Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Di tengah gejala menguatnya politik identitas, politik kebencian, tergerusnya persatuan dan kebinekaan, pemerintah me- ngampanyekan Pekan Pancasila.
Acara yang berlangsung 29 Mei-4 Juni itu diselenggarakan bersamaan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni. Peringatan kelahiran Pancasila berdasarkan pidato Ir Soekarno dalam Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 yang membawa pesan futuristik dan imperatif. Pancasila merupakan titik temu kebinekaan Indonesia dengan nilai-nilai yang digali dari bumi pertiwi.
Dalam sejarah kehadirannya, Pancasila berkali-kali mengalami turbulensi. Puluhan tahun dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan, setelah reformasi sayup-sayup terdengar dalam lingkaran perbincangan publik, bahkan nyaris dilupakan. Beberapa tahun kemudian, mulai disadari betapa Pancasila kaya dan sarat makna.
Kehadiran berbagai lembaga pengkajian Pancasila, dan terbitnya buku-buku tentang Pancasila, menunjukkan masih ada gairah terus menghidupkan Pancasila. Dari sisi rumusan kata-kata dan kalimat, Pancasila dengan kelima silanya, sudah selesai. Namun, sebagai ideologi yang terbuka, Pancasila menuntut pemaknaan baru yang aktual dan practicable.
Jajak pendapat Litbang Kompas, 24-26 Mei 2017, menunjukkan 43,6 persen responden menjawab Pancasila adalah faktor perekat atau penyatu bangsa. Karena itu, nilai yang terkandung dalam kelima sila tidak cukup dirumuskan (norma normata), tetapi harus dikembangkan menjadi norma normans(norma yang hidup dan menjadi pola pikir).
Kelima sila itu perlu menjadi etos kerja hidup berpemerintahan dan bernegara. Pancasila adalah fakta historis yang harus dihidupi. Dalam keadaan sehari-hari, eksistensi Pancasila kurang dijadikan perekat. Pancasila hanya dijadikan jargon politik, tidak menyatu dengan napas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila belum menjadi ideologi yang bekerja. Dalam kondisi demikian, dengan mudah masuk ideologi yang berseberangan. Dan ketika semua serba terbuka dan mengglobal, berbagai ideologi menawarkan diri (dipaksakan) jadi rujukan, tanpa sengaja eksistensi ideologis Pancasila terancam.
Pekan Pancasila perlu ditindaklanjuti dengan berbagai langkah strategis dan konkret. Tampilkan tata cara berpolitik yang jauh dari sekadar berburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Jangan biarkan generasi penerus terbiasa menyaksikan kehidupan tanpa keteladanan pejabat publik dan elite politik.
Kampanye "Saya Indonesia, Saya Pancasila" tanpa tindak lanjut berpotensi jadi jargon politik. Proses inisiasi nilai Pancasila pun menjadi mubazir.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Saya Indonesia, Saya Pancasila".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Sejak Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS, sebetulnya Eropa menunggu dengan waswas akan seperti apa bentuk hubungan Trans-Atlantik.
Pada masa pemerintahan Barack Obama, hubungan itu demikian hangat dan solid. Sejumlah ucapan Trump yang menyudutkan Uni Eropa dan mengecilkan peran sejumlah pemimpinnya, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel, ditanggapi dengan dingin sabar. Trump, misalnya, memuji langkah Brexit yang dilakukan Inggris dan berharap negara lain mengikuti langkah Inggris. Trump juga menyebut NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) sebagai "usang", mendukung tokoh-tokoh populis yang rasis di Eropa, dan banyak lagi.
Dalam KTT G-7 pekan lalu, para pemimpin Eropa akhirnya menyaksikan bahwa presiden AS ini memang tidak bisa lagi diandalkan. AS menolak mendukung Kesepakatan Paris terkait perubahan iklim, dengan alasan merugikan dunia industri di AS. Ini merupakan langkah mundur karena AS dan 196 negara lainnya menandatangani kesepakatan itu pada tahun 2015. Sebaliknya, keenam negara lainnya dalam G-7 bersikukuh untuk mendukung dan mengimplementasikan kesepakatan yang mencoba mengurangi tingkat emisi karbon di dunia.
Sikap "mementingkan diri sendiri" juga terlihat dalam KTT NATO. Trump tidak dengan tegas mendukung Article 5 tentang pertahanan kolektif, yang menyatakan semua anggota akan mendukung jika salah satu anggotanya diserang. Ini sudah pernah diterapkan sewaktu AS dihantam serangan teroris pada 11 September 2001. Trump justru meminta para anggota NATO membayar kontribusi sebesar 2 persen dari produk domestik bruto mereka.
Tak heran jika Eropa bereaksi "cukup sudah". Merkel menegaskan, sudah waktunya Eropa berdiri di kaki sendiri dan tak mengandalkan AS. Pernyataan Merkel yang dikenal berhati-hati ini mengejutkan Washington ataupun para mitranya di Eropa. Namun, Merkel ingin Eropa membuka mata bahwa AS tidak lagi menjadi mitra yang bisa diandalkan.
Apa yang terjadi menunjukkan bahwa bentuk kemitraan Trans-Atlantik yang dibangun sejak akhir Perang Dunia II besar kemungkinan akan berubah. Tepatnya, sengaja diubah oleh Trump yang bermimpi ingin mengubah peta politik dunia sesuai keinginannya, demi keutamaan Amerika Serikat. Ia memilih menelantarkan para sekutu tradisionalnya dan sebaliknya berupaya keras merangkul negara-negara yang tak menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam negerinya.
Ke arah mana perubahan ini akan berjalan, mungkin juga Trump tidak mengetahuinya. Namun, satu hal pasti, ia tidak bisa berharap bahwa AS akan seterusnya dianggap sebagai "pemimpin global" ketika satu demi satu sekutu meninggalkannya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Akhir Bulan Madu Trans-Atlantik".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Program peta desa resolusi tinggi terancam mandek (Kompas, 27/5/2017).
Padahal, informasi spasial menjadi basis rekognisi desa yang berujung perencanaan pembangunan desa, kawasan regional, hingga wilayah prioritas nasional. UU No 6/2014 tentang Desa menerjemahkan rekognisi antara lain berupa dana desa. Syarat utamanya, terdaftar di Kemendagri. Registrasi dijalankan untuk memenuhi konsep wilayah pemerintahan sehingga mesti melampirkan peta desa, jumlah penduduk, dan struktur organisasi pemerintahan desa.
Keputusan Mendagri menetapkan 74.954 desa penerima dana APBN 2017 itu sekilas lancar. Apalagi, koordinat desa terbuka dicek pada www.prodeskel.binapemdes.kemendagri.go.id. Sayang, koordinat itu hanya merujuk lokasi balai desa. Tak ada kompilasi koordinat garis poligon batas desa. Luas desa yang tertera pun sekadar dihitung dari sketsa desa. Presisinya terlalu longgar, lantaran didasarkan batas-batas perkiraan mata memandang bentang geografis sungai, bukit, lembah, hutan kecil, atau jalan yang berubah-ubah.
Warisan peta-peta desa selama ini lazim disusun sepihak sehingga lokasi desa kerap tumpang tindih kala digabungkan ke wilayah kabupaten. Kesalahan pemetaan terakumulasi sampai tingkat nasional tiap kali diselenggarakan Sensus Potensi Desa. Hasilnya, total luas desa melejit empat kali lipat wilayah negara dan jumlah penduduk berlipat dua. Data ini jelas tidak valid sehingga BPS enggan memublikasikan kepada khalayak.
Menyelesaikan pemetaan
Kelemahan pemetaan desa di lapangan kian disadari saat sulit mengimplementasikan Permendagri No 45/2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa. Hanya 4.150 batas desa disepakati dan ditetapkan secara resmi oleh pemda. Artinya, peluang penyusunan peta dan luas desa yang sahih baru 6 persen. Rendahnya validitas batas desa menggoyahkan sendi-sendi keadilan pembangunan.
Penyebabnya, luas desa berikut kepadatan penduduknya jadi basis kalkulasi rincian dana tiap desa oleh Kemenkeu, patokan kemajuan wilayah perdesaan menjadi perkotaan oleh BPS, serta penghitungan alokasi program pembangunan desa dari kementerian dan pemerintah daerah.
Jika peta citra tegak resolusi tinggi dengan skala 1:5.000 disebut terlalu mahal oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), sesungguhnya Permendagri No 45/2016 Pasal 12 membuka alternatif penggunaan peta rupabumi Indonesia. Ini lebih murah, karena sejak tahun 2000 BPS berhasil membagi habis rupabumi jadi poligon seluruh desa.
Peta desa itu diperbarui tiap Sensus Potensi Desa, seperti pada 2003, 2005, 2008, 2011, dan 2014. BPS mencatat, peta desa-desa di Aceh paling sering berubah sejalan hilang dan munculnya desa baru. Peta ini mudah diperbarui guna menampung 94.954 desa saat ini. Garis poligon pada peta menjadi penanda koordinat batas puluhan ribu desa yang mustahil bertumpang tindih.
Maka, percepatan penyusunan peta segenap desa sekaligus implementasi Permendagri No 45/2016 masuk akal dimulai dari peta BPS yang sudah eksis. Pembahasan peta desa di tiap kabupaten perlu mempertemukan pemerintah desa, pemda, Kemendagri, Kemendesa PDTT, BIG, dan BPS. Tujuannya, mengevaluasi validasi batas desa dari peta itu sekaligus menetapkan peta tiap desa secara definitif.
BIG mendapat tugas besar menyajikan peta rupabumi Indonesia mutakhir berpresisi tinggi. Sebab, ketika ditimpakan pada peta lebih baru dari Google Map versi berlangganan, sebagian titik-titik peta rupabumi melenceng. Pernah ditemukan batas desa-desa menjauh hingga 200 kilometer. RT, RW, hingga desa yang bersebelahan dengan laut mengalami kerugian terbesar lantaran dicurigai tak memiliki luas wilayah, lalu kalis dari alokasi pembiayaan pembangunan.
Dengan membagi habis wilayah Nusantara, peta desa ala BPS sekaligus memasukkan wilayah kehutanan dan pertambangan. Padahal, kawasan khusus ini terlarang tercakup sebagai desa. Maka, BPS, BIG, Kemendagri, dan Kemendesa PDTT perlu mengundang Kementerian LH dan Kehutanan serta Kementerian ESDM guna memisahkan wilayah hutan dan pertambangan dari batas-batas desa.
Peta citra tegak resolusi tinggi untuk desa sebenarnya gampang disediakan dengan sangat murah. Eksperimen Adi Sucipto Aji melalui langganan Google Map menghasilkan skala peta yang sangat rendah, jelas, bahkan berujud tiga dimensi bagi desa-desa terpencil di Kalimantan hingga Papua. Big datamampu pula disertakan ke setiap desa sehingga mengundang warga berpartisipasi mengunggah foto sudut-sudut desa, film ringkas, serta testimoni kepuasan layanan pemerintah desa dan warga. Kelemahannya, informasi menarik desa Indonesia bakal tersimpan di serverGoogle di luar negeri.
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN IPB BOGOR
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Menyelesaikan Peta Desa".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Bisa dimaklumi kalau Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly kecewa dan marah besar atas tragedi di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kota Pekanbaru, yang dikenal sebagai Rutan Sialang Bungkuk. Di saat Kementerian Hukum dan HAM sedang mereformasi birokrasi terjadi berbagai indikasi penyelewengan.
Dari pungutan liar pada beberapa bentuk layanan, jumlah tahanan yang melebihi kapasitas, dan kekurangan jumlah petugas, membuat tahanan melarikan diri massal. Dengan kapasitas maksimal 350 orang ternyata jumlah tahanan mencapai 1.870. Sementara jumlah petugas jaga hanya 8 orang. Inilah masalah utama yang memicu berbagai masalah lain.
Belum lagi pengakuan beberapa anggota masyarakat bahwa telah terjadi pungutan liar pada tahanan dalam beberapa bentuk layanan, seperti untuk penerimaan tamu/kunjungan, pindah blok, dan kesempatan menelepon. Menurut saya, kita harus berhati-hati mengenai hal itu karena pelakunya adalah oknum. Karena itu, yang harus digarisbawahi adalah apa yang terjadi di Rutan Sialang Bungkuk belum tentu terjadi di lapas dan rutan lain.
Tentang jumlah tahanan yang melebihi kapasitas dan kurangnya jumlah petugas, menurut saya, itu masalah klasik. Kondisi di Rutan Sialang Bungkuk: kapasitas 350 orang dihuni 1.870, tentu sangat tidak realistis.
Oleh karena itu, terkait dengan tragedi yang telah terjadi, tidak hanya pemerintah daerah yang harus bertanggung jawab, tetapi juga pemerintah pusat. Meski demikian, mohon kiranya kesalahan tidak sepenuhnya dibebankan kepada pegawai di lapangan.
UNTUNG SUMEDI, SH
Dusun 004, Desa Gebang, Kabupaten Cirebon
Beli Rumah
Saya membeli rumah pertama dan membayar bea perolehan hak atas tanah atau bangunan (BPHTB) Rp 36 juta ke Bank DKI pada 21 Oktober 2016.
Beberapa hari kemudian keluar Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2016 tentang pembebasan BPHTB Pertama dan Waris. Keputusan berlaku sejak diundangkan, 21 Oktober 2016.
Saya meminta bantuan notaris mengurus pengajuan pembebasan dan pengembalian pajak yang telah dibayarkan. Namun, Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) Pasar Rebo mengatakan tidak bisa memproses. Alasannya, implementasi pergub berlaku mulai 22 Oktober 2016, bukan 21 Oktober 2016.
Pada 9 Desember 2016 saya mendatangi kantor UPPD Pasar Rebo untuk klarifikasi dengan membawa berkas lengkap sesuai daftar dalam pergub. Namun, sampai Desember 2016 saya masih belum juga mendapatkan kabar dari UPPD Pasar Rebo.
Ketika saya menelepon UPPD (021-8710233), katanya ada yang perlu dilengkapi. Setelah melengkapi berkas, terbitlah SK Pembebasan 100 persen atas BPHTB Nomor 1985/2016 pada 19 Desember 2016, ditandatangani Kepala UPPD Pasar Rebo H Maitono Adi Tunggal.
Namun, setelah SK terbit, saya masih diminta membuat surat permohonan restitusi, padahal surat sudah saya lengkapi saat pemberian berkas pertama kali. Akhirnya saya buat lagi surat itu dan menyerahkannya pada 22 Desember 2016. Seminggu kemudian saya diminta datang untuk proses validasi SSPDBPHTB.
Pada 7 Februari 2017 terbit SK PDLB 01170210110020002. Dalam SK tercantum jatuh tempo pengembalian BPHTB saya adalah 7 April 2017. Namun, sampai 7 April tidak ada kabar.
Saya kembali mendatangi UPPD Pasar Rebo. Dijawab masih ada kekurangan berkas, yaitu membuat perhitungan pajak terutang wajib pajak dan beberapa berkas lain, termasuk kartu keluarga. Padahal, semua berkas itu sudah saya serahkan saat pertama kali ke UPPD Pasar Rebo.
Lelah bolak-balik, saya datang ke UPPD Pasar Rebo dan minta diberi rincian yang sebenarnya agar bisa saya lengkapi. Pada 10 April 2017 saya ke UPPD Pasar Rebo melengkapi berkas. Saya heran, mengapa selalu muncul berkas persyaratan baru setiap saya ke UPPD Pasar Rebo.
Karena belum juga ada kabar, saya ke UPPD Pasar Rebo lagi pada 8 Mei 2017. Mereka beralasan butuh konfirmasi dari Badan Pertanahan Nasional untuk proses selanjutnya.
Saja juga ke BPN Jakarta Timur. Tidak sampai 2 jam, saya sudah mengetahui bahwa kepemilikan sertifikat adalah atas nama saya dan benar ini rumah pertama.
Selama kurang lebih 7 bulan saya mengurus keperluan ini dalam kondisi serba tidak jelas, dengan proses panjang, bertele-tele, dan terkesan dibuat-buat.
Mohon penjelasan pihak-pihak yang terkait.
ANTONIUS WIWIT M
Kp Asem, Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Tragedi Rumah Tahanan".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Dua laporan tentang industri gula di Kompas, Senin (15/5), menyiratkan sengkarut industri gula yang semakin ruwet dan parah. Nasib petani tebu rupanya tidak pernah beranjak dari keterpurukannya.
Tahun 1983 Kompas memuat serial tulisan "Kemelut Industri Gula". Pada bagian pertama, tulisan berjudul "Ada Tangis di Balik Gemerlapnya PG" (Kompas, 7 November 1983). Kini, setelah hampir 34 tahun tulisan itu dimuat, ternyata "Derita Petani Tebu Kian Parah".
Penutup tulisan tahun 1983 itu berbunyi: "Kemelut industri gula sudah cukup runyam dan lama berjalan. Jika tidak ditangani secara cepat dan tepat, impor gula bisa membengkak dan rencana berswasembada akan tetap impian kosong".
Puluhan tahun
Tahun 1987, Kompas menurunkan lagi serial "Simfoni Industri Gula" dengan tiga tulisan berjudul "Terjebak di Tanahnya Sendiri", "Keberhasilan Itu Meminta Korban", dan "Pergunjingan Terus Berlangsung".
Selanjutnya ada tulisan "Industri Gula Nasional: Dibiarkan Mati ataukah Dipertahankan" (Wayan R Susila, 10 November 2001), dan "Nyawa Pabrik Gula Digantungkan di Tangan Petani" (Andreas Maryoto, Kompas, 29 Mei 2002). Dalam buku Dari Ladang sampai Kabinet, Menggugat Nasib Petani (JA Noertjahyo, Penerbit Buku Kompas, 2005) pun dimuat sebuah bab berjudul "Manisnya Gula, Pahitnya Petani".
Selain memaparkan kondisi pergulaan kita, hampir semua tulisan itu juga memberikan masukan tentang cara-cara yang bisa ditempuh untuk memperbaiki industri gula.
Pemerintah melalui Departemen Pertanian memang sudah berbuat banyak untuk membenahi industri gula. Namun, dengan memperhatikan kenyataan yang ada pada saat ini, berbagai pertanyaan muncul.
Laporan wartawan Kompas, 15 Mei, di antaranya berbunyi: "Saat ini, petani yang memanen lebih awal, seperti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, hanya mendapat 500-600 kuintal per hektar dari biasanya 700 kuintal per hektar. Rendemen hanya 5,5 persen, jauh dari kondisi ideal di atas 7,5 persen." Hablur gulanya pun hanya sekitar 33 kilogram/hektar. Sungguh memprihatinkan.
Dibandingkan data-data beberapa dekade perjalanan industri gula, kenyataan itu memang memilukan. Seperti produksi tebu/ rendemen 1930 (130,6/14,76), 1940 (137,8/12,79, 1950 (88,3/ 10,59), 1960 (82,3/10,89), 1970 (96,4/9,06), 1980 (72,8/9,00), dan 1990 (76,9/7,55). Praktis produktivitas lahan dan tingkat rendemen rata-rata kurang dari separuh dengan kecenderungan terus merosot.
Dari ladang
Produktivitas lahan dan tingkat rendemen ditentukan mulai dari ladang. Waktu dan cara menggarap lahan harus benar dan tepat. Demikian juga waktu tanam, memupuk, mengairi, klenthek, sampai saat tebang pada kematangan puncak. Kualitas bibit dan kesuburan lahan juga sangat menentukan.
Menurut John Vermeer, dulu Kepala Bagian Tanaman PNP XX/Gula, menanam tebu perlu disiplin ketat pada semua tahapan. Ini dia buktikan saat meningkatkan produktivitas pabrik gula (PG) di Madiun dan sekitarnya pada 1975. Dokumen perusahaan menyebutkan, produksi hablur per hektarnya, PG Kanigoro 151,9 kuintal, PG Sudhono 150,8 kuintal, PG Pagottan 150,3 kuintal, dan PG Purwodadi 135,6 kuintal. Karena itu, empat PG di Madiun dan sekitarnya yang bernaung di bawah PNP XX berturut-turut menduduki tempat teratas dalam keunggulan produksi di antara PG-PG seluruh Indonesia (Kompas, 26 Juni 1983).
Atas prestasinya yang gemilang, John Vermeer menerima penghargaan dari Menteri Pertanian Prof H Thoyib Hadiwidjaja.
John Vermeer juga mengingatkan, cara menebang tebu pangkalnya harusmbuntut tikus dan kotorannya (pelepah daun, tanah, dan lain lain) harus dibersihkan. Tebu harus segera diangkut dan dalam waktu 24 jam tebu sudah masuk penggilingan. Jika lebih dari 24 jam, kandungan gula tebu mulai berfermentasi dan menurunkan tingkat rendemen.
Tanaman tebu sebaiknya hanya dikepras maksimal dua kali. Lebih dari dua kali kandungan gulanya sudah jauh merosot. Jika kita perhatikan, saat ini banyak petani yang mengepras sampai empat kali atau lebih.
Perlakuan saat tanam sampai tebang juga asal-asalan, bahkan banyak yang baru masuk penggilingan setelah tiga hari (atau lebih) dari saat tebang. Di beberapa PG terlihat antrean truk pemuat tebu berderet-deret, ada yang harus menginap lebih dari semalam untuk masuk ke mesin penggilingan. Akibatnya, rendemen turun. Semakin lama antre semakin besar rendemen turun.
Bibit dan pupuk
Sudah puluhan tahun petani kesulitan mendapatkan bibit varietas tebu unggul. Akibatnya, banyak petani yang menanam bibit seadanya dengan panenan yang kurang baik. Karena itu, salah satu rekomendasi Rakernas APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia) di P3GI Pasuruan 12-13 Mei 2017, adalah terpenuhinya bibit tebu varietas unggul yang selama ini tidak mudah didapat (Kompas, 16 Mei 2017).
Rekomendasi lain tentang perbaikan permodalan, infrastruktur pengairan, kuota impor, serta revitalisasi pabrik gula, dan tanaman tebu. "Itu tanggung jawab negara," ujar HM Arum Sabil, Ketua Umum Dewan Pembina Pengurus Pusat APTRI.
Jika disimak, semua rekomendasi merupakan persoalan lama yang dihadapi dan belum pernah ada penyelesaian yang tepat.
Kondisi yang berlarut ini, secara implisit tersirat dalam judul berita Kompas, 17 Mei 2017, halaman 22: "Revitalisasi Industri Pabrik Gula Mendesak", dengan intro: "Tidak ada jalan lain mengembalikan kejayaan petani tebu dan industri gula nasional selain merealisasikan program revitalisasi yang sudah digagas lebih dari 40 tahun. Diperlukan sinergi yang kuat dari semua pihak yang terlibat dalam industri pergulaan nasional dan mengesampingkan ego sektoral."
Selama itu, apa yang kita lakukan? Semoga kita-terutama mereka yang terlibat dalam industri gula-mencapai kesadaran penuh dan bangkit untuk berbuat secara tepat. Biarlah gula terasa manis untuk semua pihak.
JA NOERTJAHYOWARTAWAN SENIOR; PENGAMAT INDUSTRI GULA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Kemelut Industri Gula".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Mestinya kita tidak perlu gundah dengan pluralitas kebangsaan Indonesia. Toh, meminjam ungkapan Albert Einstein, Tuhan tidak sedang "bermain dadu" dalam desain penciptaan negeri ini sebagai negeri multikultural.
Keragaman tak selalu berakhir dengan pertikaian asal tersedia sistem pengelolaan yang tepat. Kita juga tak perlu terobsesi dengan homogenisasi kebangsaan karena keseragaman bukanlah jaminan kedamaian dan kesejahteraan. Pada kenyataannya, realitas sejagat kontemporer menunjukkan hanya sedikit negara yang terdiri dari satu kelompok etno-kultural. Umumnya, negara modern merupakan negara dengan aneka suku bangsa (polietnik). Bahkan, negara dengan ragam kebangsaan hadir di pelbagai belahan dunia. Yang terakhir ini lebih tepat dikatakan "nations-state" ketimbang "nation-state".
Untuk mempersatukan keragaman, posisi subyek dalam kebangsaan multikultural tak bisa dipandang sebagai sesuatu yang akan terwujud dengan sendirinya tanpa usaha secara sengaja. Indonesia dengan segala pecahankekamian berbasis agama, ras, suku, kepartaian, dan kelas sosial tak akan bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan-kekitaan, kecuali memiliki kerangka titik-temu (common denominator).Dalam mengupayakan titik-temu, kita memerlukan suatu konsepsi (cita negara) dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa.
Di atas segala kebesaran, keluasan, dan kemajemukan bangsa, Indonesia harus merumuskan konsepsi dasar negara yang dapat meletakkan segenap elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis ("meja statis"), sekaligus dapat memberi tuntunan yang dinamis ("Leitstar/bintang pimpinan dinamis"). Para pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan itu dengan melahirkan konsepsi negara persatuan (kekeluargaan) berwatak gotong royong, bukan negara perseorangan seperti dalam konsepsi liberalisme-kapitalisme atau negara golongan (kelas) seperti konsepsi komunisme.
Dalam ungkapan Soekarno, "Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara 'semua buat semua', 'satu buat semua, semua buat satu'." Negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ideologi inklusif
Dengan semangat kekeluargaan itu, konsepsi dasar (falsafah) negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama sebagai "titik temu" (yang mempersatukan keragaman bangsa), "titik pijak" (yang mendasari ideologi dan norma negara), serta "titik tuju" (yang memberikan orientasi kenegaraan-kebangsaan) negara-bangsa Indonesia. Kelima prinsip utama itudikenal dengan sebutan Pancasila.Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki konsepsi kenegaraan-kebangsaan yang begitu visioner dan tahan banting.
Prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, paham kebangsaan homogenis dan tribalisme atavisitis, kebangsaan chauvinis dan globalisme triumpalis, pemerintahan otokratik dan demokrasi pasar-individualis, ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Pancasila dapat dikatakan ideologi komprehensif tentang inklusi sosial yang ingin menyertakan keragaman agama dan kepercayaan, asal usul manusia, ragam etnis dan adat istiadat, serta aliran politik dan kelas sosial dalam kehidupan publik. Dari sudut pandang paradigma Pancasila, meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial yang menampakkan diri dalam aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme, premanisme, serta sentimen kelas sosial mencerminkan lemahnya proses institusionalisasi dan implementasi nilai-nilai Pancasila.
Menurut sila pertama, eksklusi sosial terjadi akibat kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan tak lagi mencerminkan semangat "ketuhanan yang berkebudayaan"; "yang lapang dan toleran", sebagaimana ditandaskan Bung Karno.Banyak orang beragama tak mengembangkan sifat ketuhanan (meniru sifat rahman-rahim/welas-asih Tuhan).Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas ketuhanan, mendorong ekspresi keberagaman yang mandul, kering, keras, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Menurut sila kedua, meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial secara eksternal mencerminkan dekadensi nilai-nilai keadilan dan keadaban dalam relasi kemanusiaan universal era globalisasi; dan secara internal mencerminkan lemahnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan masalah "hak-hak asasi manusia".
Globalisasi membelah dunia ke pihak "yang menang" (winners) dan "yang kalah" (losers), serta menumbuhkan ketaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007). Selain menimbulkan deprivasi sosial bagi pihak-pihak kalah, globalisasi juga menimbulkan pluralisasidunia kehidupan yang menyebabkan terjadinya diferensiasi dan fragmentasi dalam pandangan dunia. Keretakan pandangan dunia ini diperburuk distorsi komunikatif dalam ruang publik akibat penaklukan rasionalitas nilai kebajikan hidup bersama oleh rasionalitas instrumental dari dunia sistem kapitalisme. Distorsi komunikatif menimbulkan alienasi sosial, yang melemahkan hubungan permusyawaratan dengan hikmat-kebijaksanaan dalam kehidupan bersama.
Menurut sila ketiga, penguatan eksklusi sosial terjadi karena untuk masa yang panjang politik segregasi telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi "plural-monokulturalisme"; dalam arti, terdiri dari ragam etno-kultural, tetapi hidup dalam kepompong budaya masing-masing tanpa kehendak saling berbagi.Political correctness menghendaki konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan (Bhinneka Tunggal Ika); dengan caramentrasformasikan situasi "plural-monokulturalisme" menuju "multikulturalisme" lewat berbagai kebijakan yang mendorong ke perjumpaan dan persilangan antarbudaya.
Menurut sila keempat, prinsip demokrasi Pancasila harus dijalankan dengan cita kerakyatan (daulat rakyat); cita permusyawaratan (kekeluargaan); cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan menghormati suara rakyat dalam politik. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan sebagai pantulan semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui "kesederajatan/persamaan dalam perbedaan".
Cita hikmat-kebijaksanaan menghendaki agar kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin daya-daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan. Riset-riset sosiologis menunjukkan bahwa kecenderungan demokrasi yang tak mengindahkan proses-proses deliberatif (musyawarah segala unsur) bukan saja bisa melahirkan berbagai kebijakan yang mendiskriminasikan golongan minoritas, tetapi juga bisa membuat kelompok-kelompok yang tidak terakomodasi dalam percaturan politik formal—karena tereliminasi dari pemilihan umum—mengembangkan ekspresi kekerasan.
Menurut sila kelima, sumber persatuan dan komitmen kebangsaan dari negeri multikultural adalah "konsepsi keadilan bersama" (a share conception of justice).Meminjam John Rawls, "Meskipun suatu masyarakat bangsa terbagi dan pluralistik… kesepakatan publik atas persoalan-persoalan keadilan sosial dan politik mendukung persaudaraan sipil dan menjamin ikatan-ikatan asosiasi." Fakta empiris, daerah yang diwarnai banyak kantong kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan ladang persemaian subur bibit kekerasan. Meluasnya rasa ketakadilan juga bukan wahana kondusif pengapresiasian gagasan persatuan kewargaan.
Implementasi Pancasila
Dalam perkembangannya, keyakinan warga terhadap relevansi dan aktualisasi Pancasila bisa bertambah dan berkurang seiring arus pengaruh dan dinamika perubahan secara internal dan eksternal. Penurunan keyakinan bisa terjadi manakala terdapat kesenjangan lebar antara idealitas Pancasila dan realitas kehidupan. Untuk masa yang panjang, ketiga lapis ideologis(keyakinan, pengetahuan, dan tindakan) Pancasila belum diaktualisasikan secara efektif. Kendati keyakinan akan ketepatan Pancasila sebagai landasan normatif kehidupan berbangsa dan bernegara begitu kuat didengungkan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pada kenyataannya Pancasila sebagai norma dasar negara tak selalu konsisten diikuti oleh produk perundang-undangan dan kebijakan publik.
Berbeda dengan anggapan umum yang memandang Pancasila sekadar teori, pada kenyataannya, Pancasila justru belum dikembangkan ke dalam seperangkat teori secara elaboratif dan komprehensif, yang dapat mewarnai konsepsi-konsepsi pengetahuan. Padahal, proses obyektivikasi dari Pancasila sebagai keyakinan menjadi Pancasila sebagai ilmu sangat penting karena ilmu adalah jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Yang lebih memprihatinkan terjadi dalam kerangka operatif Pancasila. Dimensi tindakan dalam penyelenggaraan negara masih jauh panggang dari tuntutan keyakinan normatif dan pengetahuan Pancasila. Pancasila belum banyak diimplementasikan ke level operasional kebijakan dan tindakan penyelenggara dan warga negara.
Kelemahan dalam mewujudkan imperatif keyakinan, pengetahuan, dan tindakan ideologi Pancasila membuat kesaktian Pancasila berhenti sebagai mantra penataran, kurang mampu dibumikan dalam realitas kehidupan. Pancasila diajarkan dengan bahan dan metodologi deliveri kurang menarik. Pancasila direduksi sekadar pengetahuan hafalan, kurang mampu diinternalisasi sebagai pendirian hidup.
Sosialisasi Pancasila dijalankan secara vertikal: negara yang mengambil inisiatif, negara yang menafsir, negara pula yang menatar; kurang memberdayakan partisipasi masyarakat dalam usaha pengisian dan pembudayaan Pancasila; membuat Pancasila menjadi ideologi tertutup.
Lebih menyedihkan lagi, saat kita makin memerlukan Pancasila sebagai basis inklusi sosial, eksistensi Pancasila sendiri sudah begitu lama kita abaikan. Pengalaman traumatis instrumentasi Pancasila di masa lalu membuat kepercayaan penyelenggara dan warga negara terhadap Pancasila merosot. Selama belasan tahun terakhir, Pancasila tidak lagi menjadi pelajaran wajib di kebanyakan sekolah, bahkan ada kegamangan di kalangan penyelenggara negara untuk mengartikulasikan Pancasila di ruang publik. Situasi demikian membiarkan pasokan moral bagi peserta didik hanya diisi oleh moral partikularitas keagamaan yang cenderung diisi oleh kelompok-kelompok militan, yang membuat peserta didik kurang terpapar dan terbudayakan dalam moral publik.
Kalaupun masih ada program bina ideologi dan mental yang dilaksanakan berbagai kementerian dan lembaga negara, pada umumnya bersifat permukaan (superfisial) dan kompartementalis, tanpa adanya kejelasan arah, sistematik, struktur, dan koordinasi. Adapun materi pembelajaran Pancasila dalam pendidikan dan sosialisasi wawasan kebangsaan kurang dipersiapkan secara sungguh-sungguh, baik dari segi isi, metodologi dan daya tarik.
Tak mengherankan, berbagai survei menunjukkan tendensi kemerosotan ketahanan nasional di bidang ideologi. Indeks Ketahanan Nasional yang disusun Labkurtannas Lemhannas mengindikasikan melemahnya ketahanan ideologi dan politik dalam tujuh tahun terakhir (2010-2016). Indeks ketahanan ideologi (meliputivariabel toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial, dan persatuan bangsa), merosot dariskornya 2,31 (2010) menjadi 2,06 (2016).
Gambaran sama diperlihatkan hasil Survei Nilai-nilai Kebangsaan oleh BPS 2015 (survei pertama di Indonesia). Dari setiap 100 orang Indonesia, 18 orang bahkan tak tau judul lagu kebangsaan RI;53 persen orang Indonesia tak hafal seluruh lirik lagu kebangsaan; 24 dari setiap 100 orang tak hafal sila-sila Pancasila; 42 persen orang terbiasa menggunakan barang bajakan; 55 persen orang Indonesia jarang bahkan tidak pernah ikut kerja bakti.
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Pancasila hendaknya tak berhenti sebatas seremoni, tanpa bobot substansi. Peringatan kelahiran Pancasila harus menjadi momentum mengarusutamakan gerakan kebajikan Pancasila pada semua aras: lapisan keyakinan (mitos), pengetahuan (logos), dan tindak-kejuangan (etos). Perlu penyegaran pemahaman, penghayatan, dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk menangkal berjangkitnya beragam ancaman ekstremisme dan eksklusi sosial. Dengan menguatkan nilai ketuhanan yang berkebudayaan, kebangsaan yang berperikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial, Indonesia diharapkan mampu menghadapi tantangan fragmentasi sosial dengan mental persatuan dan keadilan yang inklusif.
YUDI LATIF, ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Memantapkan Pancasila".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Pemilihan Presiden 2019 masih dua tahun lagi, tetapi gaungnya sudah sangat kencang sejak panasnya suhu politik di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Isu ketimpangan perekonomian dan ketakadilan pun merebak kembali dalam kancah politik dan perekonomian nasional. Hal ini bukan tak mungkin bisa jadi salah satu bahan baku yang bisa diolah sedemikian rupa untuk memenangi Pilpres 2019.
Berbicara mengenai ketimpangan perekonomian, pasti tak bisa dilepaskan dengan pertumbuhan ekonomi. Bahkan sering terjadi pertentangan tidak berujung pada solusi konkret: mana lebih penting, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan ekonomi? Namun, intinya Indonesia butuh pertumbuhan berkualitas yang berkeadilan untuk semua lapisan ekonomi baik yang miskin dan kaya. Kelihatan mudah dibicarakan, tetapi sulit dilaksanakan kalau kita tidak fokus dan asyik memprioritaskan kepentingan golongan masing-masing.
Ketimpangan dan ketakadilan perekonomian bisa diatasi kalau Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkesinambungan.
Bagaimana membagi kue perekonomian nasional kalau perekonomiannya sendiri tidak solid dan stabil? Indonesia membutuhkan model pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang mampu menyerap 1,8 juta angkatan kerja baru tiap tahunnya.
Investasi asing
Ke depan, tantangan perekonomian Indonesia tak mudah. Tren pertumbuhan ekonomi cenderung turun dan stagnan. Sesudah krisis ekonomi global 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas 5,5 persen dengan rata-rata tumbuh 6,1 persen selama 2010-2013. Namun, tiga tahun terakhir (2014-2016) turun menjadi 5 persen.
Mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu konsumsi rumah tangga cenderung stagnan. Tampaknya perekonomian kita secara tidak sadar terhanyut dan begitu bergantung hanya pada kekuatan konsumsi rumah tangga. Sejak 1960, dalam kurun 56 tahun, rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga sekitar 54 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
Perekonomian Indonesia seolah terlena dalam zona nyaman. Ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Jangan biarkan potensi perekonomian yang berlimpah, yang didukung bonus demografi, terbuang sia-sia. Jangan biarkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sebelum mencapai titik keemasan atau puncaknya. Sebagai catatan, perekonomian Indonesia pernah berjaya dengan tumbuh 10,9 persen tahun 1968, kemudian 9,9 persen pada 1980. Sebelum krisis ekonomi dan moneter 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi 7,5-8,2 persen pada 1994-1996.
Hal ini menunjukkan kita punya peluang bisa keluar dari pertumbuhan ekonomi seperti sekarang. Logiskah kalau pertumbuhan ekonomi kita menuju level 7 persen atau lebih?
Dari pendekatan permintaan agregat, setelah konsumsi rumah tangga, secara rata-rata peranan investasi dalam perekonomian Indonesia sekitar 24 persen dalam periode 1960-2016. Setelah itu diikuti pengeluaran pemerintah (8 persen) dan perdagangan internasional (ekspor-impor) sebesar 4 persen. Oleh karena itu, mendorong investasi baik domestik dan asing merupakan pilihan rasional dan tentu dampaknya jauh lebih besar dibandingkan pengeluaran pemerintah dan perdagangan internasional.
Kita tak bisa berharap banyak dari pengeluaran pemerintah karena terbatasnya ruang fiskal (tahap konsolidasi dan reformasi penerimaan/pengeluaran). Sementara, dari perdagangan internasional lebih sulit lagi sebab kondisi perdagangan internasional makin protektif dan ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi global, baik negara maju (advanced economies) dan berkembang (emerging economies).
Melihat historis pertumbuhan investasi dalam perekonomian nasional, seharusnya masih ada kesempatan untuk merajut dan menata pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Pada 2010-2012, pertumbuhan investasi sekitar 8-9 persen, tetapi sayangnya dalam empat tahun terakhir (2013-2016) cenderung menurun hanya 4-5 persen.
Untuk mencapai pertumbuhan 7 persen, setidaknya Indonesia butuh pertumbuhan investasi sekitar 10 persen. Artinya, diperlukan pertumbuhan investasi dua kali lipat dari pertumbuhan investasi tahun 2016 yang hanya 4,5 persen.
Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia jelas menunjukkan betapa ketatnya persaingan mendatangkan investor. Investasi Arab Saudi di Indonesia 6 miliar dollar AS, atau hanya 10 persen dibandingkan investasinya ke Tiongkok yang 65 miliar dollar AS.
Investasi asing langsung (FDI) jelas menunjukkan Indonesia masih kalah dari negara-negara di kawasan. Rata-rata FDI ke Indonesia 26,6 miliar dollar AS selama 2011-2016, lebih rendah dibandingkan Vietnam (29,6) miliar dollar AS, Malaysia (33,6 miliar dollar AS), dan India (34,0 miliar dollar AS).
Masih ada ruang
Semasa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, tanda-tanda perbaikan sudah mulai terlihat melalui 15 paket kebijakannya, walaupun implementasi masih banyak kendala. Daya saing Indonesia membaik, dari peringkat 54 tahun 2007 menjadi 41 tahun 2016, tetapi masih di bawah India, Thailand, Tiongkok, dan Malaysia. Dari sisi kemudahan berusaha juga membaik dari peringkat 120 ke 106, kemudian peringkat 91 pada 2017. Sayangnya, peringkat ini masih di bawah Vietnam dan Tiongkok. Menurut The Economistdan JBIC, Indonesia termasuk peringkat 3 sebagai tempat investasi menarik di bawah India dan Tiongkok.
Kondisi ini menunjukkan masih ada ruang dan aspek positif dari perekonomian Indonesia. Kita harus segera melakukan berbagai terobosan di bidang infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan, pelabuhan, dan tol laut), perizinan dan peraturan di pusat dan daerah, kepastian hukum, serta tentunya stabilitas politik.
Ketimpangan infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa merupakan kendala terbesar perekonomian Indonesia. Bagaimana mungkin investasi akan naik signifikan dan menyebar ke luar Jawa kalau hambatan utamanya adalah infrastruktur. Kebutuhan total biaya infrastruktur tahun 2015-2019 sangat besar, 341,4 miliar dollar AS atau Rp 455 triliun. Hampir mustahil pemerintah dapat membiayai sendiri proyek-proyek infrastruktur. Karena itu, Indonesia harus cerdik dan punya strategi pemasaran yang andal untuk menarik investor asing dan lembaga internasional.
Indonesia harus berubah secara radikal di berbagai lini. Indonesia seharusnya bisa lebih baik daripada negara-negara sekitar, karena kita punya modal sumber alam melimpah dan bonus demografi. Motor penggerak perekonomian tidak bisa hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga, tetapi juga investasi. Pusat pertumbuhan ekonomi yang hanya bertumpu di Jawa harus mulai digeser ke luar Jawa. Industri manufaktur harus menopang permintaan domestik sehingga dapat mengurangi impor.
Indonesia harus fokus dengan permasalahan domestiknya dan mengurangi ketergantungan dengan perekonomian global yang pertumbuhannya cenderung melambat. Pemerintah perlu diberi kesempatan melakukan tindakan riil untuk membawa terbang perekonomian Indonesia tanpa diwarnai karut-marut politik.
ANTON HENDRANATACHIEF ECONOMIST PT BANK DANAMON INDONESIA TBK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Menata Perekonomian Indonesia".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Antiterorisme terasa begitu lambat di DPR. Sementara ancaman aksi teroris kian nyata di depan mata.
Bom di Manchester, Inggris, ledakan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dan krisis Mindanao, Filipina selatan, menandakan ancaman aksi teroris itu ada di depan mata. Perang kota antara militer Filipina dan kelompok militan Maute di kota Marawi berpotensi berimbas ke Indonesia. Indonesia akan menjadi pintu masuk yang paling dekat sebagai imbas dari konflik antara militer dan kelompok Maute di Filipina selatan. Bahkan, seperti dikutip harian ini, ada sebelas warga negara Indonesia berada di Filipina selatan.
Ancaman teroris yang nyata itu seharusnya membangkitkan kesadaran kita semua bahwa para pengikut dan simpatisan NIIS sudah berada di Indonesia dan menjalankan aksinya di Indonesia. Apakah situasi ini akan terus dibiarkan, sementara tertib sosial kita terus dirusak? Pelaku teror di Kampung Melayu yang telah diklaim dilakukan oleh NIIS menyasar anggota polisi. Polisi punya tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial.
Dalam latar belakang itulah, kehadiran UU Antiterorisme baru sebagai pengganti UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu dipercepat pembahasannya. Semangat UU No 15/2003 adalah bagaimana mengkriminalkan pelaku Bom Bali tahun 2002.
Kini, situasi ancaman terorisme sudah berubah. Polri membutuhkan landasan hukum untuk bisa mencegah aksi terorisme di Tanah Air. Pemerintah mengajukan draf revisi UU No 15/2003 menyusul ledakan Bom Thamrin, Januari 2016. Dari ledakan Bom Thamrin, Januari 2016, sudah terjadi enam aksi teror, termasuk peledakan bom Kampung Melayu, sementara pembahasan RUU Terorisme belum bergerak signifikan.
Memang beberapa pasal dalam UU Terorisme bisa dianggap melanggar hak asasi manusia, seperti soal masa penahanan, keterlibatan TNI dalam operasi antiterorisme, serta polarisasi antara keamanan nasional dan kebebasan sipil. Namun, kita memandang masalah itu bisa dibicarakan dan dicarikan titik kompromi agar aparat penegak hukum bisa mencegah aksi terorisme di bumi Indonesia. Kepemimpinan Pansus RUU Antiterorisme di DPR memegang peranan.
Banyak perubahan kondisi sosial yang belum tercakup dalam UU, seperti program deradikalisasi atau warga negara Indonesia yang bergabung dalam kelompok terorisme di luar negeri. Masalah itu harus bisa diselesaikan. Jangan sampai satu saat terjadi aksi teror lagi—yang tidak kita harapkan—sementara politisi Senayan masih asyik memperdebatkan draf revisi UU Antiterorisme.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Menanti RUU Terorisme Rampung".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Sekitar 2.000 orang terjebak di tengah perang kota di Marawi, Filipina. Kita perlu menyusun langkah antisipatif untuk menangkal rembesan krisis ini.
Sekadar menyebut latar belakang, Marawi adalah kota berpenduduk mayoritas Muslim di Provinsi Lanao del Sur di Pulau Mindanao. Di pulau ini ada kelompok Maute yang mengumumkan sumpah setia kepada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Selain itu, ada kelompok Muslim lebih besar yang menginginkan otonomi lebih luas dari Manila.
Sementara kelompok yang besar terlibat perundingan dengan pemerintah, kelompok seperti Maute yang beraliran lebih keras terus aktif di lapangan dan justru makin mengganas. Kelompok lebih kecil tersebut memiliki hubungan dengan kelompok di Indonesia karena mengusung ideologi yang sama, bahkan sebelum NIIS diproklamasikan Abu Bakar al-Baghdadi, Juni 2014.
Menurut catatan CNN, sejak berdiri, NIIS telah melakukan atau menginspirasi puluhan serangan di lebih dari 20 negara di luar Irak dan Suriah. Dalam kurun satu-dua tahun terakhir kita mencatat ada serangan besar di Paris, Brussels, London, dan juga di Jakarta, termasuk yang terakhir terjadi di Terminal Kampung Melayu.
Indonesia yang mengalami serangan teror sejak 2001 dihadapkan pada ancaman baru. Semula dikemukakan teori bahwa ISIS berhasil dihantam di Irak dan Suriah sehingga pendukungnya kocar-kacir di kedua negara itu. Namun, karena ide telanjur mengendap di kepala pendukungnya, mereka melanjutkan aksi di sejumlah negara.
Selain di Eropa, Asia Tenggara dalam hal ini Filipina dipandang sebagai medan yang siap untuk digarap. Presiden Rodrigo Duterte bertekad mengerahkan kekuatan militer untuk menumpas militan Maute yang bertindak kejam dengan mengeksekusi warga sipil.
Ada kekhawatiran, jika Pemerintah Filipina terus mendesak kelompok Maute, ada kemungkinan anggotanya keluar dari Mindanao. Wajar jika sejumlah kota di wilayah utara Indonesia mulai risau. Oleh karena itu, kita mendesak aparat keamanan Indonesia meningkatkan pengamanan di wilayah yang dikhawatirkan bisa menjadi pintu masuk. Pengawasan terhadap pergerakan orang pun perlu dilakukan dengan lebih saksama.
Kita menyadari, menghadapi terorisme membutuhkan strategi berlapis, mulai dari penghadangan, memperkuat perundang-undangan yang memungkinkan aparat keamanan bertindak lebih sigap, dan yang tidak kalah penting memperkuat hulunya. Kini kita sedang berupaya menggalakkan berbagai program deradikalisasi.
Program yang tak kalah penting adalah meningkatkan taraf hidup rakyat. Kemiskinan dan ketidaktahuan membuat hidup dipandang kurang berharga. Kita berharap badan intelijen bekerja lebih maksimal sehingga bahaya yang ada dapat dideteksi lebih dini. Saat kita dan dunia dikepung ancaman terorisme, tak ada cara lain yang lebih efektif kecuali mengerahkan segenap daya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Mengantisipasi Rembesan Maute".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Membaca opini Salahuddin Wahid di Kompas, Selasa (16/5), tentang keindonesiaan dan keislaman sungguh luar biasa. Saat ini kita membutuhkan pemikiran-pemikiran yang membuka wawasan dan mencerdaskan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim sehingga di antara sekian juta umat itu ada saja yang menginginkan agar negara ini berasaskan ajaran Islam. Menanggapi hal ini, kita harus kembali melihat sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Tulisan Salahuddin Wahid, jelas sudah memperlihatkannya kepada kita.
Mari kita belajar dari bagaimana para tokoh Islam di awal kemerdekaan, yang dengan kerendahan hati dan sikap toleran, memilih negara yang berasaskan Pancasila dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai sila pertama.
Hal ini patut kita syukuri dan apresiasi, karena ada kesadaran dari para bapak pendiri bangsa bahwa kita menjadi Indonesia karena rakyat berbagai suku, agama, ras, dan golongan, mau bergabung dalam Indonesia merdeka. Menyikapi munculnya kelompok-kelompok "radikal" dalam Islam, ingatan perlu dikembalikan pada sejarah bangsa. Kita harus mencontoh para pendahulu yang peduli dengan keindonesiaan dan keislaman negeri ini.
Seperti ajakan Salahuddin Wahid, marilah kita berdialog, menyamakan persepsi, dan kehendak bersama. Mari kita jaga keindonesiaan dan keislaman supaya nilai-nilai keislaman menjadi berkah/rahmat bagi semua orang.
ARDIN JEMANU, CEMPAKA PUTIH RAYA, JAKARTA PUSAT
Pungli PBB
Saya tinggal di Apartemen Green Pramuka City.
Memang, ada banyak masalah di apartemen kami, salah satunya adalah pungutan liar PBB yang diduga dilakukan pengelola apartemen.
Walaupun Camat Cempaka Putih sampai tahun 2016 belum bisa menerbitkan SPPT PBB, pengelola apartemen telah empat tahun "memaksa" warganya membayar PBB dengan tarif 0,3 persen. Padahal, pejabat pajak kecamatan pernah menjelaskan kalau apartemen seluas 33 meter persegi (kelompok harga Rp 200 juta s/d Rp 2 miliar), misalnya, tarif PBB-nya hanya 0,1 persen.
Saya mengimbau Wali Kota Jakarta Pusat untuk segera menertibkan hal ini, karena masalah ini melibatkan banyak instansi di bawah wali kota.
EDDY SURYADI, GREEN PRAMUKA CITY, JAKARTA PUSAT
Kartu Tak Datang
Kartu Kredit Mega Carrefour nomor 4890-8700-5947-2xxx, saya miliki sejak 2012. Pada Maret 2017, masa berlaku habis dan harus diganti kartu baru.
Sejak akhir Maret saya beberapa kali menghubungi pusat panggilan Mega, meminta kartu baru. Terakhir saya hubungi Jumat (12/5). Setiap menelepon, saya berbicara dengan orang berbeda dan harus mengulang penjelasan dari awal. Lalu mereka mengatakan bahwa status pengirimannya retur dan akan dikirim ulang karena alamat kurang jelas.
Yang saya tidak mengerti, saya sudah memberikan alamat lengkap disertai nomor telepon. Aneh kalau tidak menemukan alamat rumah saya.
Kerabat saya dari Medan hanya perlu waktu dua hari ke rumah saya, hanya dengan berbekal nomor telepon saja. Ini dari Jakarta ke Bandung, dua bulan lebih belum sampai.
Mohon bantuan Bank Mega untuk mendapatkan kartu saya.
HAMIDAH SARI HARAHAP, JL PADASUKA GG H ABUN RT 002 RW 007, PADASUKA CIMENYAN, KABUPATEN BANDUNG
Nilai Asuransi
Saya adalah peserta asuransi pendidikan dari lembaga asuransi AXA Mandiri. Polis asuransi tersebut untuk anak saya dan sudah berlangsung sejak 10 tahun lalu.
Saya setiap tahun membayar premi Rp 6 juta sehingga kalau dihitung-hitung selama ini saya sudah membayar Rp 60 juta.
Namun, saya sungguh kecewa saat mengajukan klaim untuk mendapatkan uang saya. Selain prosesnya berbelit dan lama, total saya hanya mendapatkan Rp 51 juta. Dengan demikian, saya tidak mendapatkan untung bahkan menjadi buntung karena rugi Rp 9 juta.
Nilai ini tidak seperti yang dipromosikan sebelumnya, bahwa apabila saya telah menjadi nasabah selama 10 tahun, saya akan mendapatkan Rp 100 juta saat mengajukan klaim.
Sungguh ironis. Beginikah cara kerja asuransi untuk mendapatkan keuntungan?
JUWONO HERUWARDOJO, JL KH AGUS SALIM, BOJONEGORO
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.