Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 20 September 2016

Peran Politik Pemuda (I BASIS SUSILO)

Pada 19 September 1945, ada dua peristiwa penting di dua kota. Di Jakarta, rapat raksasa di Lapangan Ikada. Di Surabaya, insiden bendera di Hotel Oranye. Ada persamaan dari dua peristiwa itu: dua-duanya digerakkan dan dipelopori pemuda!

Sambil memperingati dua peristiwa yang terjadi 71 tahun silam itu, ada baiknya kita mempersoalkan peran politik pemuda saat ini.

Rapat raksasa 19 September 1945 diselenggarakan pemuda. Pasalnya, sampai sebulan setelah kemerdekaan, kekuasaan pemerintah baru belum tampak dan dirasakan rakyat. Oleh para pemuda, Bung Karno dan Bung Hatta dianggap ragu dan terlalu memperhitungkan sikap pembesar Jepang serta menunggu kedatangan Sekutu dengan pertanyaan apakah mereka akan dituduh Sekutu sebagai kaki tangan Jepang dan karenanya mesti diadili sebagai penjahat perang.

Menurut Maroeto Nitimihardjo, salah satu pemrakarsanya, rapat akbar itu diadakan setelah mendapat tantangan dari Tan Malaka seminggu sebelumnya untuk membuktikan kewibawaan Soekarno-Hatta, meningkatkan semangat revolusi, dan memperkuat kepercayaan-diri rakyat (Kompas, 30/6/77). Pembesar Jepang di Jakarta tegas melarang rencana itu.

Bung Karno dan kabinetnya pun tak setuju dengan rencana itu karena bisa sebabkan bentrokan dengan tentara Jepang. Namun, para pemuda tetapngotot sehingga sejak pagi hingga siang hari rakyat dari Jakarta dan sekitarnya berduyun-duyun datang ke Lapangan Ikada.

Ketika rakyat berdatangan ke Ikada, berlangsung sidang kabinet sejak pukul sembilan pagi membahas apakah Bung Karno dan Bung Hatta pergi atau tidak ke rapat itu. Kabinet khawatir timbul pertumpahan darah kalau menentang larangan Jepang. Rapat berlarut-larut. Para pemuda dengan caranya sendiri mendesak Bung Karno hadir. Akhirnya, baru pukul empat sore Bung Karno memutuskan hadir untuk menenteramkan rakyat yang menunggunya. Rakyat lega ketika Bung Karno, Bung Hatta, dan menteri bersama para pemuda memasuki lapangan sekitar pukul 05.15 sore.

Rosihan Anwar mencatat, di depan ratusan ribu rakyat itu, Bung Karno berpidato singkat: "Tenang, tenang. Saudara. Lebih dahulu saya sampaikan salam nasional: Merdeka! Sebetulnya rapat ini dibatalkan oleh larangan Gunseikambu. Tapi atas kehendak rakyat rapat ini diteruskan. Percayakah rakyat kepada pemerintah Republik? [Dijawab rakyat: percaya!]. Kalau begitu, kami dari pemerintahan akan tetap menanggung jawab terhadap rakyat walaupun andai kata rakyat nanti akan merobek-robek dada kami. Sekarang saya minta dengan tenang dan tenteram saudara-saudara pulang meninggalkan rapat, dengan menunggu perintah dalam keadaan siap sedia."

Pada hari yang sama, para pemuda Surabaya pagi hari bersitegang dengan orang-orang Belanda di Hotel Oranye (Yamato, atau Mojopahit sekarang). Pemicunya, ada bendera Belanda dikibarkan di atas hotel sejak pukul 21.00 (18/9/19).Paginya, merasa kedaulatan negerinya dihina, rakyat Surabaya marah dan ratusan arek berdatangan menuntut penurunan bendera tersebut.

Residen Soedirman didampingi Sidik dan Hariyono menemui WVCh Ploegman dan orang-orang Belanda di sana. Ploegman menolak menurunkan bendera Belanda dan menolak mengakui kedaulatan Indonesia. Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian. Ploegman tewas dicekik Sidik, lalu Sidik tewas oleh tentara Belanda. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Mereka merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.

Peran politik pemuda kini

Dua peristiwa pada hari yang sama itu hanyalah dua dari ratusan (bahkan ribuan) peristiwa yang menunjukkan peran penting pemuda dalam dinamika politik Indonesia. Sudah banyak penulis mengakui peran politik pemuda. Bahkan, Benedict Anderson (1972) mengajukan tesis bahwa penggerak paling utama revolusi Indonesia adalah para pemudanya.

Pemuda kita memang selalu mempunyai konsepsi tentang keinginan untuk masa depan dan berbuat sesuatu untuk mengatasi krisis zamannya. Oleh karena itu, pada tiap angkatan (1908, 1928, 1945, 1966, 1974, dan 1998), pemuda telah berperan amat aktif dalam dinamika politik nasional.

Persoalannya, apakah peran politik pemuda saat ini seperti pendahulunya? Pada tahun 2008, penulis masih optimistis terhadap peran politik pemuda kita kendati pesimisme sudah menguat melihat pemuda yang lebih suka santai dan nongkrong ("Menunggu Sumpah Generasi Nongkrong", Kompas,28/10/2008).

Kita masih punya alasan untuk optimistis kalau melihat makin banyaknya pemuda kita tampil dan berprestasi di segala bidang kehidupan. Namun, kita pun punya alasan untuk pesimistis setidak-tidaknya karena dua hal berikut.

Pertama, sekarang ini prestasi pemuda lebih pada individual atau kelompok kecil. Secara individu dan kelompok kecil, mereka sangat percaya diri dan rata-rata lebih hebat dari para pemuda pendahulunya. Namun, bukan skala nasional. Di angkatan-angkatan sebelumnya, peran pemuda bisa kuat dan menentukan karena kendati ada pengelompokan, mereka berjejaring sehingga menjadi cohort dan kelompok penekan (pressure group) yang solid, terutama ketika mereka mempertaruhkan kepentingan nasional.

Kedua, di ruang publik yang sudah amat terbuka, bebas, dan demokratis sekarang ini, peran pemuda sebagai kelompok penekan pun tidak tampak kuat. Di media massa, terutama televisi, pemuda (bahkan mahasiswa) lebih banyak menonton daripada beraksi. Di banyak acara show di TV, dengan mudah kita melihat mahasiswa berjaket almamater masing-masing duduk manis menikmati acara.

Pemikiran kritis berskala nasional untuk menyikapi kondisi- kondisi negara-bangsa kritis jarang muncul dari mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan.

I BASIS SUSILO, DOSEN DAN PENELITI CAKRA STUDI GLOBAL DAN STRATEGIS (CSGS) PADA FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Peran Politik Pemuda".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger