Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 19 Agustus 2017

"Advocatus Diaboli" (L WILARDJO)

Menurut The Reader Digest Great Encyclopedic Dictionary, ada empat arti yang berbeda dari kata "moderator".

Dalam PLTN (pembangkit listrik tenaga fissi nuklir), moderator ialah zat yang dipakai untuk memperlambat neutron-neutron fissi sehingga energinya turun dari 1 MeV atau lebih menjadi sekitar 0,025 eV saja. Neutron-neutron cepat yang muncul dalam pembelahan inti uranium (U-235) diperlambat menjadi neutron-neutron termal yang efektif untuk membelah U-235. Maka, pembelahan inti U-235 dalam uranium yang diperkaya dari bahan-bahan nuklir reaktor atom itu dapat kritis dan berlangsung secara berkelanjutan (akan tetapi tetap terkendali). Biasanya yang dipakai sebagai moderator ialah grafit, atau air, atau  air berat (D2O).

 Dalam sebuah diskusi, moderator ialah orang yang memandu jalannya perbincangan dan perdebatan agar tidak timbrung-menimbrung dan menjadi kacau. Ia juga menjaga agar diskusinya tidak melenceng dari pokok bahasan yang sudah dipatok sebagai tema diskusi. Lazimnya, moderator bersikap netral dan memberi kesempatan yang berimbang kepada para peserta diskusi itu.

 Peran moderator yang seperti itulah yang biasanya dimainkan Leonard Samosir dalam editorial Media Indonesiadi Metro TV setiap pagi. Namun, tidak demikian dalam editorial Senin, 14 Agustus 2017, yang membahas keinginan DPR untuk membangun kompleks gedung baru, lengkap dengan rumah-rumah pangsa (apartments)-nya.

 Pagi itu Leonard Samosir terkesan membela kepentingan DPR. Argumentasinya, anggarannya sudah disetujui dan fasilitas baru itu lebih memadai untuk meningkatkan kinerja DPR. Apalagi, anggota DPR jumlahnya akan bertambah sesudah Pemilu 2019 dan konon gedung jangkung yang dipakai selama ini sudah miring. Mungkin akan menjadi seperti Menara Pisa.

 Para responden yang menanggapi pendapat anggota redaksi Media Indonesia yang mengantarkan editorial itu-baik yang pakar, seperti Sebastian Salang, maupun publik yang awam, tetapi peduli-rata-rata menolak rencana pembangunan gedung baru DPR. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa yang miring bukan gedungnya, tetapi otak mereka. Namun, sang moderator tetap gigih mempertahankan advokasinya terhadap kepentingan DPR.

 Sebelumnya, ada tayangan di televisi yang menampilkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi di Lomba Silat di sebuah pondok pesantren di Jakarta Timur. Presiden Jokowi-dalam gaya dan nada bergurau-canda (tetapi juga terasa sinis)-mengatakan bahwa ada orang yang menyebutnya ndeso dan klemar-klemer, tetapi lantas ada yang meloncat ke tuduhan bahwa beliau adalah "diktator" yang "otoriter". Gurau-canda Presiden Jokowi itu ditanggapi Wakil Ketua DPR Fadli Zon dengan mengatakan bahwa "wajah tidak menentukan apakah seseorang adalah diktator atau bukan".

Sanggahan Fadli Zon itu tidak salah, sama seperti Cindy Adams yang menjuluki Pak Harto sebagai "The Smiling General" (jenderal yang murah senyum). Setidak-tidaknya kalau sanggahan Fadli Zon dan julukan yang diberikan Cindy Adams itu kita terima secara harfiah dan denotatif. Kalau secara konotatif, ya, entahlah; terpulang kepada kita masing-masing bagaimana menafsirkannya. Yang tahu persis, ya, Fadly/Cindy dan Tuhan (dan juga iblis?)

 Pada hemat saya, sikap Leonard Samosir dalam editorial di Metro TV, Senin, 14 Agustus 2017, juga tidak salah. Justru dia membuat editorial itu lebih "hidup" dan tidak terlalu "berat sebelah", tanpa membungkam suara publik. Leonard Samosir hanya bergeser dari posisi netral seorang moderator, konvensional menjadi partisipan diskusi, yang dengan sengaja memilih berada di posisi yang tidak menguntungkan.

Tokoh seperti itulah yang disebut "pembela iblis" (the devil's advocate); tentu sebagai sebuah ungkapan. Adanya suara pembela iblis itu-pada hemat saya-baik daripada hanya ada riuh gemuruhmboto rubuhsaur manuk aklamasi bulat sempurna, seperti DPR-MPR di masa Orde Baru.

 Dalam menilai musyawarah untuk mencapai mufakat di DPR, publik cukup cerdas untuk mengetahui apakah mufakat itu murni dan demokratis atau dipaksakan. Publik juga dapat menilai apakah seorang pemandu diskusi bertindak sebagai moderator konvensional yang imparsial dan demokratis atau menunggangi gelombang suara mayoritas yang sedang menang atau sengaja memilih berperan sebagai advocatus diaboli .

L WILARDJO

GURU BESAR FISIKA; DOSEN FILSAFAT ILMU PDIH UNDIP

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul ""Advocatus Diaboli"".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger