Menyusul kecaman dari pegiat hak asasi manusia dan keprihatinan dunia internasional, giliran kelompok pengacara yang melakukan perlawanan. Sekitar 200 pengacara yang tergabung dalam lembaga bantuan hukum FLAG mengajukan permintaan kepada Mahkamah Agung Filipina untuk menghentikan aksi tersebut.

Perang yang dipimpin unit polisi anti-narkoba ini dinilai ilegal karena polisi dibebaskan untuk membunuh tersangka pengedar narkoba dengan mengabaikan prosedur hukum. Petisi ini meminta MA memerintahkan polisi dan kementerian dalam negeri menghentikan operasi. Selain itu, Biro Penyelidik Nasional diminta mengusut pembunuhan oleh polisi dan memeriksa bukti-bukti yang ada.

Para pengacara menuding, razia yang dilakukan polisi dari rumah ke rumah hanya didasarkan pada informasi lisan dari informan, tanpa bukti-bukti yang kuat dan tidak dicek kebenarannya. Polisi pun tak berniat membujuk tersangka untuk menyerah dan akan membunuh siapa saja yang menolak bekerja sama atau menyangkal terlibat dengan jaringan narkoba.

Petisi ini cukup beralasan karena jumlah korban cukup mengejutkan. Data Kepolisian Nasional Filipina (PNP) memperlihatkan, selama 15 bulan sejak Duterte mulai berkuasa, 30 Juni 2016, tak kurang 3.900 orang tewas dalam operasi ini. Polisi berdalih, mereka dibunuh karena memiliki senjata dan menolak untuk ditangkap. Di luar itu, ribuan orang lain tewas tanpa kejelasan, yang menurut para pegiat HAM dilakukan kelompok pembunuh bayaran yang mendapat angin dari operasi yang dilakukan polisi.

Kecaman makin kuat setelah polisi menembak mati dua remaja di Manila, pertengahan Agustus. Untuk pertama kalinya, popularitas Duterte melorot hingga 11 poin persentase menjadi 67 persen. Hal ini terutama karena anjloknya dukungan masyarakat kelas bawah. Mereka adalah pendukung utama Duterte saat naik menjadi presiden, tetapi menjadi korban terbesar perang melawan narkoba yang digagas mantan Wali Kota Davao City ini.

Pemerintah Filipina tampaknya memperhatikan kecaman dan kritik terhadap operasi ini. Mulai Kamis, perang anti-narkoba ini mulai diarahkan pada jaringan dan pengedar kelas kakap, tidak lagi mengincar para pengedar dan pengguna di jalanan. Sebanyak 18 unit polisi anti-narkoba regional pun dilucuti kewenangannya dan operasi ini akan dipimpin PDEA, badan anti-narkoba negara itu.