Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 18 Oktober 2016

TAJUK RENCANA: Kebijakan Pendidikan Vokasi (Kompas)

Membengkaknya jumlah lulusan sekolah menengah kejuruan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya "salah urus" dalam praksis pendidikan vokasi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2014 persentase pengangguran lulusan SMK lebih rendah daripada lulusan SMA. Namun, tahun 2015, persentasenya lebih tinggi daripada lulusan SMA, begitu juga pada tahun 2016. Tingkat pengangguran lulusan SMK menjadi 9,84 persen atau 1,35 juta orang, sementara persentase pengangguran lulusan SMA turun menjadi 7,22 persen.

Ada "salah urus" manajemen. Tidak hanya di tingkat proses pendidikan yang berakibat pada pengangguran, tetapi juga di tingkat kebijakan. Dalam hal ini kita dukung dua dari empat tugas pokok Presiden Joko Widodo ke Mendikbud Muhadjir Effendy, pemberesan soal Kartu Indonesia Pintar dan pendidikan vokasional.

Rencana peningkatan jumlah rasio SMK terhadap SMA menjadi 55:45 hingga 60:40—saat ini baru 50:50—tanpa membereskan infrastruktur di tingkat kebijakan dan pelaksanaan, kita sebut salah satu bentuk "salah urus".

Dengan jumlah 13.552 SMK saat ini, 10.084 di antaranya swasta, menunjukkan pendidikan vokasi berstatus "kelas dua". Dengan sikap mengisi apa yang belum/tidak dicukupi pemerintah, swasta sekadar komplementer. Serba swasta pun dianggap bukan mitra sekolah negeri, lantas dihapus persyaratan lulusan SMK tak harus masuk dunia kerja minimal dua tahun sebelum masuk perguruan tinggi.

Mengatasi dengan memperbanyak SMK swasta dan SMK negeri, dampak negatifnya sudah terlihat. Untuk membongkar kebijakan "salah urus", perlu dibongkar pola pikir, bahwa penambahan jumlah SMK bukanlah solusi maknyus tanpa dibarengi sejumlah persyaratan.

Syarat itu tidak hanya keputusan penambahan unit cost siswa SMK, idealnya dua kali SMU, berikut turunannya seperti biaya pemagangan dan pengadaan guru, tetapi juga kerja sama sinergis dengan dunia kerja/pengguna. Tanpa itu, SMK hanya menghasilkan lulusan serba kagok. Kagok masuk perguruan tinggi, kagok masuk dunia kerja.

Perlu dikembangkan desain ideal pendidikan vokasi agar menjadi alternatif bagi mereka yang memilih langsung bekerja. Perubahan pola pikir menyangkut tiga bentuk pendidikan vokasi saat ini terdiri atas tiga bentuk kelembagaan formal dan nonformal, meliputi SMK, politeknik, akademi komunitas, dan balai latihan kerja.

Tanpa kerja sama sinergis yang diawali perubahan pola pikir akan eksistensi pendidikan vokasi, yang terjadi hanya memperbanyak penganggur lulusan SMK. Kerja sama antara Kemdikbud, Kementerian Riset dan Dikti, industri, bahkan pengguna lainnya adalah syarat mutlak.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Kebijakan Pendidikan Vokasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger