Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 18 Oktober 2016

Nasib Pabrik Gula di Jawa (Kompas)

Atas nama efisiensi, pemerintah berencana menutup sejumlah pabrik gula berkapasitas rendah di sejumlah wilayah di Jawa.

Tiga pabrik gula (PG) di Jawa Tengah segera ditutup dalam waktu dekat, dan sebuah tim tengah mengkaji penutupan belasan PG berkapasitas rendah lainnya. Sekitar 10 PG di Jawa Timur kemungkinan menyusul ditutup.

Langkah penutupan PG ini didasarkan pada pertimbangan skala ekonomi. PG dengan kapasitas produksi di bawah 4.000 ton tebu per hari (ton cane per day/TCD) dinilai tak efisien karena biaya operasionalnya tinggi.

PG berskala kecil tersebut umumnya berumur sangat tua, peninggalan Belanda. Menurut data Asosiasi Gula Indonesia tahun 2015, setidaknya terdapat 43 dari 52 PG milik BUMN berkapasitas rata-rata di bawah 2.000 TCD.

Kondisi pabrik gula di Jawa memang sudah lama menjadi sorotan di tengah tertatih-tatihnya upaya swasembada dan ketergantungan yang semakin besar pada gula impor. Program revitalisasi yang setengah hati dan tak tuntas— antara lain terlihat dari penggantian mesin yang tambal sulam—hanya mampu menyelamatkan sejumlah PG, sementara sisanya kemungkinan sulit dipertahankan.

Inefisiensi terjadi, dari hulu hingga hilir. Dari sisi budidaya (on-farm), kurang mendukung bekerjanya PG gula yang efisien. Problem kita antara lain berkurangnya areal budi daya tebu, kian mahalnya sewa lahan, biaya pupuk, dan biaya tenaga kerja. Kita juga dihadapkan persoalan manajemen tebang-angkut dan pemeliharaan yang membuat kualitas tebu menyusut dan tingginya kehilangan gula selama proses pasok tebu dari lahan petani ke PG.

Kadar gula (rendemen) juga sangat rendah, sekitar 7 persen, sulit bersaing dengan Thailand dengan rendemen di atas 10 persen. Dari sisi pengolahan (off-farm), inefisiensi terjadi karena PG, yang mayoritas BUMN, diisi mesin-mesin tua dengan kapasitas rendah dan dihadapkan pada defisit tebu sehingga sulit mencapai skala ekonomi efisien. Belum lagi bahan bakar yang masih menggunakan BBM mahal.

Kebijakan pemerintah sendiri sering kali tak berpihak pada industri gula dalam negeri, dan sering tak sejalan dengan komitmen swasembada dan ketahanan pangan. Contohnya, obral izin impor raw sugar secara besar-besaran, sementara revitalisasi dan penataan industri gula dalam negeri setengah hati. Belum lagi egosektoral antarinstansi.

Menutup PG menjadi isu sensitif karena tidak hanya menyangkut isu ekonomi, tetapi juga persoalan sosial, dengan ribuan pekerja yang terlibat di dalamnya.

Oleh karena itu, seyogianya penutupan PG tak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya transformasi serta solusi dan penataan menyeluruh industri gula dalam negeri, karena lambat atau cepat sulit mempertahankan PG yang ada, tanpa upaya mengubah format bisnisnya. Transformasi PG menjadi industri berbasis tebu dengan produk hilir bernilai ekonomi tinggi bisa menjadi pilihan lain selain menutup.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Nasib Pabrik Gula di Jawa".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger