Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 29 Juni 2017

Membumikan Diplomasi Multilateral (DARMANSJAH DJUMALA)

Dalam diskursus hubungan internasional, diplomasi multilateral jamak diartikan sebagai pelaksanaan politik luar negeri yang dilakukan di forum atau organisasi internasional yang beranggotakan banyak negara.

Berbeda dengan diplomasi bilateral yang hanya melibatkan dua negara dan menghasilkan kesepakatan konkret, diplomasi multilateral berupaya mencapai konsensus mengenai norma, aturan, dan kebijakan dalam isu tertentu (norms-setting/rules-making). Dengan karakter serupa itu, diplomasi multilateral kerap dinilai secara sinis sebagai tak lebih dari pelaksanaan politik luar negeri yang "mengukir langit" alias tidak konkret, tidak membumi alias tidak memberi manfaat langsung bagi rakyat.

Diplomasi multilateral semakin sering dipertanyakan tatkala Jokowi mulai menjabat presiden. Sosok Jokowi yang merakyat dan berfokus pada program konkret yang memberi manfaat langsung bagi rakyat memiliki visi politik luar negeri yang khas: memperjuangkan kepentingan nasional yang konkret dan memberi manfaat bagi rakyat dan pembangunan nasional. Diplomasi yang menghasilkan kesepakatan konkret dan memberi manfaat bagi rakyat inilah yang disebut dengan diplomasi membumi.

Paradoks

Manakala visi diplomasi membumi ini diperhadapkan dengan karakter diplomasi multilateral, terasa ada paradoks. Bagaimana mungkin diplomasi multilateral, yang dipersepsikan hanya berkutat pada pembentukan norma, aturan dan kebijakan bisa menghasilkan sesuatu yang konkret dan bermanfaat bagi rakyat? Dengan pertanyaan ini, diplomasi multilateral seolah kehilangan relevansi dan signifikansinya terhadap politik luar negeri era Jokowi. Namun, justru pada titik ini muncul pertanyaan strategis: bagaimana menempatkan diplomasi multilateral dalam bingkai visi politik luar negeri Jokowi, yang konkret dan memberi manfaat bagi rakyat itu?

Sejatinya diplomasi multilateral itu tak melulu melakukan perdebatan kebijakan, aturan, dan norma. Memang, melalui sidang komite dan sidang umum tahunan, PBB menyediakan forum yang dihadiri oleh hampir semua negara di dunia untuk membahas hampir semua isu di bawah langit (everything under the sun). Mulai dari jarum suntik sampai peralatan perang. Mulai dari alat kontrasepsi sampai kapal terbang. Semua diperdebatkan sampai larut malam, mulai dari titik koma sampai struktur kalimat yang kompleks demi sebuah resolusi, deklarasi atau pernyataan bersama. Dan jangan kaget, hasil akhirnya adalah dokumen tebal terbuat dari kertas. Manfaatnya bagi rakyat? Hampir tidak ada. Dokumen itu tidak memberi manfaat langsung bagi rakyat. Inilah paradoks diplomasi multilateral dalam ukuran diplomasi membumi.

Jika memang sidang PBB itu tidak memberi manfaat konkret dan langsung bagi rakyat, apakah kemudian Indonesia tidak perlu mengikuti persidangan di PBB? Masalahnya bukan ikut atau tidak ikut persidangan (yang tersebar di komite-komite, dewan-dewan dan kelompok-kelompok kerja). Masalahnya adalah pilihan: persidangan mana yang harus diprioritaskan.

Sebenarnya di PBB dan organisasi internasional lainnya banyak sekali program pembangunan dan pendanaannya. Sebut saja, misalnya Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), atau Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Semua forum ini, selain membahas norma, aturan dan kebijakan bidang terkait, juga menyediakan dana pembangunan untuk pengembangan kapasitas (capacity building) negara anggota.

Dengan sumber daya manusia dan dana terbatas, pengambil keputusan dihadapkan pada pilihan prioritas: apakah menitikberatkan pada deliberasi kebijakan atau memfokuskan pada program pembangunan kapasitasnya. Sejalan dengan diplomasi khas Presiden Joko Widodo yang konkret dan memberi manfaat bagi rakyat, diplomasi multilateral harus membumi. Namun, bagaimana wujud diplomasi multilateral yang membumi itu?

Pengembangan kapasitas

Ambil contoh diplomasi di forum IAEA. Seperti forum multilalteral lain, diplomasi di IAEA juga terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu penetapan norma dan aturan (norm-rules and standard setting) serta program pengembangan kapasitas.

Pertama, di bidang aturan dan norma. Diplomasi di forum yang menangani masalah atom dunia itu umumnya membahas tiga isu, dikenal dengan istilah "Konsep 3S": safety (keselamatan),security (keamanan), dan safeguard(pengawasan). Dengan Konsep 3S itu, IAEA membangun aturan, norma dan standar keamanan/keselamatan dan pengawasan terhadap penggunaan serta pengembangan nuklir untuk tujuan damai oleh negara anggota.

Dengan aturan itu, IAEA ingin memastikan pengembangan nuklir aman bagi masyarakat. Bagaimana penerapan konsep itu di Indonesia? Konsep 3S umumnya diberlakukan di negara anggota yang mengembangkan teknologi nuklir dalam skala besar dan masif, baik untuk keperluan sumber energi maupun militer. Indonesia sejauh ini baru menggunakan nuklir untuk bidang sosial-ekonomi, seperti pertanian, kesehatan, pencegahan bencana alam dan lingkungan hidup.

Dengan tingkat penggunaan nuklir seperti itu, penerapan Konsep 3S di Indonesia, terutama aspek keamanan dan pengawasan, belum signifikan dalam interaksinya dengan IAEA. Dibanding negara anggota lain, seperti India, Pakistan atau Korea Utara, aspek keamanan dan pengawasan nuklir di Indonesia tidak menonjol. Meski demikian, Indonesia tak menafikan pentingnya Konsep 3S sebagai dasar penguatan regulatory framework(kerangka hukum) untuk penggunaan teknologi nuklir di bidang pertanian dan kesehatan serta untuk tujuan damai lainnya.

Kedua, program pengembangan kapasitas yang ditawarkan IAEA sungguh banyak. Mulai dari bantuan untuk aplikasi nuklir, berupa inovasi dan pengembangan iptek nuklir, sampai dengan kerja sama teknik antarnegara anggota di bidang iptek nuklir yang berdampak pada bidang sosial-ekonomi. Dalam skema bantuan aplikasi nuklir, di sektor pertanian, misalnya, ilmuwan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah berhasil mengembangkan 21 varietas padi, 10 kedelai, 2 kacang hijau, 3 sorgum, dan 1 gandum.

Varietas padi hasil teknologi nuklir ini mampu memproduksi padi lebih banyak per unit lahan dan tahan hama. Bisa dibayangkan bagaimana dampak inovasi iptek nuklir ini jika diaplikasikan secara masif. Tak berlebihan jika dikatakan ia mampu menunjang program ketahanan pangan nasional. Di bidang kesehatan, BATAN tengah mengembangkan teknik serangga mandul dengan teknologi nuklir yang dipercaya dapat mengurangi populasi nyamuk demam berdarah sehingga mengurangi risiko penyebaran penyakit tersebut.

Demikian juga dengan pemandulan serangga buah, diharapkan mampu mengurangi risiko pembusukan produk buah. Dari cerita sukses ini nyatalah bahwa aplikasi nuklir memang benar- benar memberi manfaat sosial-ekonomi masyarakat. Semua capaian di bidang aplikasi nuklir ini dimungkinkan karena adanya kerja sama dengan IAEA di bidang pengembangan kapasitas untuk negara anggota.

Tatkala teknologi nuklir mampu memberi dampak nyata kepada kehidupan sosial-ekonomi rakyat, pada titik itulah muncul kesadaraan bahwa ternyata nuklir tak melulu untuk perang dan senjata pemusnah. Ternyata teknologi nuklir dapat memberi manfaat bagi kehidupan rakyat kebanyakan. Ternyatalah juga bahwa diplomasi multilateral bukan hanya ajang adu debat internasional yang menghasilkan setumpuk dokumen berisi aturan dan kebijakan.

Hasil konkret diplomasi nuklir di bidang sosial-ekonomi membuktikan bahwa diplomasi multilateral bisa dibumikan, mampu memberi manfaat langsung bagi rakyat. Untuk membumikan diplomasi multilateral, prioritas diplomasi di forum PBB dan organisasi internasional lainnya, seperti IAEA, haruslah diletakkan pada upaya memanfaatkan sebanyak mungkin program pengembangan kapasitas lembaga tersebut yang benar-benar berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.

DARMANSJAH DJUMALA

Diplomat, Bertugas di Vienna, Austria

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Membumikan Diplomasi Multilateral".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger