Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 19 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Jebakan Ekonomi Konsumsi (CATUR SUGIYANTO)

Sejak masa Orde Lama, pengeluaran konsumsi rumah tangga berperan penting dalam perekonomian Indonesia.

Pada kurun 1960-1968, rata-rata proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) lebih dari 60 persen. Meski secara gradual kian menurun, hingga 2016 proporsi pengeluaran rumah tangga dalam PDB masih 56,6 persen. Perekonomian Indonesia sangat bergantung pada pengeluaran konsumsi rumah tangga.

Di satu sisi, besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga mencerminkan potensi pasar suatu negara. Indikator ini sering jadi pedoman relokasi pabrik antarnegara (PMA), penentuan strategi pembangunan industri substitusi impor dan masuknya produk impor. Fenomena ini terjadi di Indonesia, ditandai dengan masuknya PMA pertengahan 1970-an, diikuti pembangunan industri tepung terigu, tekstil, mobil dan kendaraan bermotor dalam rangka substitusi impor.

Desakan masuknya produk impor, baik pertanian maupun industri akhir-akhir ini, juga menunjukkan pertumbuhan pasar Indonesia tersebut.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan pengeluaran konsumsi rumah tangga mungkin tidak bisa berkelanjutan. Hal ini mengingat, bagi rumah tangga swasta, peningkatan daya beli yang bersumber dari semakin tingginya penghasilan juga berarti semakin tingginya biaya produksi.

Gaji dan biaya tenaga kerja yang semakin tinggi akan mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tempat perusahaan asing berinvestasi dan bahkan mendorong perusahaan-perusahaan memindahkan investasinya dari Indonesia ke negara lain. Selain itu, kekuatan pengeluaran konsumsi rumah tangga di Indonesia juga bersifat rapuh karena banyak didukung oleh subsidi, seperti BBM dan listrik.

Kondisi di atas kontras dengan yang terjadi di China dan di AS meskipun perekonomiannya sama-sama bergantung pada pengeluaran konsumsi rumah tangga. Pemerintah China mengalokasikan anggaran belanja infrastruktur besar-besaran mulai era 1970-an setelah Deng Xiaoping melakukan perubahan strategi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, China juga mengundang PMA dan memanfaatkan upah tenaga kerja yang rendah.

Hasilnya, industri di China berkembang pesat, mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 30 tahun terakhir, bahkan menjadi kekuatan baru mengusai perdagangan internasional. Tumpuan pertumbuhan ekonomi China bergeser dari kegiatan investasi dan ekspor karena semakin besarnya kekuatan ekonomi rumah tangga konsumen seiring dengan lajunya industri di dalam negeri dan karena krisis global yang menyebabkan turunnya ekspor China.

Sebenarnya, Pemerintah Indonesia telah melakukan strategi yang serupa pada awal era Orde Baru. Pemerintah membangun infrastruktur pertanian untuk menyelesaikan masalah rawan pangan serta mendorong kemandirian sektor pertanian. Pembangunan sektor industri sarana produksi pertanian menjadi prioritas pembangunan berikutnya.

Sukses strategi itu ditandai dengan laju pertumbuhan ekonomi sektor industri dan manufaktur yang tinggi pada era 1970 hingga 1980-an dan swasembada beras pada 1986. Strategi pembangunan sejak awal Orde Baru dipandang sebagai lompatan pertama yang telah membawa Indonesia keluar dari kategori negara miskin menjadi negara kelas menengah dan bahkan masuk dalam kelompok negara G-20.

Lompatan penuh risiko

Pengurangan subsidi dan percepatan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah sejak 2014 merupakan upaya untuk melakukan lompatan yang kedua agar keluar dari jebakan ekonomi berbasis pengeluaran konsumsi tersebut. Namun, lompatan yang kedua ini penuh risiko, minimal karena tiga alasan.

Pertama, pemerintah mengurangi subsidi dan mengalihkannya untuk pembiayaan infrastruktur. Jika selama ini tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia bersumber dari pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengurangan subsidi (BBM, listrik, dll) yang diikuti upaya penarikan pajak secara intensif akan memperlemah daya beli masyarakat.

Kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) yang diikuti kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok mungkin tidak bisa mengerem penurunan pengeluaran konsumsi masyarakat secara agregat. Akibatnya, sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi ini akan terkoreksi.

Kedua, pembangunan infrastruktur mungkin dapat mendorong perekonomian melalui efek berganda belanja barang-barang modal serta penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi. Apalagi kenaikan belanja untuk infrastruktur terjadi hampir di semua daerah (kabupaten/kota). Namun, peningkatan kapasitas produksi masyarakat hanya akan terjadi dalam periode yang lebih panjang setelah masyarakat mampu menyesuaikan aktivitas produktifnya sesuai dengan kondisi infrastruktur yang baru.

Ketiga, biaya hidup yang tinggi karena penurunan berbagai subsidi terjadi bersamaan dengan penurunan produksi akibat melemahnya permintaan masyarakat dapat memicu kerawanan sosial. Apalagi banyak kabupaten dan kota lebih mengutamakan belanja infrastruktur dan menggeser alokasi subsidi sehingga beban naiknya biaya hidup dirasakan di semua daerah.

Patut digarisbawahi bahwa kestabilan sosial politik selama Orde Baru dan Orde Reformasi telah menjadi bagian yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kestabilan sosial-politik tidak boleh koyak menghadapi perubahan strategi pertumbuhan ekonomi.

CATUR SUGIYANTO

Guru Besar pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Jebakan Ekonomi Konsumsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger