Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 30 November 2016

TAJUK RENCANA: Wacana Penghapusan UN (Kompas)

Wacana menghapus ujian nasional kembali bergulir. Menghentikan kebijakan nasional yang mendadak ibarat menaruh bola api.

Perumpamaan itu rasanya tepat terkait dengan rencana penghapusan ujian nasional (UN) mulai tahun 2017. Ada tiga opsi yang akan dibicarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Presiden Jokowi. Opsi itu meliputi penghapusan UN dari sistem pendidikan nasional, penghentian sementara UN pada 2017, dan meneruskan UN yang pelaksanaannya diserahkan ke daerah.

Lontaran rencana itu dikomentari berbagai pihak, pro versus kontra, dilengkapi argumentasi plus dan minusnya, kaitan praktis pragmatisnya, dengan tujuan dari sisi pedagogisnya.

Penundaan, artinya jangan dihentikan dulu pada tahun 2017, kita rasakan tawaran pilihan minus malum,lebih baik dari yang jelek. Pilihan itu didasarkan atas keadaan faktual UN telah menjadi sistem evaluasi yang integral dengan proses pendidikan. Di sisi lain, UN telah menciptakan ketakutan berlebihan peserta didik, yang secara ekstrem bisa membuat sekolah fokus pada mata pelajaran yang diujikan secara nasional serta membuka peluang ketidakjujuran.

Dalam kondisi di atas, penundaan rencana moratorium UN sebagai pilihanminus malum, apa yang perlu ditindaklanjuti dengan tiga opsi di atas? Dengan penundaan itu, kita berikan suasana yang tenang kepada pihak sekolah, guru, dan peserta didik. Biarkan pihak-pihak itu tenang mempersiapkan UN tahun ini. Kita hindari perubahan-perubahan kebijakan yang mendadak.

Bagi sejumlah pihak, UN dinilai tidak sesuai dengan berbagai alasan. Dengan kondisi serba majemuk Indonesia, UN tidak bisa dijadikan alat ukur mutu pendidikan secara nasional. Karena itu, UN yang multiparameter sekarang ini perlu dikaji ulang.

Dalam konteks pedagogis, evaluasi integral dengan praksis pendidikan, idealnya guru dan sekolahlah yang menjadi pelaksana evaluasi. Namun, ketika UN dihapus dan diganti ujian sekolah (US), terbentang pula potensi ketidakjujuran di lembaga pendidikan. Kita punya pengalaman memberlakukan ujian sekolah.

Menerapkan opsi pertama dan opsi ketiga butuh persiapan panjang, sangat terkait dengan kondisi masyarakat yang memang masih hidup dengan penyakit-penyakit mental, seperti pernah disinyalir Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis.

Karena itu, langkah terpenting saat ini adalah ciptakan kondisi yang kondusif positif untuk keberlangsungan ideal praksis pendidikan. Tidak perlunggebrak-nggebrak.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Wacana Penghapusan UN".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger