Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 08 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Stop Politik Uang‎ (Kompas)

Sepekan lagi, pemilihan kepala daerah digelar serentak. Kian dekat pencoblosan, kian gencar pula biasanya politik uang digelontorkan. Perlu diwaspadai.

Hasil pemetaan Badan Pengawas Pemilu tentang potensi kerawanan pilkada sampai tingkat tempat pemungutan suara (TPS) yang dipublikasikan Januari lalu menunjukkan, politik uang menempati posisi teratas dalam sisi kerawanan dibandingkan dengan empat aspek lain, yaitu persoalan data pemilih, ketersediaan logistik, keterlibatan penyelenggara negara, dan prosedur.

Masyarakat juga masih banyak yang kompromistis terhadap praktik politik uang. Hasil survei Badan Pengawas Pemilu dan lembaga Founding Fathers House menunjukkan, 61,8 persen responden mengatakan akan menerima pemberian uang peserta pilkada. Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan dua tahun terakhir, bahkan dalam tujuh tahun terakhir.

Fenomena ini tentu perlu mendapat perhatian semua pihak. Pilkada yang diwarnai politik uang akan berkorelasi dengan kualitas pemimpin yang dihasilkan. Seorang calon dipilih tidak lagi karena faktor integritas dan kapabilitas, tetapi hanya karena lembaran uang kertas.

Padahal, bangsa ini membutuhkan semakin banyak kepala daerah berintegritas. Sejak 1999 hingga 2016, sudah ada 357 kepala dan wakil kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, mayoritas terkait kasus korupsi.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang merevisi UU sebelumnya, sebenarnya sudah lebih tegas mengatur sanksi politik uang. Calon yang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih, dalam Pasal 73 Ayat (2) disebutkan dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon. Bagi tim kampanye, dalam Pasal 73 Ayat (3) dapat dikenai sanksi pidana.

Pasal 187A Ayat (1) juga menegaskan, setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih agar memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu akan dipidana penjara paling singkat 36 bulan, paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp 200 juta, paling banyak Rp 1 miliar.

Bawaslu menjanjikan akan memonitor segala praktik politik uang. Namun, upaya itu tidak akan cukup mengingat luasnya wilayah. Dengan adanya aturan yang tegas ini, saatnya semua bergerak untuk melaporkan berbagai praktik politik uang. Keberanian 40 juta pemilih untuk menolak tawaran politik uang akan sangat menentukan.

Hentikan. Jangan teruskan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Stop Politik Uang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger