Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 07 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Pancasila, UKP PIP, dan ”Golden Rule” (SYAMSUL RIZAL)

Mengapa seseorang bisa menjadi presiden? Apakah karena dia pandai? Kaya? Berpengaruh? Gagah? Cantik? Ternyata, bukan itu jawabannya.

Kalau syarat presiden harus seperti itu, banyak orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih berpengaruh, lebih gagah, dan lebih cantik menjadi presiden. Tampaknya, seorang presiden memang ditunjuk dan diutus Yang Maha Kuasa untuk melayani dan memperbaiki kualitas hidup rakyatnya.

Demikian juga seorang menteri, gubernur, wali kota, bupati, dan seterusnya. Serupa pula dengan jabatan-jabatan lain, seperti kepala dinas, rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, dan seterusnya. Jabatan-jabatan itu kadang tak terduga siapa yang harus mengembannya.

Bagaimana dengan jabatan fungsional, seperti profesor, ahli peneliti utama, dan lain-lain? Banyak faktor yang membuat seseorang bisa menjadi profesor dan peneliti hebat.

Faktor kebetulan

Apa yang ingin saya kemukakan dari pengantar di atas? Semua orang yang secara ekonomi hidup di atas garis kemiskinan dan berada pada kelas menengah ke atas adalah orang-orang yang beruntung. Di samping kerja keras, mereka pun ditakdirkan Yang Maha Kuasa menjadi orang- orang sukses.

Mengapa takdir? Karena tidak semua orang mempunyai takdir baik. Karena kita tak bisa memilih dari rahim siapa kita harus dilahirkan. Demikian juga kita tak dapat memilih di negara mana kita dilahirkan.

Dengan demikian, pada semua jabatan dan profesi hebat di atas, terlibat "tangan Tuhan" dalam penentuannya. Demikian juga pada sisi lain, keterpurukan seseorang melibatkan pula "tangan Tuhan" dalam penentuannya.

Artinya, prestasi yang diperoleh orang-orang hebat sebetulnya harus dimaknai sebagai pemberian dan amanah Tuhan. Faktor inilah yang kadang-kadang sering kita lupakan. Kita sering menganggap kesuksesan kita semata-mata karena kehebatan dan kerja keras kita. Melupakan peran "tangan Tuhan".

Kita juga sering menilai, keterpurukan orang lain karena mereka malas, tidak mau bangkit, dan salah mereka sendiri. Kita kadang tak tahu dan tak mau tahu, jangankan untuk bangkit, cara untuk bangkit pun tidak tahu. Prasyarat untuk bangkit memang harus ada: cukup gizi, pendidikan memadai, dan basic needslainnya. Ini sering tak dimiliki yang kurang beruntung.

Di sinilah akar masalah: penentu keberuntungan dan ketidakberuntungan seseorang adalah faktor kebetulan. Akar masalah ini penting kita pahami agar ikhlas membantu orang yang kurang beruntung.

Golden rule atau aturan emas yang saya kutip di atas berarti: perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kalau kita dalam posisi beruntung, apakah kita akan tinggal diam membiarkan orang-orang yang tidak beruntung?

Semua agama memerintahkan kita untuk membantu orang miskin. Dalam Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang memerintah kita untuk menolong anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Aturan emas ini juga ditemukan pada sejumlah kitab suci agama lain.

Tahun 2015, di depan Kongres AS, aturan emas ini pernah dipresentasikan Paus Fransiskus dengan mengatakan: "Marilah kita mengingat Aturan Emas". Lakukan kepada orang lain, seperti yang Anda harapkan orang lain melakukan kepada Anda.

Mari kita mencari cara untuk orang lain, seperti yang kita inginkan untuk diri kita. Mari kita membantu orang lain untuk tumbuh dan berkembang, sebagaimana halnya kita juga dapat tumbuh dan berkembang.

Singkatnya, jika kita menginginkan keamanan, marilah kita memberikan keamanan, jika kita menginginkan kehidupan, marilah kita memberikan kehidupan. Tolok ukur untuk orang lain menjadi ukuran untuk kita.

Aturan emas pendidikan

Bagaimana strategi kita dalam membantu kaum yang terpuruk? Saya berpendapat, yang paling prioritas adalah pendidikan dasar dan menengah. Kita harus pastikan, setiap anak di negeri ini dapat menikmati pendidikan.

Saya relatif agak lama tinggal di Jerman, menyelesaikan pendidikan S-3 dan pernah bekerja sama untuk riset jangka panjang dengan Institut fuer Ozeanographie, Universitaet Hamburg, Jerman. Saya memperhatikan, Pemerintah Jerman menyayangi seluruh rakyatnya. Ini terbukti dari regulasi dan praktik kehidupan sehari-hari.

Dalam bidang pendidikan, dalam semua level pendidikan: dasar, menengah, dan tinggi, rakyat mendapat kesempatan yang sama. Tidak ada perbedaan (yang signifikan) dalam hal mutu guru, infrastruktur, dan lain-lain di seluruh kawasan Jerman.

Jika ada siswa yang sudah pantas masuk SD, tetapi tidak didaftarkan oleh orangtuanya, polisi akan datang ke rumah mereka untuk menanyakan dan meminta agar anak tersebut segera didaftarkan ke sekolah terdekat.

Tidak hanya Pemerintah Jerman, seluruh rakyat Jerman juga mencintai negara dan bangsanya. Mereka kompak dan bahu-membahu memajukan bangsanya. Apa sebab mereka bisa seperti ini? Untuk sementara ini, saya menyimpulkan: mereka sangat respek dengan aturan emas itu dan mengaplikasikannya.

Lalu bagaimana dengan kita? Walau masih jauh panggang dari api, kita juga harus bahu-membahu dengan pemerintah, sekuat tenaga, bekerja keras untuk membereskan masalah pendidikan dasar dan menengah supaya adil, merata, dan bermutu.

Mengapa? Jawabnya: karena tiga hal. Pertama, ini adalah janji para founding fathers kita ketika melahirkan negara Republik Indonesia. Janji-janji itu termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, ini merupakan amanat dasar negara kita Pancasila. Ketiga, ini juga perintah dari kitab suci semua agama.

Apakah ini belum cukup menjadi justifikasi untuk kita berlaku adil kepada anak-anak bangsa kita? Dengan dibentuknya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila atau UKP PIP, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 yang dikeluarkan pada 19 Mei, saya berharap pekerjaan membumikan aturan emas ini dapat dieksekusi oleh UKP PIP ini.

Pekerjaan-pekerjaan seperti inilah yang seharusnya diemban oleh UKP PIP. Materi ajar, bahan ajar tentang Pancasila rasanya sudah sangat banyak dikaji dan dicetak. Yang tidak ada atau minus pada manusia Indonesia adalah kita tidak sayang dan tidak punya empati kepada anak-anak bangsa yang kurang beruntung.

Pemerintah dan politisi kita sibuk pasang kuda-kuda untuk memperkuat posisi masing-masing, dari pilkada ke pilkada, pemilu ke pemilu.

Sementara anak-anak bangsa, di depan mata kita, seperti tak ada yang memedulikan. Semua persoalan, seperti masalah putus sekolah, pendidikan yang tak berkualitas, mereka hadapi sendiri. Padahal, mereka dengan latar belakang keluarga yang terpuruk, masih sangat membutuhkan perlindungan pemerintah dan kita semua yang lebih beruntung.

Sajak Jembatan Sutardji Calzoum Bachri, jeli menggambarkan keadaan ini.

Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana//menghubungkan kota-kota//jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada//tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?

Masih pantaskah kita mengaku bangsa Pancasilais?

SYAMSUL RIZAL, PROFESOR DI UNIVERSITAS SYIAH KUALA, BANDA ACEH; ALUMNUS UNIVERSITAET HAMBURG, JERMAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Pancasila, UKP PIP, dan "Golden Rule"".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger