Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 11 Februari 2017

Audit Sistem Pengadaan Alutsista (DEDI HARYADI)

Sistem pengadaan alat utama sistem persenjataan kita harus segera diaudit. Jika klaim Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu benar, sistem pengadaan alutsista kitabukan hanya lemah, melainkan juga kacau.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Senin (6/2), keduanya mengaku tidak tahu tentang pengadaan heli AW 101 senilai 55 juta dollar AS yang dibeli TNI AU (Kompas, Selasa 7/2).

Mengapa Panglima TNI dan Menhan sampai tidak tahu? Apakah berarti mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatnanyelonong beli heliAW 101 sendiri? Seriuskah keduanya tidak tahu ataumereka sedang mempraktikkantradisi penyangkalan? Tradisi ini kerap dipraktikkan para pejabat jika ada kekisruhan dalam suatu urusan.

Pengadaan heli AW 101 merupakan kisruh pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) terbesar dalam periode Presiden Joko Widodo. Ketidaktahuan keduanya harus kita ungkit karena ini membahayakan negara. Jika sistem pengadaan alutsista kita lemah dan kacau, probabilitas terjadinya pemborosan dan korupsi sumber daya keuangan kita akan sangat tinggi. Itu sama saja dengan menggadaikan kedaulatan dan keamanan negara, keamanan dan keselamatan warga, serta kesejahteraan dan keselamatan prajurit.

Kerangka normatif

Jika merujuk kerangka normatif yang ada, pertama, tidak seharusnya keduanya tidak tahu rencana dan pelaksanaan pembelian heli AW 101 ini. Panglima TNI dan Menhan, berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Industri Pertahanan, adalah anggota Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Dua di antara tugas dan wewenangKKIP menetapkan kebijakan pemenuhan alutsista dan sinkronisasi penetapan kebutuhan alutsistaantara pengguna dan industri pertahanan (Pasal 21). Siapa pengguna di sini, ya, di antaranya TNI: semua angkatan.

Kedua, Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan di Lingkungan Kemhan dan TNI—khususnya Pasal 12 tentangMenhan sebagai pengguna anggaran (PA), dan Pasal 27 tentang rencana umum pengadaan alutisista TNI—tak memungkinkan mantan KSAUnyelonong, jalan sendirian memutuskan pengadaan heli AW 101. Demikian juga Peraturan Bersama Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.03/2013 dan Menteri Pertahanan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara di Lingkungan Kemhan/TNI,Pasal 9Ayat (1) menyebutkan, kuasa penggunaan anggaran (KPA)—Panglima TNI, kepala staf semua angkatan dan lainlain—harus mempertanggungjawabkan semua pelaksanaan kegiatan dan anggarannya (yang di bawah penguasaannya) kepada PA.Pelaksanaan tanggung jawab KPAdilakukan di antaranya dalam bentuk mengesahkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana.

Jadi, tampaknya beleidtentang pengadaan alutsista, industri pertahanan, dan mekanismepelaksanaan anggaran belanja di lingkungan Kemhan/TNI ini tidak dihiraukan dalam praktik pengadaan heli AW 101.

Tantangan bagi presiden

Kisruh pengadaan heli AW 101 memaksa kita mengaudit sistem pengadaan alutsista. Dengan audit ini nanti kita bisa mendapatkan gambaran tentang kerangka sistem, bekerjanya sistem dan rekomendasi bagaimana supaya sistem lebih andal, efisien, dan efektif. Dalam konteks kerangka sistem, misalnya, kita perlu memeriksa dan mengujiefektivitas kerangka hukum dan organisasi, kewenangan, proses pengambilan keputusan, dan proses bisnis pengadaan alutsista. Termasuk di dalamnya mengidentifikasi dan memetakan risiko korupsi dalam proses bisnis pengadaan alutsista.Inisiatif dan perintah untuk mengaudit sistem pengadaan alutsista sebaiknya datang dari Presiden Jokowi.

Selain memerintahkan pengauditan sistem pengadaan alutsista, sebaiknya Presiden Jokowi juga mengambil langkah berikut. Pertama, menginstruksikan investigasi skandal pengadaan heli AW 101 secara menyeluruh. Kemudian, hasil investigasi ini dipublikasikan kepada masyarakat. Kalau ada pelanggaran tindak pidana, segera adili.

Kedua, mencari kandidat menteri pertahanan dan panglima TNI yang baru yang lebih mendukung dan mampu melaksanakan visi presiden dalam membangun sektor pertahanan dan keamanan. Kalau bersedia mengambil langkah ini, selain akan melegenda, juga akan menjadi modal politik untuk kontestasi politik berikutnya.

DEDI HARYADI, DEPUTI SEKJEN TRANSPARANSI INTERNASIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Audit Sistem Pengadaan Alutsista".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger