Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 17 Juni 2017

TAJUK RENCANA: Beda Pendapat Menteri (Kompas)

Pemerintahan Presiden Joko Widodo mempertontonkan ketidakkompakan para menterinya di depan publik soal kebijakan sekolah lima hari.

Kebijakan sekolah lima hari dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Peraturan itu, antara lain, mengatur soal aktivitas belajar di sekolah selama delapan jam sehari dari Senin hingga Jumat.

Aturan itu sontak memicu kontroversi. Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti dikutipKompas, 14 Juni 2017, menyatakan, keputusan Mendikbud harus ditinjau. Keputusan yang menyangkut 50 juta siswa itu harus diambil dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi. Sekolah lima hari sebenarnya sudah berjalan di beberapa sekolah. Namun, untuk memberlakukan aturan di semua sekolah tentu bukan cara bijak. Semuanya tergantung pada kesiapan sekolah. Buatlah bertahap.

Kementerian Agama, seperti dikatakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, khawatir aturan ini akan menggerus eksistensi lembaga pendidikan keagamaan. Sementara Muhadjir mengatakan, program sekolah lima hari bertujuan untuk penguatan karakter. Tidak ada niatan untuk mematikan madrasah diniyah, pondok pesantren, dan pendidikan keagamaan lain (Kompas, 14 Juni 2017).

Polemik dalam tubuh kabinet bisa menciptakan persepsi tidak baik publik terhadap kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi. Jika kondisi ini terus terjadi, modal sosial pemerintahan Presiden Jokowi bisa kian tergerus.

Hal yang belum matang juga pernah dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo soal perlunya Presiden terlibat dalam penentuan rektor. Wacana itu memicu reaksi dari kementerian lain dan sejumlah rektor karena dianggap bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi.

Menteri adalah pembantu Presiden. Presiden Jokowi pernah mengatakan, tidak ada visi dan misi menteri, yang ada adalah visi dan misi Presiden. Dengan mengacu pada konstruksi demikian, ide soal sekolah lima hari seharusnya juga sejalan dengan visi dan misi Presiden. Yang menjadi persoalan adalah mengapa sampai terjadi perbedaan pendapat antarmenteri soal kebijakan itu.

Idealnya, sebelum disampaikan kepada masyarakat, kebijakan publik harus tuntas dahulu pembahasannya di dalam kabinet. Presiden dan Wapres serta menteri terkait harus ikut terlibat dalam pembahasan dan begitu diputuskan tidak ada lagi beda pendapat antarmenteri secara terbuka. Situasi itu tidak elok.

Pada Orde Baru, untuk membangun pemahaman yang sama, menteri sering berdiskusi dengan pimpinan media untuk menyampaikan kebijakan baru. Pertemuan itu penting agar pemahaman bisa dibangun dan reaksi publik dikelola dengan baik. Presiden Jokowi perlu memperbaiki cara pembuatan kebijakan publik.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Beda Pendapat Menteri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger