Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 19 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Menggugat Impor Daging (ROCHADI TAWAF)

Keinginan pemerintah menurunkan harga daging sapi menjadi Rp 80.000 per kilogram hingga kini belum terwujud. Dalam upaya merealisasikan hal itu, pemerintah hanya melakukan kegiatan "mengutak-atik" kebijakan yang akan berdampak instan.

Beberapa kebijakan jangka panjang yang seharusnya telah membuahkan hasil malah dimoratorium. Misalnya, program integrasi sapi-sawit dan sentra peternakan rakyat. Bahkan, akhir-akhir ini ada beberapa kebijakan kontroversial yang diduga justru melanggar UU Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH).

Kebijakan pembibitan

Bisnis pembibitan dan pembiakan, menurut para ahli dan Gabungan Perusahaan Pembiakan Sapi Potong Indonesia (GPPSPI), adalah usaha ternak yang dilakukan untuk mendapatkan jenis dan bangsa sapi murni.

Bisnis ini memerlukan waktu panjang, paling tidak sekitar 30-50 tahun. Ruang lingkup aktivitasnya meliputipemurnian/pemuliaan genetik, persilangan genetik, pedigree dan sertifikasimutu, seleksi pejantan dan betinaunggul, serta menghasilkan semen beku dan embrio. Kegiatan ini didominasi pemerintah.

Sementara bisnis pembiakan dan pembesaran sapi adalah usaha ternak yang menghasilkan sapi-sapi pedet dan bakalan. Ciri-ciri aktivitas bisnis ini meliputi kegiatan reproduksi yang dilakukan secara ekstensif, memperbanyak jumlah kelahiran, basis bisnisnya adalah jumlah stok indukanproduktif, minimisasi suplemenpakan, perlu biaya operasional per satuan unit yang rendah, dan lama perputaran modal 2,5 tahun-3 tahun.

Kedua bisnis ini sesungguhnya memerlukan perlakuan khusus. Karena itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang PKH mengamanatkan bahwa bisnis ini menjadi kewajiban pemerintah.

Namun, faktanya, selama puluhan tahun bisnis ini dilakukan oleh peternakan rakyat tanpa insentif. Pasalnya, karena kondisi peternakan rakyat yang bersifat subsisten dan tradisional, banyak komponen biaya yang tidak dihitungnya. Misalnya, tenaga kerja, pakan yang diperoleh dari hasil ikutan produksi pertanian, investasi kandang, dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang merupakan daya saing sekaligus ancaman bagi keberlangsungan hidup peternakan rakyat di masa mendatang.

Alih peran ke korporasi

Peternakan rakyat selama ini telah berkontribusi terhadap konsumsi daging nasional tidak kurang dari tiga juta ekor per tahun atau senilaiRp 45 triliun. Kontribusi tersebut dari total aset populasi ternak sapi sekitar 15 juta ekor atau senilai sekitar Rp 225 triliun. Berdasarkan kebijakan yang ada selama ini, pemerintah akan mengalihkan beban kerja peternakan rakyat kepada korporasi, yang tersirat pada kebijakan Peraturan Menteri Pertanian No 49/2016. Kebijakan ini, pada Pasal 7, "telah memaksa" pelaku usaha untuk mencantumkan jumlah indukan berbanding bakalan bagi pelaku usaha 1 : 5 serta bagi koperasi dan kelompok peternak 1 : 10.

Kebijakan ini bertentangan dengan UU No 18/2009 jo UU No 41/2014 tentang PKH bahwa dalam upaya peningkatan populasi ternak ruminansia besar merupakan kewajiban pemerintah dengan melibatkan pelaku usaha (bukan memaksa). Dikatakan memaksa karena merupakan persyaratan untuk memperoleh rekomendasi pemasukan bakalan ternak ruminansia besar dan dalam praktiknya sangat mengganggu keberlangsungan usaha.

Berdasarkan kebijakan tersebut, usaha penggemukanyang selama ini melakukan importasi ternak sekitar 500.000 ekor per tahun atau senilai aset Rp 6 triliun akan dibebankan tugas mengimpor sapi indukan sebanyak satu banding lima untuk menghasilkan sapi-sapi bibit.

Artinya, untuk 500.000 ekor sapi bakalan wajib mengimpor 100.000 sapi indukan. Untuk menghasilkan 500.000 ekor setahun sapi siap potong, korporasi memutar modal kerjanya sekitar Rp 2 triliun sebanyak tiga kali. Secara hitung-hitungan sederhana, apabila pelaku usaha penggemukan diwajibkan memutarkan modalnya dalam usaha pembiakan, dengan jumlah sapi indukan 100.000 ekor, akan menyedot seluruh modal kerja itu.

Hal ini karena harga indukan jauh lebih mahal daripada sapi bakalan dengan waktu pemeliharaan lebih lama. Alhasil, hanya untuk menghasilkan sekitar 50.000 sapi betina bibit dalam tiga tahun, akan mengorbankan 32 pengusaha feedlotyang tak melanjutkan usahanya.

Sesungguhnya, perusahaan penggemukan ini telah memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat pedesaan, yaitu mampumenyerap bahan baku pakan asal limbah pertanian,tenaga kerja, dan pupuk organik senilai tidak kurang dari Rp 2 triliun per tahun. Selain itu, nilai tambah produk yang diperoleh sekurang-kurangnya sebesar 30 persen.Jika saja usaha ini berhenti, akan terjadi kehilangan peluang omzet sekitar Rp 10 triliun per tahun yang tidak lagi dinikmati oleh masyarakat, khususnya di pedesaan.

Impor daging kerbau

Salah satu kebijakan intervensi harga daging sapi adalah masuknya importasi daging kerbau asal India. Realisasi impor ini jelas-jelas dilarang oleh UU No 41/2014 tentang PKH.

Pada Pasal 36E UU No 41/2014 tentang PKH dinyatakan bahwa pemasukan hewan dan produk hewan dapat dilakukan (diperbolehkan) jika berasal dari suatu negara atau zona dari suatu negara. Meski demikian, realisasi impor ini menggunakan landasan hukumnya, yaitu PP No 4/2016tentangpemasukan ternak dan atau produk hewandalam hal tertentu yang berasal dari negara atau zona dalam suatu negara asal pemasukan.

Pada Pasal 6 Ayat (1c)dinyatakan bahwa negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku dan telah memiliki program pengendalian resmi penyakit mulut dan kuku yang diakui oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Pasal ini jelas-jelas bertentangan dengan UU No 41/2014 tentang PKH.

Sementara itu, India sebagai negara pengekspor daging terbesar dunia, menurut Badan Kesehatan Hewan Dunia, hingga kini masih belum bebas penyakit mulut dan kuku.

Berdasarkan uraian tersebut, sesungguhnya jika saja pemerintah merealisasikan Peraturan Menteri Pertanian No 49/2016 dengan melakukan pembebanan kepada korporasi penggemukan sapi impor untuk melakukan bisnis pembibitan, seyogianya mereka diberikan insentif, bukannya pemaksaan.

Kebijakan tersebut harus diubah, yang semula berdasarkan volume impor menjadi berdasarkan kapasitas kandang. Para pelaku bisnis pembibitan harus diberi insentif bunga bank nol persen karena perilaku bisnisnya cenderung memerlukan putaran modal yang cukup lama.

Pengembangan usaha pembiakan harus didukung oleh kebijakan harga pasar daging sapi yang kondusif. Misalnya, kebijakan yang diarahkan kepada sistem segmentasi harga. Selain itu, pemerintah segera menghapus Pasal 6 Ayat (1c) dengan menghidupkan kembali program sapi-sawit dan sentra peternakan rakyat.

ROCHADI TAWAF

Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Penasihat PP Persepsi dan Ketua I PB ISPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Menggugat Impor Daging".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger