Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 September 2016

Petani, Riwayatmu Kini (DWI ANDREAS SANTOSA)

Petani kecil Indonesia memainkan peran utama dalam economic prosperity terutama di Pulau Jawa dan Bali selama beberapa milenium.

Peran besar tersebut dimulai sejak domestikasi padi di kedua pulau tersebut dan berkembangnya ratusan jenis padi terutama padi javanica atau yang dikenal dengan padi bulu. Budidaya pertanian unggul yang sarat nilai-nilai budaya lintas generasi membuat Pulau Jawa dan Bali menjadi wilayah dengan perkembangan ekonomi dan populasi tercepat di seluruh Nusantara pada masa itu.

Secara global, petani kecil juga memiliki peran teramat penting. Sejak tahun 1960-an mereka sudah mengembangkan 2,1 juta varietas tanaman (FAO, 2010), jauh melampaui varietas yang dikembangkan industri benih raksasa dan lembaga riset yang hanya sekitar 80.000 varietas.

Petani kecil juga sangat efisien dalam pemanfaatan sumber daya. Meskipun harus menyediakan 70 persen pangan dunia, mereka hanya menggunakan kurang dari 20 persen bahan bakar fosil dan 30 persen air pertanian.

Sebaliknya, sistem pertanian industri—meskipun hanya memproduksi 30 persen—menggunakan 80 persen bahan bakar fosil dan 70 persen air pertanian. Selain itu, pertanian industri juga menyumbang 44-57 persen gas rumah kaca dan deforestasi seluas 13 juta hektar setiap tahun.

Perubahan

Sistem pertanian dan pangan dunia telah berubah drastis, yang berdampak besar terhadap petani kecil. Perubahan dimulai awal tahun 1970-an dan menguat tahun 1980-an. Saat itu, Amerika Serikat dan Eropa mulai mengubah orientasi dari "nasionalisme ekonomi dan proteksionisme" yang merupakan penciri kebijakan perdagangan pasca-Perang Dunia II menjadi ekonomi terbuka dan melakukan ekspansi pasar ke negara berkembang.

Perubahan semakin besar pada tahun 1980-an dan 1990-an melalui liberalisasi perdagangan yang dimotori oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan disetujuinya kesepakatan pertanian (Agreement on Agriculture).

Kebijakan WTO terutama di sektor pangan dan pertanian langsung berdampak buruk bagi petani kecil negara berkembang dan menguntungkan negara maju dan perusahaan-perusahaan mereka.

Negara-negara maju saat ini menjadi produsen pangan terbesar di dunia. Lima perusahaan transnasional (TNC) yang merupakan kepanjangan tangan pertanian industri mengendalikan 90 persen perdagangan pangan dunia, 10 TNC menguasai 89 persen racun hama dan pupuk sintetik serta 67 persen pasar benih dunia. Sementara 6 TNC menguasai hampir 100 persen benih transgenik dunia.

Sebaliknya, sekitar 70 persen negara berkembang saat ini merupakan importir pangan dan kehilangan sekitar 50 miliar dollar AS per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka. Petani kecil terpaksa harus berhadapan dengan produk pangan impor murah (low artificial price) dan dumping yang menghancurkan sistem pertanian dan kesejahteraan mereka.

Kondisi petani Indonesia

Rezim pangan yang kurang ramah terhadap petani kecil juga dirasakan di Indonesia. Banyak kebijakan pertanian disusun dan dikemas jauh dari upaya menyejahterakan dan memuliakan petani. Hanya 0,5 juta penduduk yang menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar berupa tanah.

Selama hampir seperempat abad, lahan pertanian yang menghidupi hampir 100 juta penduduk hanya bertambah 2,96 persen, sebaliknya lahan perkebunan yang dimiliki sedikit penduduk Indonesia meningkat 144 persen.

Selama periode 2003-2013 sebanyak 5,1 juta keluarga tani terpaksa meninggalkan lahan mereka dan sebagian besar menjadi penyusun masyarakat miskin kota. Kondisi saat ini justru memburuk karena hanya dalam tempo satu tahun (Februari 2015-2016) tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian 1,8 juta (BPS Agustus 2016).

Memburuknya kondisi petani kecil juga ditandai dengan konversi kepemilikan lahan dari petani ke bukan petani. Selama 10 tahun terakhir di Pulau Jawa terjadi konversi kepemilikan lahan seluas 508.000 hektar yang berpotensi menurunkan produksi pangan di lahan-lahan terbaik di Indonesia.

Luas lahan yang dimiliki petani juga terus menurun. Saat ini 77,0 persen petani di Pulau Jawa merupakan petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektar dengan luasan per keluarga tani 0,2-0,3 hektar. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan rumah tangga petani yang hanya Rp 1.030.000 per bulan atau lebih rendah dari upah minimum provinsi (UMP) terendah di Indonesia (BPS, 2014).

Tingkat kemiskinan petani tidak membaik, tetapi justru memburuk (DA Santosa, "Simfoni Kabinet Pangan",Kompas 2/9/2016). Persentase penduduk miskin yang tinggal di perdesaan yang sebagian besar petani justru meningkat dari 62,75 persen (September 2015) menjadi 63,08 persen (Maret 2016). Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di wilayah pertanian juga meningkat di periode yang sama.

Perubahan paradigma

Melihat kondisi seperti ini, perlu perubahan paradigma pembangunan pertanian. Paradigma yang selama ini berorientasi ke peningkatan produksi dan swasembada pangan ternyata gagal. Pada periode pemerintahan sebelumnya—di tengah upaya keras untuk mencapai swasembada pangan—impor pangan justru melonjak drastis 346 persen sekalipun anggaran sektor pertanian telah ditingkatkan 611 persen (2003-2013) (BPS, 2014, BKF 2014).

Kondisi saat ini tampaknya juga belum membaik. Meskipun tahun 2015 terjadi peningkatan anggaran untuk sektor pertanian (71 persen) dan kementerian pertanian (112 persen), impor pangan tetap meningkat di tengah klaim peningkatan produksi yang spektakuler. Impor beras, jagung, kedelai, gula tebu, dan ubi kayu meningkat masing-masing 2,1; 3,7; 9,8; 14,2, dan 64,4 persen.

Pada lima bulan pertama tahun 2016 impor beras melonjak 729 persen karena impor tahun 2015 baru masuk di awal tahun 2016, impor ubi kayu meningkat 16,5 persen, dan gula tebu 25,0 persen. Sementara impor kedelai menurun 1,7 persen. Penurunan impor yang tajam terjadi pada jagung 47,5 persen.

Turunnya impor jagung tampaknya bukan karena peningkatan produksi, melainkan karena pembatasan impor. Akibatnya, terjadi peningkatan impor gandum sangat tinggi, terutama gandum untuk pakan ternak, 61,4 persen.

Ubah orientasi

Dengan demikian, orientasi pembangunan pertanian perlu diubah dari produksi ke peningkatan kesejahteraan petani. Contoh terkait adalah penetapan harga acuan pembelian di petani (Permendag No 63/2016). Harga acuan gabah kering panen sebesar Rp 3.700 per kg seakan memunggungi petani. Harga ini hanya dinaikkan 12 persen dibanding harga pembelian pemerintah tahun 2012, sedangkan inflasi sudah meningkat 25 persen.

Karena harga pangan yang tinggi, saat ini sudah terbentuk kesetimbangan baru yang meningkatkan biaya usaha tani. Biaya usaha tani saat ini mencapai Rp 3.574 hingga Rp 4.800 atau rata-rata Rp 4.186 per kg GKP yang jauh melampaui harga acuan. Demikian juga untuk jagung (Rp 3.587, harga acuan Rp 3.050 per kg kadar air 20 persen) dan kedelai (Rp 8.961, harga acuan Rp 8.500 per kg) (Kajian AB2TI, September 2016). Pada tingkat harga acuan tersebut, petani justru merugi.

Penetapan harga acuan yang menguntungkan petani adalah salah satu instrumen yang potensial untuk meningkatkan pendapatan petani. Selain itu, pemberian akses petani untuk sumber daya produktif terutama lahan melalui reforma agraria, akses untuk kredit dan asuransi pertanian, kebijakan perdagangan yang berkeadilan, pengembangan pasar lokal untuk petani kecil, pengembangan budidaya pertanian agroekologis, mengubah subsidi input ke subsidi output, dan pemberian akses petani untuk ikut menetapkan kebijakan pangan di setiap level merupakan suatu keniscayaan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.

Peningkatan produksi merupakan buah dari upaya keras meningkatkan kesejahteraan petani bukan sebaliknya.

DWI ANDREAS SANTOSA, GURU BESAR FAKULTAS PERTANIAN IPB; KETUA UMUM ASOSIASI BANK BENIH DAN TEKNOLOGI TANI INDONESIA (AB2TI); PENASIHAT DEWAN PIMPINAN NASIONAL PETANI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Petani, Riwayatmu Kini".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger