Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 20 Juli 2017

TAJUK RENCANA : Akurasi Data Atasi Ketimpangan (Kompas)

Isu ketimpangan mencuat lagi melalui peringatan anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila Ahmad Syafii Maarif.

Lambatnya penurunan jumlah orang miskin membuat Syafii mengingatkan akan potensi keresahan sosial. Bahkan dia mengkhawatirkan, kerusuhan seperti Mei 1998 dapat terulang. Peringatan tersebut tentu tidak main-main. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan pada Maret 2016 terdapat 28,01 juta orang (10,86 persen) tergolong miskin dan pada Maret 2017 turun menjadi 27,77 juta orang (10,64 persen).

Pada sisi lain, 1 persen penduduk Indonesia menguasai hampir 50 persen kekayaan negara. Meskipun semua lapisan penduduk mengalami peningkatan pendapatan, ukuran kemiskinan perlu menjadi perhatian. Pengeluaran 40 persen penduduk berkisar Rp 420.000-Rp 450.000 per bulan per orang. Angka ini belum memenuhi kriteria sejahtera.

Pemerintah terus berusaha menurunkan ketimpangan dan kemiskinan dengan berbagai cara. Pembangunan infrastruktur adalah salah satu cara meskipun hasilnya baru terasa dalam jangka menengah dan panjang. Di luar itu, pemerintah menyiapkan program bersifat segera dan jangka menengah, seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan semesta, dan jaring pengaman sosial lainnya.

Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah ketersediaan data akurat. Ketersediaan data akurat penting karena menentukan kebijakan pemerintah.

Almarhum Prof Widjojo Nitisastro yang dianggap sebagai arsitek pembangunan Indonesia pada masa Orde Baru sangat mengutamakan akurasi data. Sebagai demograf, akurasi data penduduk menjadi perhatian. Juga data ketersediaan pangan, terutama beras, sebagai pangan pokok bernilai strategis dan politis serta cara memutus rantai kemiskinan.

Belakangan kita tersentak oleh informasi ada potensi data pangan beras kita selama ini salah. Metode penghitungan baru BPS yang diuji coba di Indramayu dan Garut memperlihatkan selisih dengan variasi sangat besar, 10 persen dan hampir 100 persen di bawah angka Kementerian Pertanian. Persoalan data juga muncul pada produksi jagung. Peternak unggas menjerit kesulitan mendapat jagung lokal, sementara pemerintah menghentikan impor jagung dan mengklaim produksi mencukupi. Jika metode penghitungan BPS yang menggabungkan citra satelit dan uji lapangan itu valid, kita ingin pemerintah memperbaiki data secara mendasar dan menyeluruh.

Pembenahan data dalam berbagai bidang tak bisa dianggap enteng. Kita mengenal istilah big data, yaitu metode mengomputasi data luar biasa besar untuk mendapat informasi akurat. Basisnya tetap akurasi data. Dunia bisnis sudah menggunakan untuk memaksimalkan produktivitas. Pemerintah dapat mengolah big datademi perencanaan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Akurasi Data Atasi Ketimpangan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger