Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 19 September 2016

Tantangan Industri Keuangan (J SOEDRADJAD DJIWANDONO)

Baru-baru ini saya berbicara dalam pertemuan sejumlah bankir pengelola risiko. Acara diselenggarakan oleh Banker Association for Risk Management (Bara), asosiasi pengelola risiko bank-bank, di Yogyakarta. Saya membahas kritik terhadap perbankan yang katanya telah meninggalkan fungsi utamanya sebagai lembaga perantara keuangan. Banyak kasus pelanggaran ketentuan atau kewajaran perbankan seperti insiders trading, penentuan Libor, serta kegiatan illicit financing dan cybercrimes.

Presentasi saya antara lain untuk menjawab mengapa serta bagaimana mengatasinya melalui manajemen risiko di perbankan. Saya pernah menulis di harian Kompas beberapa waktu lalu mengenai berbagai skandal keuangan dan permasalahan keserakahan (greed) yang berkaitan dengan kasus-kasus tersebut.

Minggu sebelumnya, media dipenuhi dengan berita dan analisis tentang tantangan yang dihadapi bank-bank sentral negara maju. Masalah itu dibahas dalam pertemuan tahunan para penguasa moneter dan ahli ekonomi-keuangan-perbankan dunia di Jackson Hole, Wyoming, AS, diselenggarakan oleh Fedres Kansas City. Pertemuan ini bersifat informal, tetapi selalu menarik perhatian global karena menyangkut bagaimana para gubernur bank sentral dan menteri keuangan serta lembaga multilateral dunia ataupun para ahli ekonomi moneter-perbankan mendiskusikan permasalahan perekonomian dunia dan peran otoritas moneter untuk keluar dari berbagai masalah global akibat resesi yang berkepanjangan atau great recession. Sebagian permasalahan juga didiskusikan dalam pertemuan puncak G-20 di Hangzhou, Tiongkok, yang baru lalu.

Kinerja otoritas moneter negara-negara maju dinilai tidak berhasil mendorong ekonomi negara masing-masing untuk tumbuh memadai, bahkan dalam mendorong laju inflasi ke tingkat yang diinginkan untuk mendorong permintaan yang lesu. Padahal, mereka-Bank Sentral AS (The Fed), Bank Sentral Inggris (BoE), Bank Sentral Eropa (ECB), dan Bank Sentral Jepang (BoJ)-telah melaksanakan kebijakan moneter di luar kelaziman, non-konvensional. Otoritas moneter juga dinilai terlalu berkuasa, sedangkan mereka semua adalah pejabat yang menduduki posisi masing-masing tanpa melalui proses pemilihan yang demokratis. Kritik ini lebih santer karena tumpuan harapan diletakkan pada kebijakan moneter pada waktu kebijakan fiskal sukar diandalkan karena sejumlah alasan.

Suku bunga negatif

Otoritas moneter tampak seperti kehabisan amunisi menghadapi perekonomian yang lemah dalam pertumbuhan, lemah dalam produktivitas, lemah dalam inflasi yang menjadi bagian dari the new normal ini. Buat saya, kebijakan moneter, bahkan dalam versi yang non-konvensional, termasuk suku bunga nominal yang negatif dan pembelian sekuritas bank-bank atau quantitative easing ataupunqualitative easing hanya dapat membantu kebijakan fiskal, tetapi tidak dapat menggantikannya.

Dalam pada itu, implikasi dari pelaksanaan kebijakan moneter non-konvensional-seperti suku bunga yang negatif secara nominal-belum seluruhnya diketahui. Tidak demikian halnya dengan suku bunga negatif dalam arti riil, di mana nilai nominal dikoreksi dengan laju inflasi, yang buat perekonomian tinggi laju inflasinya, sudah banyak terjadi

Benarkah perbankan mengabaikan fungsi pokoknya? Suatu kritik keras terhadap industri keuangan-perbankan yang terutama dilancarkan di AS adalah bahwa mereka dianggap tak memedulikan tugas pokoknya sebagai perantara keuangan (financial intermediary). Bank merupakan lembaga perantara keuangan karena mengumpulkan dan menyimpan dana dari masyarakat dalam deposito dan tabungan dengan memberi bunga sebagai imbalan bagi pemiliknya. Dana tersebut oleh bank disalurkan kepada yang membutuhkannya dalam bentuk pinjaman atau kredit dengan menerima bunga sebagai imbal jasanya.

Apakah lembaga keuangan tidak lagi menjalankan fungsi perantara keuangan tersebut? Tentu bukan demikian. Kritik tersebut dimaksud untuk menunjukkan bahwa bank-bank sekarang tidak sepenuhnya melakukan kegiatan intermediasi. Ada beberapa kecenderungan yang tampak jelas dalam praktik perbankan dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Dalam hal sumber dana perbankan, sejak maraknya proses keuangan yang disebut sekuritisasi, bank mengubah hak tagih kepada nasabah penerima pinjaman menjadi sekuritas atau surat utang. Konkretnya bank menerbitkan surat utang atas dasar tagihan kepada nasabah dari pinjaman yang diberikan sebelumnya. Surat utang ini menjadi sekuritas yang dapat dijual di pasar modal. Salah satu bentuk yang populer adalah sekuritisasi pinjaman hipotik, dikenal sebagai mortgage based securities (MBSs). Tetapi ada banyak ragam assets based securities yang digunakan bank untuk memobilisasi dana. Hasil penjualan sekuritas jadi sumber dana bank.

Dengan demikian, sumber dana bank tidak lagi (hanya) berasal dari deposito dan tabungan, tetapi juga dari hasil penjualan surat utang. Dengan proses ini, fungsi intermediasi menjadi terputus. Istilah teknisnya adalah perubahan darioriginate to hold dalam proses bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, menjadi originate to distribute, di mana hak tagih yang merupakan aset bank dipegang pembeli sekuritas yang banyak dan tersebar. Bank juga meminjam dana kepada bank-bank dan sumber dana lain.

Profesor Admati dari Universitas Standford bersama rekannya, Hellwig dari Jerman, menulis buku yang menunjukkan kecenderungan umum operasi bank dengan mengatakan bahwa dengan proses tersebut perbankan telah mengenakan baju baru. Yaitu pinjaman dijadikan sumber pembiayaan seperti perusahaan. Ini yang menjadi judul buku mereka, The Bankers' New Clothes: What's wrong with banking and what to do about it (2013). Karena kecenderungan semakin banyak pembiayaan kegiatan ekonomi melalui pinjaman (levereging), bank-bank juga melakukan. Namun dalam proses, bank meninggalkan fungsi pokoknya yang berbeda dengan perusahaan biasa.

Sebagai nasabah bank pembaca kiranya merasakan janji bank yang memprioritaskan kepentingan nasabah itu sering hanya menjadi slogan, apalagi bagi yang bukan nasabah prioritas. Secara umum, buku teks yang mengatakan bahwa dalam ekonomi pasar customer is the king itu rasanya semakin tidak ada artinya. Coba Anda mau menghubungi petugas pelayanan konsumen melalui telepon, berapa kali Anda harus tekan tombol sebelum berbicara dengan operator? Setelah tersambung pun, Anda berbicara dengan perusahaan answering service yang disewa (sub-contractor) perusahaan yang Anda ingin berhubungan. Itu pun, mereka tidak memadai menjawab pertanyaan Anda. Begitukah memperlakukan nasabah yang katanya prioritas utama?

Bagaimana dengan fungsi bank sebagai penyedia dan penyalur kredit? Keluhan dari negara-negara maju dalam menghadapi tantangan sangat lambannya laju pertumbuhan ekonomi sejak krisis keuangan dunia 2007/2008 adalah bahwa segala upaya yang dilakukan oleh otoritas moneter untuk mendorong bank-bank menyalurkan kredit ke masyarakat tidak atau sangat kurang dijalankan. Upaya mendorong pertumbuhan meskipun melalui pelaksanaan kebijakan moneter yang non-konvensional tidak berhasil.

ECB dan BoJ bahkan menerapkan suku bunga nominal di bawah nol atau negatif. Ini berarti bank justru membayar bunga untuk menempatkan dananya pada bank sentral. Tentu dengan maksud agar dana yang ada di bank-bank jangan disimpan di bank sentral, tetapi disalurkan ke masyarakat sebagai pinjaman untuk membiayai kegiatan ekonomi masyarakat.

Mengenai suku bunga nominal negatif, teori ekonomi pun menghadapi tantangan. Karena asumsi bahwa suku bunga yang menurun, apalagi sampai negatif menurut prediksi teori harusnya mendorong orang membelanjakan uang mereka. Namun kenyataan tidak demikian. Permintaan tetap lemah justru menurun. Mengapa?

Tidak sesuai prediksi

Tidak pernah dipikirkan bahwa bagi sebagian orang, seperti orang tua dan pensiunan yang harus memikirkan masa depan mereka, menghadapi suku bunga yang menurun berarti pendapatan mereka dari dana tabungan juga menurun. Hal ini dihadapi bukan dengan membelanjakan dananya, melainkan justru menambah tabungan untuk menjamin kehidupan ke depan. Jadi, dorongan meningkatkan permintaan masyarakat tidak tercapai, justru sebaliknya. Itu yang terjadi dan bukan seperti prediksi teori ekonomi.

Secara politis, kritik di masyarakat terhadap industri keuangan di AS-seperti dalam kampanye pemilihan presiden sejak awal para calon menghadapiprimary conventions-bersumber pada peran dan kontribusi dari industri keuangan. Ini yang menurut Rana Faroohar, editor dari majalah Time dalam buku barunya, Makers and Takers: The Rise of Finance and the Fall of American Business (2016), bahwa industri keuangan di AS memegang kekuasaan yang jauh melampaui proporsinya. Menurut Faroohar, industri keuangan yang mewakili 7 persen dari perekonomian dan hanya menciptakan 4 persen lapangan kerja, menikmati 25 persen dari seluruh keuntungan korporasi.

Lebih lanjut dikemukakan Faroohar bahwa sektor finansial justru menjadi kendala (headwind) dan bukan katalis pertumbuhan ekonomi. Ini yang menumbuhkan demonstrasi occupy Wall Street beberapa waktu lalu dan mengapa semua capres dalam pemilihan presiden di AS berjanji memerangi Wall Street.

Bagaimana di Indonesia?

Bahwa ada kecenderungan meningkatnya ketimpangan pendapatan masyarakat sekali-sekali kita mendengar atau membacanya. Data statistik memang menunjukkan kecenderungan tersebut, seperti tampak pada koefisien gini, misalnya. Apakah ini gara-gara perilaku industri keuangan-perbankan? Tidak jelas.

Akan tetapi bagaimana kebijakan otoritas moneter dilakukan atau tidak dilakukan dengan implikasinya yang memberatkan masyarakat sebagai pembayar pajak, sekali-sekali mengemuka, diperdebatkan di berbagai fora dan media sosial.

Misalnya kebijakan penanganan krisis keuangan-perbankan menyangkut penyediaan bantuan likuiditas oleh Bank Indonesia kepada semua bank yang kekurangan likuiditas karena bank runpada waktu krisis keuangan-perbankan 1997/1998 (BLBI) dan penyelamatan Bank Century waktu Indonesia terkena imbas dari krisis keuangan global 2008/2009.

Dalam kaitan ini, sering karena unsur politik dan pada dasarnya rumitnya masalah yang tersangkut dalam kasus-kasus ini banyak yang tidak dapat (mau) membedakan antara bantuan likuiditas BLBI dan bantuan modal buat rekapitalisasi bank-bank yang semua berjumlah lebih dari Rp 600 triliun. Pembiayaannya dilakukan melalui penerbitan obligasi pemerintah dan menjadi beban anggaran negara atau pembayar pajak.

Kebanyakan tak menyadari bahwa dari jumlah itu besarnya BLBI adalah Rp 144 triliun, sedangkan sisanya lebih dari Rp 400 triliun adalah pembiayaan rekapitalisasi bank-bank. Dari jumlah ini, rekapitalisasi bank-bank BUMN berjumlah sekitar Rp 300 triliun, separuh dari nilai keseluruhan obligasi. Pemerintah menanggung beban BLBI dan rekapitalisasi sebagaimana disepakati dan diterima DPR waktu itu dengan menerima saham kepemilikan bank-bank penerima bantuan yang kemudian dijual melalui BPPN kepada investor dalam dan luar negeri.

Pada waktu-waktu tertentu susahnya perbankan didorong menyediakan dan menyalurkan kredit untuk mendorong pertumbuhan juga sering dikeluhkan di masyarakat, atau perbedaan pendapat antara pemerintah dan otoritas moneter. Di satu pihak perbankan menguasai likuiditas yang berlebih, di lain pihak dunia usaha tetap sulit memperoleh kredit perbankan. Perbankan memilih menanamkan dana berlebihnya dalam bentuk sekuritas yang lebih kecil risikonya dari pada menyalurkannya kepada dunia usaha dalam kredit perbankan.

Pada umumnya keluhan terhadap industri keuangan perbankan di Indonesia tak senyaring di negara-negara maju. Ini disebabkan pada umumnya perbankan di Indonesia setelah bangkit dari krisis 1997/1998 menjadi lebih kuat dalam permodalan, bagus dalam portofolionya, baik dalam eksposure-nya maupun dalam kepatuhan terhadap aturan prudensial. Boleh dikatakan perbankan learned the hard way dari krisis 1997/1998, tetapi sedikit demi sedikit menjadi sektor yang kuat dan memadai dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai perantara keuangan. Akan tetapi, industri perbankan dengan seluruh pemangku kepentingannya mudah-mudahan tak mengabaikan berbagai tantangan yang saya sajikan di atas.

J SOEDRADJAD DJIWANDONO

Professor of International Economics International Political Economy Programme S Rajaratnam School of International Studies

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Industri Keuangan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger