Politik dalam arti hubungan antara orang dan masyarakat di mana ia hidup, oleh Ben Dupre, penulis buku 50 Political Ideas, bahkan dianggap sebagai profesi pertama. Berperilaku politik sejatinya tidak terpisahkan dari menjadi manusia. Filsuf Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai zoa politika atau hewan politik.

Pandangan ini didasari bahwa orang mengekspresikan diri secara penuh dan khas dalam konteks negara kota Yunani—yang disebut polis—kata asal politik. Polis lalu menjadi habitat hewan politik, tempat mereka berinteraksi dengan kooperatif untuk mendirikan hukum dan institusi yang menjadi pegangan tatanan sosial, keadilan.

Dari "sononya" tersirat ide mulia politik untuk mencari kompromi di antara para hewan politik beradu ide bagaimana berbuat maslahat bagi kaumnya. Meski polis merupakan produk kolaborasi beradab, atau berkewargaan, pada dasarnya yang melatarbelakangi adalah konflik karena manusia cenderung tidak bersepakat pada banyak hal. Kalau tidak ada konflik, tidak ada perlunya berpolitik.

Sesungguhnya kita juga dikejar urgensi karena ada banyak tantangan yang dihadapi manusia Indonesia. Misalnya, banyaknya warga miskin, perekonomian yang tak kunjung lepas landas, ketinggalan dalam sains-teknologi.

Di sinilah dibutuhkan peran besar politisi karena politik berperan besar mengubah nasib bangsa. Dalam buku Politics, David Runciman mengisahkan perbedaan antara Suriah dan Denmark. Politiklah yang membuat kedua negara itu berbeda nasib: yang pertama dilanda perang saudara yang melahirkan banyak pengungsi, dan yang lain hidup damai dan sejahtera.

Profesi politisi yang dijalani dengan niat mulia membawa tanggung jawab, dan seiring dengan itu terpancar adab mulia, misalnya, malu jika berbuat tercela. Di Jepang, jangankan dijadikan tersangka, apalagi dijemput paksa, dikaitkan dengan kasus berbau korupsi saja sudah cukup bagi seorang pejabat mengundurkan diri.

Ini terjadi karena pada dirinya tertanam jiwa pengabdian tulus, punya nurani yang bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, mengerti betul beda antara milik/hak pribadi dan milik rakyat. Dari sini, kita sungguh kecewa, bahwa ada banyak politisi Indonesia yang tidak, atau belum, menghayati nilai dan falsafah tersebut.