabel.

Aktivitas-aktivitas itu sejatinya berasal dari hasrat dan energi yang berlimpah dari para kaum muda tersebut untuk berekspresi, terlibat, dan diakui secara sosial oleh lingkungannya. Problemnya, dalam proses pembangunan kita paling tidak sejak reformasi bergulir, ironisnya tidak ada konsep kebijakan politik negara yang solid dan cemerlang untuk memberdayakan dan memfasilitasi kaum muda sebagai generasi juara kepemimpinan mendatang.  

Gotong royong dan ekonomi kreatif

Pesan untuk kaum muda, terinspirasi majalah Monocle, jika kita menginginkan diri dan masyarakat kita tumbuh berkembang secara sukses, segeralah temukan dan setia pada keutamaan prinsip-prinsip dasar kita sebagai nasion yang unggul dan berbeda di antara bangsa-bangsa lain. Upaya melakukan identifikasi diri ini dilakukan pula oleh bangsa-bangsa yang besar dan sukses lainnya. Sudah saatnya kita sadar dan yakin bahwa yang membuat kita unggul dan berkarakter di antara pergaulan dunia karena kita memiliki Pancasila!

Dalam buku lawasnya berjudul Desa, salah satu intelektual priayi pendiri bangsa, Soetardjo Kartohadikoesoemo, menulis bahwa tantangan terbesar bagi anak-anak bangsa yang terjamah dengan gaya hidup "kota" era kita adalah menemukan "sepotong Pancasila".

Dan sepotong Pancasila itu bernama gotong royong.

Ketika para elite bertarung saling sikut dan sikat berebut kepentingan, maka kita anak muda yang seolah menjadi yatim politik hari ini-akibat jarang diperhatikan, difasilitasi, dan diarahkan oleh negara secara baik-harus bisa saling tumbuh saling dukung, "hidup dan menghidupkan", melalui jalan kolaborasi. Jalan kolaborasi ini sesungguhnya adalah "gotong royong" itu sendiri.

Ekonomi kreatif sejatinya bisa dijadikan sebagai proyek besar pembentukan generasi nasionalis baru yang mampu membongkar sekat-sekat prasangka dan trauma partikularisme sosial yang terus menghantui kita sebagai bangsa majemuk. Pemerintahan Joko Widodo harus lebih serius dalam memfasilitasi dan mengantisipasi ledakan minat anak muda di sektor wirausaha kreatif ini.

Tanpa harus dijejali oleh jargon-jargon ideologi politik yang selalunya konfliktual, dan tanpa harus meratapi bantuan pemerintah yang sering kali absen, toh sesungguhnya para komunitas muda kreatif ini sudah bisa untuk sekadar bertahan atau maju berkembang secara mandiri.

Dalam nasionalisme, kita "kaum muda" harus ditanamkan secara tegas kobaran tekad bahwa masa depan negara-bangsa ini adalah kepunyaan kita, bukan kepunyaan mereka "kaum tua" yang berkuasa. Hiduplah jujur, produktif, berbagi, serta -tentu saja-berkolaborasi. Jangan lupa, agar tetap fun dan berjiwa merdeka!

DIMAS OKY NUGROHO

DOKTOR ALUMNUS UNSW SYDNEY, PENDIRI GERAKAN AMPUH (ANAK MUDA PUNYA USAHA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Nasionalisme Kaum Muda"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger